Langkah Liar Lunar

Oleh: Nurul Irmah Agustina

Ilustrasi: Linggar Putri Pambajeng
Ilustrasi: Linggar Putri Pambajeng

Gelombang hitam yang lembut mengalir secara alami di sepanjang bahu dengan selapis putih yang bertengger cantik di kiri. Selapis itu terpandang halus dan berkilau, dengan kontras warna yang menambah kesan kekuatan dan keanggunan. Mata dengan iris biru itu menatap cermin di depannya—terpampang gadis kecil berselimut air muka tegang. Tak ada raut manis barang secuil seperti gadis kecil kebanyakan—ia nyaris tak pernah tersenyum.

Lunar benci terhadap wujudnya. Mengapa ia terlahir berbeda? Kulitnya putih pucat, rambutnya hitam dengan selapis putih. Satu hal lagi: tatapannya, tajam bagai belati. Siapa pun yang melihatnya pasti akan menjulukinya si aneh. Bagaimana tidak? Di desa ini, semua orang berkulit cokelat dengan rambut kemerahan. Lunar kerap berasumsi bahwa dirinya bukanlah manusia—selalu mempertanyakan bagaimana ia bisa terlahir laksana iblis.

“Berbeda itu menarik, sayang ….”

Itulah yang selalu dikatakan ibunya—membuat gadis yang berpakaian hitam itu kerap bergulat dengan akal sehatnya. Berbeda itu menarik? Lunar merasa itu teori paling bodoh yang pernah diajarkan ibunya. Berbeda itu kesialan. Ia tak henti menyesap caci-maki dan tatapan sinis.

Selain dirinya yang aneh, keluarga Lunar jauh lebih aneh. Apa yang terpikir dari seorang ayah yang mengajari anaknya membunuh, mencuri, dan aksi keji lainnya? Lalu, seorang ibu yang menuang petuah agar tak pernah terikat dalam tali pertemanan. Teman itu merepotkan, katanya, dan berpotensi menjadi pengkhianat. Lunar muak dengan dunia yang dibentuk keluarganya. Karena itu, ia kerap mengurung diri di kamar—terletak di lantai puncak rumah, jauh dari siapa pun.

Lunar kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tak perlu berkelit, memang pantas tersebut gadis dengan tatapan sengit. Ingatannya pun melayang—kembali ke serpihan pahit kala ia diam-diam menjejakkan kaki di pelataran desa.

“Si hitam putih dengan tatapan iblis!”

“Anak aneh!”

“Anak terkutuk!”

Perlahan, gadis delapan tahun itu menampilkan senyum untuk pertama kalinya. Tidak manis, tetapi mampu membuat siapa pun yang melihatnya meringis. Sebuah rencana gila mulai tumbuh di kepalanya; melarikan diri dari rumah terkutuk ini. Ia tak peduli dengan ayah dan ibunya yang sesat dan kejam. Lunar ingin memulai warna hidupnya yang baru, tidak hanya hitam dan putih seperti wujudnya.

***

Sepasang tungkai tanpa alas melangkah menuju tempat remang, di antara pepohonan besar nan lebat. Lunar masih ingat, ia meninggalkan desa saat cahaya masih hangat menyentuh wajahnya. Namun, ketika telapak kakinya telah berpijak di tanah lembab penuh tanaman menjalar, semua cahaya seakan redup. Di sinilah ia berada, hutan kegelapan perbatasan desa dan kota. Lunar mencoba mencari cara untuk tetap bisa melihat di tengah pekatnya suasana suram. Lalu, tak jauh darinya, muncul sekelompok kunang-kunang—perlahan mendekat, menumpahkan cahaya kecil ke netranya.

“Lepaskan aku!”

Tanpa aba, terdengar suara yang membuat Lunar menoleh cepat. Telinganya tak mungkin salah, itu suara ibunya. Ibu yang kerap disebut setan oleh warga desa. Meskipun ibunya selalu mengajarkan hal sesat kepadanya, Lunar tetap peduli dengan wanita itu. Ia lekas berlari secepat yang ia bisa sembari menajamkan ketiga indranya; penglihatan, penciuman, dan pendengaran.

Kedua kakinya berhenti dalam cahaya temaram. Baru saat itu, ia menyadari bahwa kunang-kunang tadi mengekorinya, dan kini melayang pelan dari samping bahu kirinya lalu ke depan. Lunar seketika membelalakkan matanya. Di kejauhan, ia mencerap sosok ibu dan ayahnya … ditarik kasar seperti hewan oleh seseorang berjubah hitam. Tanpa satu kata pun, orang itu melempar dua manusia yang paling dicintainya ke dalam jurang—jurang kegelapan yang tampak tak berujung.

Lunar hanya bisa diam dengan tubuh beku dan hati meringis ngilu. Matanya … yang tak pernah sekalipun meneteskan air mata, kini meneteskannya. Ia menangis dalam diam. Lalu, tanpa aba terdengar lolongan serigala dari kejauhan—semakin lama suara itu terasa semakin dekat. Seketika itu juga, kunang-kunang yang tadi menemaninya, menghilang entah ke mana.

“Mau apa kau?!” sergah Lunar ketika seekor serigala sudah ada di depannya.

“Mari ikut denganku. Kau sedang dalam bahaya,” kata serigala itu cepat.

Mengesampingkan rasa curiga, Lunar pun naik ke punggung serigala lantaran menyadari bahwa seseorang yang membunuh orang tuanya sudah melihatnya.

***

Sembilan tahun kemudian ….

Lunar tak pernah menyangka bahwa kehidupan kota amat berbeda dengan desa. Penduduk di sini berkulit putih seperti dirinya, dengan rambut perak atau cokelat gelap. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan warga kota: mereka yang berambut perak berasal dari kalangan bangsawan, sementara yang berambut cokelat gelap menandakan rakyat biasa. Lunar … memilih menyamar menjadi rakyat biasa. 

Untuk menjalani hidup, gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu harus menjadi pencuri. Itu ia lakukan secara terpaksa—demi dirinya agar tak mati. Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari seorang Lunar? Ia hanya ahli dalam tindak kriminal. Beruntung, ayahnya dulu mengajarkan berbagai taktik licik untuk menjalankan pekerjaan kotor ini.

“Kau ikut?” tanya Lunar kepada lelaki tegap yang kini memakai jubah abu-abu.

Pemuda itu Vierys, serigala yang dulu menolong Lunar ketika berada di hutan kegelapan. Ya, dia adalah manusia setengah serigala yang mengaku hidup sebatang kara.

“Tidak, aku ada urusan di daerah seberang. Maafkan aku, Lunar.” Vierys meraih jemari kanan Lunar, mengusapnya lembut lalu mengecupnya. Ia merasa bersalah karena tak bisa menemani gadis yang setia menemaninya selama sembilan tahun ini.

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu,” ucap Lunar lemah. Padahal kali ini ia berencana mencuri di tempat yang lebih menantang. Bukan di pasar kerajaan lagi, tetapi di dalam kerajaan itu sendiri.

***

Gadis yang dulu dijuluki si hitam putih kini sudah mengenakan pakaian pelayan kerajaan. Ia mulai melancarkan aksinya—melangkah cepat sembari membawa nampan berisi beberapa hidangan untuk sang ratu. Lunar berusaha agar pelayan lain tak menyadari kehadirannya. Wajahnya yang pasti asing bagi mereka harus tetap tak menarik perhatian, karena ia tak ingin memberi kesan curiga sebelum aksi gilanya berhasil.

Sebuah pintu berlapis emas ia ketuk tiga kali, memastikan apakah sang ratu ada di dalam kamarnya atau tidak. Merasa tak ada jawaban ataupun suara, kaki Lunar dengan lembut masuk. Jarinya sudah gatal untuk merangkak ke sudut-sudut ruang, berusaha mencari harta berharga yang dimiliki sang ratu, entah emas, perak, berlian atau apa pun itu. Matanya menyipit, tak sengaja melihat sebuah lukisan kecil dalam peti di bawah tempat tidur.

Tubuh Lunar menegang, air mukanya berubah pucat saat matanya menangkap dua sosok di lukisan itu. Lalu, ia melihat tulisan di atasnya: “Mereka harus mati!”. Tidak hanya ayah dan ibunya yang tergambar di lukisan suram itu, tetapi Lunar juga ada di sana—berada dalam gendongan sang ibu.

“Siapa kau?!” Suara tegas nan menusuk lekas membuat Lunar berbalik.

Di sana, berdiri seorang wanita cantik dengan balutan kain merah darah dengan mahkota yang hinggap di kepalanya.

“Berani-beraninya kau memasuki kamarku!” pekiknya tajam lalu berjalan ke arah Lunar dengan sorot mata penuh amarah.

Dengan perasaan memanas di dada, Lunar juga melangkah cepat ke arah wanita itu dan bersiap untuk mencekiknya. Lunar bahkan mengeluarkan sebilah pisau kecil di balik tubuhnya—mengatur taktik agar wanita di depannya tak bisa berkutik. Dendam hitam yang telah lama terlupakan, kembali berkobar dalam jantung seorang Lunar.

Tak bisa dianggap remeh, sang ratu langsung menyerang dengan mencengkeram dagu Lunar, kukunya menancap ke kulitnya. Diiringi seringai manis, dia mendekatkan wajahnya, berbisik tepat di telinga kiri Lunar, “Siapa kau sebenarnya?”

Lantaran gerakan kepala Lunar yang berontak, samaran rambutnya terlepas. Rambut cokelat gelap yang sedari tadi bertengger cantik di kepala, kini lenyap—tergantikan rambut hitam dengan selapis putih di sisi kiri.

“Jadi … kau puteri terkutuk itu? Lunar?” Sang ratu semakin melebarkan seringainya.

Di tengah rasa sakit, Lunar berusaha menggerakkan bibirnya. “Mengapa kau membunuh orang tuaku?!” ucapnya dengan tatapan menusuk.

Jemari kiri ratu yang bebas mulai memainkan sehelai rambut yang menutupi sebagian wajah Lunar, lalu ia berkata dengan suara lembut yang dibuat-buat, “Sebab mereka adalah raja dan ratu yang sebenarnya. Lalu kau … adalah bencanaku. Bersiaplah, karena aku akan melenyapkanmu—akh!” Ratu menjerit kesakitan.

Lunar berhasil menusuk perut sang ratu, dengan lihai ia menancapkannya berulang kali, memastikan ratu merasakan sakit yang lebih dalam dari yang dirasakan orang tuanya. Meski darah mengucur deras dan menodai wajah cantiknya, Lunar tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu—dendamnya harus terbalaskan secara utuh.

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok pemuda berambut perak. Lantas, Lunar menoleh hingga matanya bersirobok dengan mata pemuda itu. Belum cukup semesta mempermainkannya, kini … Vierys ada di sana.

“Bunuh gadis ini, Vier!” pekik sang ratu.

Pemuda dengan iris mata abu itu hanya bergeming dalam tatapan bisu. Tanpa peduli dengan keterkejutan yang merasuk di hatinya, Lunar mencoba memancing Vierys dengan kembali menancapkan pisau ke perut sang ratu. Jeritan wanita di depannya pun terlepas—suara yang terdengar begitu ironis.

“Vierys!” teriak sang ratu, suaranya menggema di seluruh sudut ruang.

Benar saja, Vierys lantas bergerak dan berjalan ke arah Lunar. Dengan sigap Lunar berdiri dan menyerang pemuda yang selama ini sudah ia anggap sebagai sosok yang amat dicintainya. Kini, manusia setengah serigala itu mengkhianatinya?

Bukannya balik menyerang, pemuda itu justru memeluk Lunar erat dan membisikkan sesuatu yang membuat Lunar nyaris terperosok dalam bujuk rayu. Tanpa disadari, Vierys menancapkan jarum mematikan ke punggungnya. Lunar pun terjatuh sembari menahan sakit yang amat menyiksa tubuhnya. Ia berusaha menahannya, tetapi rasanya luar biasa perih dan membuatnya ingin mati. Seketika ia teringat dengan perkataan sang ibu, bahwa Lunar tak perlu memiliki teman, sebab teman bisa mengkhianatinya. Mengapa Lunar lupa akan hal itu?

Dalam tatapnya yang remang, Lunar melihat bayang ayah dan ibu. Di sana, mereka tampak marah kepadanya dengan bibir yang seakan berucap bahwa Lunar amatlah lemah. Dengan perlahan, ia pun berusaha bangkit walau sembari menahan rasa sakit.

Di kejauhan, Vierys bersimpuh di hadapan sang ratu yang telah terkulai tak berdaya. Di sisi lain, Lunar masih berusaha bangkit dengan tangan gemetar ketika mencoba meraih pisau yang tadi terlempar ke belakang. Dengan terseok-seok, ia berjalan perlahan menuju Vierys yang tengah membelakanginya. Ketika dirasa pemuda itu lengah, Lunar dengan cepat menghunuskan pisau kecilnya ke punggung pemuda itu.

“Itu adalah sumpah hitamku untuk membunuh mereka yang telah melenyapkan ayah dan ibuku. Kau dan sang ratu!” teriak Lunar.

Untuk kedua kalinya, ia kembali menghunuskan pisau ke punggung pemuda yang pernah ia cintai. Dalam hitungan detik, tubuh sang ratu dan Vierys yang bersimbah darah mulai terurai menjadi debu-debu hitam dan lenyap dari pandangan Lunar.

 

Editor: Nur Laela

redaksi

beritaunsoed.com adalah sebuah media independen yang dikelola oleh LPM Sketsa Unsoed dan merupakan satu-satunya Lembaga Pers Mahasiswa tingkat Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto.

Postingan Terkait

Pendosa Ialah Jemari dan Kaki

Karya: Nurul Irmah Agustina  Ilustrasi: Moch Zidan M.A. Seorang jemari yang bersimbah larutan dosa Tuangkan titisnya di…

Termangu di Antara Takdir

Oleh: Hilda Lailatus Salma Malam merintih di pelupuk rembulan, membisikkan rahasia yang enggan terucap. Kita dua…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan Lewatkan

Wayang Bebek Banyumas: Pertunjukan Lokal Menghibur dan Mendidik

Wayang Bebek Banyumas: Pertunjukan Lokal Menghibur dan Mendidik

Pendosa Ialah Jemari dan Kaki

Pendosa Ialah Jemari dan Kaki

Termangu di Antara Takdir

Termangu di Antara Takdir

Pecahan Tempayan di Ujung Jalan

Pecahan Tempayan di Ujung Jalan

Maraknya Kasus Kehilangan di Unsoed, Sistem Keamanan Kampus Jadi Sorotan

Maraknya Kasus Kehilangan di Unsoed, Sistem Keamanan Kampus Jadi Sorotan

Menelusuri Prevalensi Perokok di Indonesia Melalui Data Statistik

Menelusuri Prevalensi Perokok di Indonesia Melalui Data Statistik