
Oleh: Nadia Amalia Wibowo

Pada 22 Januari 2025 di Jakarta, pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menginginkan efisiensi anggaran pada beberapa sektor, termasuk sektor pendidikan. Kebijakan tersebut menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak yang terlibat. Sebagian pihak menganggap langkah ini sebagai upaya strategis untuk mengoptimalkan penggunaan dana, sementara sejumlah pihak lainnya menyoroti dampak yang akan terjadi terhadap kualitas pendidikan, termasuk keterbatasan fasilitas dan kesejahteraan tenaga pendidik.
Tanggapan dan Dampak dari Kebijakan Efisiensi Anggaran
Menanggapi kebijakan efisiensi anggaran yang juga diterapkan di Universitas Jenderal Soedirman, awak Sketsa telah mewawancarai berbagai pihak yang merasakan dampaknya pada Jumat (14/03/2025). Salah satunya adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Ely Triasih Rahayu, yang menilai efisiensi anggaran dapat diterapkan tanpa mengurangi efektivitas kegiatan tertentu. Ia mencontohkan bahwa meeting dapat dilakukan secara online, sehingga biaya konsumsi dan perjalanan dinas dapat ditekan tanpa mengurangi hasil yang optimal. “Contoh meeting, meeting itu sebenarnya online juga pada kondisi tertentu juga efektif, kalau meeting-nya bisa online maka yang biasanya ada konsumsi bisa dihilangkan. Atau kegiatan-kegiatan perjalanan luar kota. Ada studi banding misalnya, workshop, dan sebagainya. Waktu zaman Covid juga kita lakukan online dan aman, hasilnya juga maksimal. Kalau yang seperti itu saya setuju,” ujarnya.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Jajang, Wakil Dekan Bidang Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), yang menyoroti dampak efisiensi anggaran terhadap aktivitas pembelajaran mahasiswa, terutama pada praktikum dan fasilitas kampus. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran dan layanan pendukungnya, seperti perkuliahan serta sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan akademik. “Sebenarnya yang paling berdampak dan sangat terasa itu adalah pembelajaran, terutama layanan pendukung pembelajaran, seperti perkuliahan, kemudian praktikum, lalu kemudian pendukungnya yang berarti, kan, fasilitas,” ujarnya saat diwawancarai awak Sketsa pada Jumat (22/03/25). Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memastikan bahwa efisiensi anggaran diterapkan dengan tepat agar tidak justru menghambat kualitas pendidikan.
Budi Praktino selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) bersama Jajang ikut membeberkan dampak yang terjadi di FMIPA, mulai dari Air Conditioner (AC) hingga lift yang menjadi dampak utama karena berkurangnya dana untuk perawatan, sehingga lift tidak digunakan untuk sementara waktu demi keselamatan para pengguna.
Dampak serupa juga terjadi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Salah satu lift di fakultas tersebut terpaksa dinonaktifkan imbas dari adanya efisiensi anggaran. Hal itu diungkapkan oleh Lilis Siti Badriah selaku Guru Besar FEB saat ditemui awak Sketsa pada Senin (17/03/25). “Jadi, dalam rangka penghematan karena, kan, kita semuanya serba dibatasi, maka lift yang tadinya dua sekarang hanya dihidupkan satu itu dalam rangka efisiensi juga, Mas, maksudnya begitu,” ujarnya.
Selain berdampak pada fasilitas kampus, efisiensi ini juga berdampak pada anggaran-anggaran organisasi yang ada di kampus. “Anggaran kemahasiswaan, anggaran organisasi kemahasiswaan (Ormawa), dan mungkin pengembangan mahasiswa, lomba-lomba, itu sangat terbatas dan memang itu yang paling berdampak bagi teman-teman mahasiswa karena itu mengganggu kehidupan teman-teman mahasiswa dan dinamika di kampus,” ungkap Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Hafidz Baihaqi pada Minggu (23/03/25).
Adanya kebijakan efisiensi anggaran diduga berimbas juga pada pemberhentian salah satu staf penjaga FIB, Robin. Kabar tersebut berakar dari cuitan di base @unsoedmfs pada Senin (03/03/2025). Cuitan tersebut menilai bahwa berhentinya Robin bekerja di FIB dikarenakan tidak adanya anggaran untuk menggaji pria berumur lima puluh sembilan tahun itu. Akan tetapi, Dekan FIB mengungkapkan hal itu tidak benar adanya. Ia mengatakan, “Tidak ada. Jadi, Pak Robin itu usianya enam puluh tahun. Memang aturan dari pemerintah itu harus pensiun. Jadi, beliau pensiun tidak ada kaitannya dengan efisiensi atau yang lain. Memang sudah saatnya pensiun.”
Hal itu dibenarkan oleh Robin saat diwawancarai oleh awak Sketsa pada Sabtu (22/03/25). “Saya bekerja paruh waktu dengan kontrak yang biasanya diperpanjang setiap akhir tahun. Namun tahun ini tidak diperpanjang. Alasan yang diberikan adalah efisiensi, meskipun tidak dijelaskan langsung. Selain itu, usia saya yang sudah mendekati lima puluh sembilan tahun juga menjadi pertimbangan untuk pensiun,” ujarnya.
Efisiensi anggaran yang dilakukan di Unsoed berdampak pada berbagai aspek, mulai dari fasilitas kampus hingga kegiatan mahasiswa. Selain itu, efisiensi ini juga berdampak signifikan pada anggaran organisasi kemahasiswaan, yang berpengaruh terhadap aktivitas mahasiswa.
Tepat atau Tidaknya Penerapan Kebijakan Efisiensi Anggaran
Kebijakan efisiensi anggaran diterapkan dengan tujuan menekan pengeluaran dan mengalokasikan dana secara lebih efektif. Namun, dalam praktiknya, muncul perdebatan mengenai apakah penerapannya sudah tepat atau justru menimbulkan kendala. Beberapa pihak merasa efisiensi ini diperlukan, sementara yang lain menilai bahwa kebijakan ini belum diterapkan dengan optimal dan berpotensi mengganggu operasional serta kualitas layanan.
Nindi, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), mengaku penerapan efisiensi anggaran ini belum tepat. “Kalau di FEB sendiri ya, Mba, setahu saya di efisiensi sekarang di laboratorium terpadu FEB. Itu lift-nya, kan, ada dua, nah, yang satu lift tuh nggak dipake, buat efisiensi katanya,” ujarnya. Selain berdampak pada fasilitas, ia mengatakan bahwa kegiatan ulangan yang kemungkinan akan dilakukan secara online karena fakultas tidak menyediakan anggaran untuk kertas dan soal ujian merupakan dampak dari efisiensi anggaran yang sedang terjadi. Menurutnya, meskipun bagi sebagian orang lebih mudah, ujian online dapat mengurangi kejujuran dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, serta meningkatkan kemungkinan kecurangan.
Kepala Badan Pengembangan Usaha (BPU), Adi Indrayanto, menilai kebijakan efisiensi anggaran kurang tepat, tetapi harus tetap dijalankan dengan strategi supaya optimal. “Kalau tepat atau tidak saya kira saya tidak bisa menilai ya, tapi karena itu instruksi dari Presiden jadi tugas kita melaksanakan. Ya kalau saya diminta evaluasi tepat atau tidak mungkin kurang tepat. Nah, tinggal bagaimana kita bisa membuat strategi-strategi supaya kebijakan ini bisa optimal.” Ungkapnya pada Senin (10/03/25).
Menyikapi Kebijakan Efisiensi Anggaran
Ely menyampaikan bahwa FIB sudah banyak menyiapkan strategi untuk menghadapi efisiensi ini, “Iya betul, berstrategi. Karena itu menyangkut uang, kita ada audit harus aman, amanah, tanggung jawab itu yang dipikirkan. Mahasiswa, dosen, tendik semuanya harus tetap jalan. Nggak susah, tapi kalau dilakukan dengan kerjasama dan memahami, InsyaAllah akan berjalan dengan lancar.”
Kepala Badan Pengembangan Usaha (BPU) pun menyampaikan hal serupa, bahwa efisiensi ini dapat berjalan dengan tepat tergantung bagaimana strateginya. “Tinggal bagaimana kita bisa membuat strategi-strategi supaya kebijakan ini bisa optimal,” ujarnya.
Keberhasilan efisiensi anggaran sangat bergantung pada strategi yang tepat serta kerja sama dari semua pihak yang terlibat. Dengan strategi yang tepat, efisiensi dapat dijalankan tanpa menghambat aktivitas mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang ada di kampus.
Harapan Terhadap Kebijakan Efisiensi
Adanya efisiensi anggaran ini membuat beberapa orang resah. Nindi mengungkapkan harapannya terhadap efisiensi ini. “Mungkin dari aku lebih ke tepat sasarannya yang benar gitu fisiensinya, gitu kalau misal memang itu bermanfaat ya tidak boleh dikurangi gitu.”
Lilis juga mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan kebijakannya tersebut. “Menurut saya, bahwa pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi atas kebijakannya tersebut untuk bisa mengetahui secara tepat ini efektif atau tidak? Begitu. Jangan sampai istilahnya kebijakan yang diambil itu malah bersifat kontraproduktif untuk penciptaan efisiensi itu sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Hafidz meminta agar pihak kampus lebih transparansi terhadap masalah ini kepada para mahasiswa. “Kita meminta buat bapak atau ibu birokrat di kampus itu untuk lebih terbuka, dalam artian kita tahu kita dihadapkan dengan masalah yang sama mengenai efisiensi, tapi tolong anggaran itu terbuka. Ya kalau perlu semisal pihak kampus nggak mampu dan menganggap ini sebagai masalah, ya mari kita berjalan secara bersama-sama.”
Kebijakan efisiensi anggaran diharapkan tidak hanya menjadi pengurangan anggaran, tetapi juga menjadi dorongan untuk pengelolaan yang lebih efektif dan berkelanjutan demi kemajuan bersama. Dengan begitu, diperlukan strategi yang tepat, transparansi, serta komunikasi yang baik agar kebijakan ini dapat berjalan dengan lancar.
Editor: Amanda Putri Gunawan
Reporter: Maula Rizki Aprilia, Miqda Al Auza’i Ashfahany A, Ryu Athallah Raihan, Zaki Zulfian