Oknum Mahasiswa Unsoed Diduga Pelaku Kekerasan, Penelantaran, dan Jejaringnya dalam Perdagangan Manusia

Oleh: Nadia Aminarti Yusup

Foto: Revalia Herninda

Kekerasan seksual menjadi salah satu perilaku yang bertolak belakang dengan kemanusiaan, tetapi sayangnya masih marak terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Tidak ada yang tahu betul bagaimana cara kerja otak para pelaku hingga akhirnya melakukan hal keji tersebut. Perilaku mereka tentunya memberikan kerugian bagi para korban. Namun, sebagai simbol perlawanan, banyak korban enggan hanya berdiam membiarkan pelaku yang tidak tahu diri berkeliaran ke sana kemari. Keadilan bagi para korban sudah seharusnya diperjuangkan dan hukuman patut dijatuhkan bagi para pelaku secara tidak terkecuali, termasuk Muhammad Rafi Ananta (MRA).

Unggahan Korban sebagai Jalan Mencari Keadilan

Muhammad Rafi Ananta (MRA) merupakan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang belakangan ini namanya ramai diperbincangkan. Belum sempat mendapatkan gelar sarjana, lelaki yang baru duduk di bangku perkuliahan selama tiga semester itu lebih dahulu mendapatkan predikat tersangka. Dirinya menjadi pertunjukkan utama dalam unggahan-unggahan yang kemudian menjadi bukti bahwa dia merupakan seorang pelaku kekerasan dan penelantaran.  Pemilik akun yang diketahui merupakan korban dari MRA, menuturkan bahwa lelaki yang merupakan anak dari seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) itu kerap melontarkan kekerasan, ancaman, hingga pada akhirnya melarikan diri dari pertanggungjawaban. 

Korban membagikan kisah yang dialaminya melalui unggahan di laman media sosial pada Senin (02/09). Diceritakan bahwa pelaku yang seolah enggan korban mempertahankan kandungannya melakukan banyak kekerasan hingga ancaman untuk menekan korban. Bahkan pada usia kandungannya yang baru berusia lima bulan, korban sempat mengalami pendarahan akibat ulah dari pelaku yang mengendarai kendaraan dalam kecepatan tinggi. Berharap atas pertanggungjawaban yang sudah seharusnya diberikan, korban pada akhirnya menikah secara sah di mata hukum dan negara. Tetapi hal itu ternyata hanyalah siasat dari pelaku agar tidak terjerat hukum atas kekerasan seksual dan persetubuhan anak di bawah umur sebelum akhirnya menghilang tanpa kejelasan.

Sedari mengandung hingga melahirkan, korban memilih untuk berjuang dan bertahan seorang diri demi sang buah hati. Laporan perselingkuhan yang dilakukan MRA dengan perempuan yang berbeda-beda juga kerap dia terima. Tak jarang korban menerima pengakuan dari beberapa rekannya yang melihat cucu dari wakil Bupati Purbalingga itu mengunjungi klub malam hingga hotel. Mendapatkan kekerasan, ditinggalkan, hingga terus-menerus mendengar informasi yang tidak mengenakkan membuat mental korban sempat terguncang. 

Namun, setelah perjalanan panjang yang dilalui korban untuk bangkit, melalui unggahannya tersebut akhirnya korban memberanikan diri mengambil keputusan untuk mengungkap kejahatan MRA yang ternyata tidak hanya terjadi pada dirinya saja.

Bermunculan Korban Lainnya, MRA Terbukti Tergabung dalam Sindikat Perdagangan Manusia

Terangkatnya kasus penelantaran yang dilakukan oleh MRA ternyata menuntun khalayak menuju kebenaran atas kasus kejahatan lain yang dilakukannya. Pengakuan lainnya datang dari beberapa mahasiswi Unsoed yang ternyata pernah mendapatkan pesan teks dari MRA. Adapun isi dari pesan tersebut bermaksud untuk menawarkan peluang pekerjaan sebagai seorang talent. Namun, siapa sangka bahwa ajakan tersebut merupakan salah satu modus dari pelaku dalam melakukan kekerasan seksual dan perdagangan manusia.

Lelaki yang belum genap berusia dua puluh tahun itu mengawali percakapan dengan memperkenalkan diri, menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) miliknya. Pelaku kemudian memberikan penawaran kepada para korban untuk menjadi talent dalam sebuah iklan produk. Bahkan dalam bukti tangkapan layarnya, MRA melontarkan kalimat penenang agar korban tidak khawatir dan mau menerima ajakannya. Para korban yang awalnya tidak berpikiran buruk pada akhirnya menerima penawaran tersebut dan melakukan sesi wawancara. 

Harapan mendapatkan pekerjaan berubah menjadi kekhawatiran ketika pelaku lain yang dikenal dengan nama Vino (V) dalam sesi wawancaranya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak etis yang tidak sepatutnya dipertanyakan. “Dan sebenarnya ada beberapa orang yang sudah tahu materi wawancara tuh seperti apa, materi-materi yang sifatnya seksual,” ungkap Rabiatul, duta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) saat diwawancarai oleh awak Sketsa pada Kamis (12/09). Tak hanya itu, V yang diduga sebagai dalang di balik kejadian malang ini juga merekrut tiga mahasiswa FH lainnya sebagai perantara dalam mencari korban. Diketahui pula bahwa V meminta kaki-tangannya itu untuk mencari korban dengan kriteria seksual tertentu. Tidak hanya menimpa mahasiswi Unsoed, kasus kekerasan dan perdagangan manusia dengan dalih tawaran pekerjaan ini juga terjadi di beberapa kota pelajar lainnya seperti di Yogyakarta hingga Jakarta dengan pelaku yang sama, V, hanya saja dengan nama samaran yang berbeda. Hingga saat ini, para pelaku yang terlibat masih dalam penanganan pihak-pihak terkait. 

Dalam ranah kemahasiswaan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed melalui unggahannya pada Rabu (11/09) mengkonfirmasi daftar terduga kasus kekerasan dan perdagangan manusia, yaitu V, dan empat terduga lainnya yang merupakan mahasiswa FH angkatan 2023 yaitu MRA, KRAS, DV, serta GYS dari angkatan 2022. KRAS dan GYS merupakan terduga yang tergabung dalam kabinet BEM Fakultas Hukum diberhentikan sementara pada Minggu (08/09) melalui surat keputusan ketua BEM FH. 

Peran Satgas PPKS, Himbauan Pihak Universitas, hingga Petisi Tolak Kekerasan di Beberapa Fakultas

Satgas PPKS Unsoed memegang peranan penting dalam mendampingi dan melindungi korban. Satu hari setelah terungkapnya kasus MRA, Satgas PPKS Unsoed pada Selasa (03/09) mengunggah sebuah peringatan akan kewaspadaan terhadap ramainya kasus yang terjadi. Pada hari itu pula laman resmi Unsoed menyatakan perihal yang sama dengan PPKS Unsoed sebelumnya. 

Foto: Olga Laura Welly

Seolah tak ingin kasus ini menguap begitu saja, beberapa fakultas ramai-ramai mengadakan petisi tolak anti kekerasan seksual. “Karena ini murni atas inisiasi dari teman-teman duta anti-kekerasan seksual, kalau tidak salah, yang digagas oleh Satgas PPKS,” jawab Arkan, salah satu mahasiswa Fisip ketika ditanya mengenai koordinasi petisi yang dilaksanakan. Petisi kemudian ditandatangani oleh mahasiswa dari masing-masing fakultas sebagai pernyataan dalam menolak segala bentuk kekerasan seksual. 

Mengingat bahwa kasus kekerasan seksual juga terjadi di fakultas lainnya, Jeffrey Adiansyah selaku Presiden BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) menyampaikan pendapatnya pada Jumat (20/09) melalui sesi wawancara bersama awak Sketsa, “Bertepatan dengan kita membuat petisi juga, itu tuh kita juga membuat adanya propaganda media terkait sama penolakan segala bentuk kekerasan seksual sebagai wujud perlawanan dari KMIPA sendiri,” Jeffrey menerangkan bahwa pada saat ini pihaknya sedang menindaklanjuti dugaan kasus-kasus yang terjadi di FMIPA. Bentuk-bentuk keresahan juga disampaikan bersamaan dengan dilaksanakannya kegiatan diskusi publik dan program bilik aduan yang kemudian akan disampaikan ke pihak Dekanat. 

Berbagai usaha telah dilakukan oleh Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Unsoed hingga pihak Universitas dalam menolak dan melawan segala bentuk kekerasan seksual. Diharapkan kasus-kasus serupa tidak terulang dimanapun dan kepada siapapun. Banyak harapan lainnya senantiasa dilangitkan demi terwujudnya kampus yang aman dari segala bentuk kejahatan. 

Reporter: Miqda Al Auza’i, Revalia Herninda, Khofifah Nur Maizaroh, Helmalia Putri, Nadia Aminarti Yusup

Editor: Balqist Maghfira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *