Oleh: Revalia Herninda
Dari pagi hingga sore hari, warung seafood tempat Arin bekerja ramai disinggahi pengunjung. Tak henti-hentinya orang datang, membuat ia dan beberapa pekerja lainnya sempat kerepotan. Namun, Arin bersyukur, itu tandanya warung ini makin banyak peminatnya. Itu juga berarti warung ini tidak jadi ditutup. Beberapa bulan lalu, warung ini sempat diisukan tutup. Sebagai orang yang sudah berkerja di warung ini semenjak berdiri, Arin tentu sedih. Selain itu, jika warung ini ditutup, ia harus mencari pekerjaan baru. Untung saja, hal buruk itu tidak terjadi.
Biasanya, warung tutup pukul 8 malam. Akan tetapi, karena hari ini ramai, warung ditutup lebih cepat dari biasanya. Ini kejadian pertama kali semenjak dia bekerja di sini, sebab biasanya tidak begitu. Arin sempat bertanya kepada bosnya, kemudian bosnya menjawab, “Ingin saja, sekali-kali tutup lebih awal.”
Meski agak heran, Arin tetap mengikuti instruksi bosnya. Sekarang, ia sedang mencuci piring. Jam dinding menunjukkan pukul 5 sore. Hari ini, adiknya ulang tahun, ia ingin menghabiskan waktu dengan adiknya. Akhir-akhir ini hubungan mereka berdua merenggang, ia ingin memperbaiki semuanya di hari ulang tahun adiknya. Ia ingin mengobrol lebih lama dengan adiknya hari ini. Arin sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya. Setelah ini, ia akan pulang dan mengajak adiknya jalan-jalan.
“Pulang dulu, Mae.” Arin berpamitan kepada bosnya yang lebih sering dipanggil orang-orang Mae. Mae sedang duduk sambil menghitung uang yang ia dapat hari ini. “Hati-hati, Rin. Jangan telat berangkat besok. Adikmu hari ini ulang tahun, ‘kan? Ini ada lebihan kue. Anak bungsuku yang tadi beli di kota. Dia beli dua, aku mana sanggup habiskan keduanya, terlalu manis, takut diabetes.” Ada sedikit tawa pada akhir ucapannya.
Arin terharu. Matanya menahan tangis. Bosnya ini terlampau baik padanya.
“Kok malah melamun? Itu diambil cepetan. Adikmu nungguin di rumah loh, mau jalan-jalan, ‘kan?”
Arin segera mengambil sekotak kue yang ada di meja, memandang kue dengan tatapan bersyukur. Sebenarnya, hari ini dia ingin membeli kue untuk adiknya. Akan tetapi, tiba-tiba ada barang penting yang harus ia beli. Alhasil, rencana itu gagal. Untung ada kue ini. Akhirnya, tahun ini adiknya bisa merayakan ulang tahun lagi dengan kue yang layak.
“Makasih banyak, Mae. Arin janji besok bakal berangkat tepat waktu. Arin janji bakal lebih rajin kedepannya.”
“Iya, Nduk. Dah sana pergi. Hati-hati jalannya.”
***
Arin mengayuh sepeda dengan riang. Dia pulang untuk menjemput adiknya. Untung hari ini cerah. Niatnya, dia akan mengajak adiknya ke pantai buat menikmati matahari terbenam di sana. Jarak dari warung seafood ke rumahnya memakan waktu 15 menit. Arin melirik arloji peninggalan ibunya, ia lalu mempercepat kayuhan sepedanya. Ia harus cepat-cepat agar nanti tidak telat melihat matahari terbenam.
Nara, adik Arin, sedang membaca buku di ruang tamu saat ia sampai di rumah. Melihat Nara masih berpakaian ala kadarnya, hal itu membuat Arin ingin sedikit mengomel. Dari dekat pintu, Ia mengomel, “Duh! Kok belum siap-siap, sih? Kan tadi pagi Kakak udah bilang mau ajak kamu jalan-jalan.”
Nara berdecak. Menutup novel yang dibaca dengan kasar. “Kan aku udah bilang, nggak usah ajak aku jalan-jalan! Hari ini aku mau di rumah aja. Lagian, Kakak pasti capek abis kerja, ‘kan?”
“Siapa bilang? Engga tuh.” Kaki Arin melangkah menuju tempat Nara duduk. Nara melengoskan wajah. Mukanya merah menahan marah.
“Sekali ini aja ya, Nara. Tahun depan, Kakak nggak akan maksa kamu lagi. Kakak pengin tahun ini kamu bisa ngerayain ulang tahunmu lagi kaya dulu.”
Nara bangkit dari duduk, menatap Arin sekilas. “Ya. Terserah Kakak aja. Aku mau siap-siap sebentar.”
Arin mengembuskan napas. Tersenyum kecil, lalu ia ke kamarnya untuk bersiap-siap juga.
***
Embusan angin menerbangkan rambut Arin sesekali. Membuat rambut yang sudah ia rapikan sebelum berangkat jadi berantakan lagi. Kue ulang tahun yang Mae beri telah Arin letakkan di keranjang sepedanya. Perempuan itu mengayuh sepeda dengan gembira, kontras dengan orang yang duduk di belakangnya. Nara selama perjalanan hanya merengut. Hari ini, Arin tidak mengizinkan Nara naik sepeda sendiri. Nara berkemungkinan kabur setelah tahu tujuan mereka. Arin sengaja tidak memberi tahu tempat yang mereka tuju. Alasannya, dari beberapa tahun lalu tempat ini jadi tempat yang paling Nara hindari.
“Kita mau kemana sih, Kak? Lama banget. Mau magrib tau. Kalau nggak jelas mending pulang aja. Aku mau baca novel!” kata Nara dengan nada kesal. Lagi-lagi pertanyaan ini dilontarkan olehnya .
“Nanti juga sampai, sebentar, ya?” Arin tetap semangat mengayuh sepedanya. Jarak dari rumah menuju pantai memang cukup jauh. Ia mempercepat kayuhannya sebab takut kalau nanti akan terlambat sampai sana dan kehilangan momen yang Ia tunggu-tunggu.
Nara menatap tempat-tempat yang ia lewati dengan malas. Kakaknya ngotot sekali merayakan ulang tahunnya hari ini. Padahal, dia sudah tidak suka dengan perayaan sejak beberapa tahun lalu. Tahun-tahun sebelumnya mungkin ia berhasil menolaknya, tapi di tahun ini ia tak kuasa buat menolaknya, walau sebenarnya dia enggan. Kakaknya, begitu tulus ingin merayakan hari lahirnya.
Perempuan itu mengerutkan kening. Semakin lama perjalanan, ia semakin sadar akan tempat tujuan Kakaknya. Hatinya penuh dengan penolakan. Ingin sekali ia terjun dari sepeda yang sedang ia tompangi.
Pantai. Mereka sudah sampai di pantai. Lagi-lagi rasa enggan menyelimuti hati Nara. Saat mereka berdua sampai di tempat itu, Nara tidak berkomentar sedikit pun. Membuat Arin agak heran, walau segera ia buang keheranannya. Nara harusnya protes, tetapi ini tidak.
Mereka berdua berjalan menuju lebih dekat ke bibir pantai. Nara yang sebelumnya jalan mengekori Arin mendadak berhenti.
“Aku udah bilang, ‘kan, nggak mau ke pantai. Kenapa Kakak ngotot banget buat ajak aku ke sini? Aku benci pantai.”
Arin hanya melirik sekilas, lalu berkata, “Ayo! Nanti nggak keburu liat sunset loh.”
Arin berjalan lagi. Meninggalkan adiknya yang masih berpikir dan menebak kalau Nara bakal lari keluar dari tempat ini. Namun, tebakannya salah. Adiknya tetap jalan mengikutinya.
Arin melangkahkan kakinya menuju spot yang dulu biasa keluarga mereka kunjungi. Ia menggelar tikar yang sebelumnya telah ia sewa. Perempuan itu mengeluarkan kue dari kotak, lalu mempersiapkan lilin untuk sesi tiup lilin adiknya nanti. Tadi, saat akan pulang ke rumah, ia mampir dulu ke toko untuk membeli lilin.
“Sini duduk!” Arin memerintah adiknya yang sedari tadi berdiri tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Anak itu menurut, duduk di sebelah Kakaknya.
Matahari di atas sana mulai turun. Warna langit begitu cantik. Suara deburan ombak menenangkan hati Nara. Segala ucapan tentang ia yang membenci pantai atau laut itu dusta. Nara selalu bisa mendapatkan ketenangan di sini. Hanya saja, ada hal yang membuatnya enggan kemari.
Arin menyalakan lilin dengan korek api. Ia membawa kue itu ke hadapan Nara. Mempersilakan Nara untuk meniup lilinnya.
“Ini kue dari Mae. Karena beliau, Kakak jadi bisa kasih kamu kue ulang tahun.” Dari suaranya, Nara tahu kakaknya sedang menahan tangis.
“Selamat ulang tahun, Nara. Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa merayakan ulang tahun di sini lagi.”
Nara mendekat, meniup lilin yang ada di atas kue itu. Air matanya mulai turun, dari isakan kecil berubah menjadi tangisan.
“Kakak, Nara kangen ibu sama ayah.”
Tangis Arin ikut luruh, ia segera memeluk adik kecilnya.
Arin tahu, selama ini yang membuat Nara membenci segala sesuatu berbentuk perayaan dan juga pantai itu karena dulu semasa kedua orang tua mereka masih ada, mereka selalu merayakan segala hal di pantai. Mulai dari ulang tahun, perayaan masuk ranking tiga besar di sekolah, juara lomba, dan hal membahagiakan lainnya mereka rayakan di sana.
Arin tahu, Nara nggak membeci apa pun, ia hanya takut sedih setelah mengingat hal yang biasanya mereka sekeluarga lakukan. Nara memutuskan untuk membenci semuanya agar tidak lagi merasa sedih.
“Maaf ya, Kakak cuma bisa kasih kamu ini. Maaf kalau selama ini kamu nggak bahagia hidup sama Kakak.”
“Kak, sesuatu yang Kakak kasih sekarang udah lebih dari cukup buat diriku. Aku nggak butuh barang mewah atau apa pun itu, aku cuma butuh Kakak selalu ada di sampingku. Bahagiaku nggak muluk-muluk. Kakak selalu ada di sisiku udah bikin aku bahagia.”
Arin mengusap air mata adiknya, lalu ia memeluknya lagi. Setelahnya, mereka menikmati senja tanpa saling berbicara.
“Kamu inget nggak?” Arin membuka percakapan terlebih dahulu. “Dulu, setiap ada hal yang patut buat dirayakan, kita berempat selalu ngerayain di pantai. Ayah sama ibu benar-benar suka sama pantai. Sekarang, cuma kita berdua. Bahkan sebelumnya, cuma Kakak karena kamu nggak pernah mau ke pantai lagi, juga merayakan hal-hal yang patut dirayakan. Kakak tahu, kamu sebenaranya nggak pernah benci itu semua. Kamu nggak mau melakukan hal-hal itu lagi karena kamu takut kenangan yang kamu punya tentang hal itu bikin kamu sedih. Arin berkata sembari menatap deburan ombak.
“Aku inget semuanya, Kak. Tebakan Kakak benar, aku nggak pernah benci, aku cuma takut tersakiti kenangan bahagia itu. Kenangan yang nggak bakal bisa diulang lagi dengan formasi lengkap. Maaf ya, Kak?”
Arin tidak menjawab, ia langsung memeluk adiknya lagi.
“Makasih, ya, Kak.”
“Buat apa? Kuenya dari Mae. Beliau yang lebih pantas dapat ucapan terima kasihmu.”
“Makasih karena nggak ninggalin aku di saat Kakak punya pilihan itu. Aku sayang Kakak. Aku cuma butuh Kakak. Bahagiaku ya sama Kakak. Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku bahagia hidup sama Kakak.”
Arin tersenyum mendengar perkataan adiknya. Waktu itu, beberapa hari setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, ia mendapatkan beasiswa kuliah di luar kota yang jauh dari tempatnya tinggal. Akan tetapi, ia menolaknya, ia lebih memilih menetap di sini dan menjadi tulang punggung untuk adiknya. Ia tidak mau meninggalkan adiknya sendirian di sini. Selama ini, Arin selalu mengira Nara tidak pernah bahagia setelah kedua orang tua mereka meninggal. Hari ini Arin tahu kalau dugaannya salah. Nara ternyata bahagia. Kalau begitu, Arin juga bahagia. Bahagia Arin sederhana, melihat Nara tersenyum seperti sekarang ini adalah kebahagiaan buatnya. Sisa waktu yang mereka punya dihabiskan dengan membicarakan banyak hal. Sembari memakan kue yang Mae berikan, juga memandangi ombak pantai yang selalunya datang dan pergi. Dua kakak beradik itu sudah berbaikan dan akan lebih menyayangi satu sama lain.
Editor: Miqda Al Auza’i A. A.