Oleh : Alil Saputra
Ketika kata sudah tak bisa terucap, mungkin tulisan bisa jadi bahasa untuk mengungkap, jika tulisan pun masih tidak bisa menyingkap, biarlah Tuhan yang jadi penggarap
Matahari bahkan belum terlihat ketika Bapakku memulai harinya. Mungkin Bapakku yang membangunkan ayam jago, bukan ayam jago yang membangunkan Bapakku. Bagaimana tidak. Bunyi kapak yang memotong kayu rambutan tepat di samping kandang pasti membuat ayam-ayam tak tenang. Bapakku orang yang taat. Ketika azan berkumandang, Bapak selalu pergi ke langgar. Hanya ketika sakit berat ia tak datang. Sisanya, hampir tak pernah sekalipun aku melihatnya terlambat. Selepas salat, tak pernah lupa juga dia membaca Quran. Ah, Bapakku memang manusia pantang menyerah. Seseorang yang selalu menjadi tokoh paling kuat dalam cerita, paling tangguh dalam sejarah. Yang paling awal terbangun dan paling akhir terjaga. Apa pun dilakukan untuk anak dan keluarganya.
Pak Tarjo, begitulah orang-orang memanggil Bapakku, seorang petani di lereng Gunung Slamet. Ya, bertani memang mata pencaharian umum di daerahku. Mau bagaimana lagi. Bertani sudah menjadi semacam pekerjaan turun temurun. Anak petani akan menjadi petani, anak guru bakal jadi guru. Begitulah masalah klasik negeri ini, kemiskinan dan mata pencaharian struktural. Mau bagaimana lagi? Ketika petani basmi tikus di sawah, yang di gedung malah berusaha pelihara tikus bedebah.
Oh iya, namaku Prapto, lengkapnya? Namaku hanya itu. Hanya Prapto, tanpa nama belakang, apalagi nama keluarga. Aku terlahir dari keluarga yang biasa saja, keluarga yang berkecukupan tanpa berkelebihan. Bapakku selalu berkata bahwa cukup itu ketika bisa bahagia dengan apa yang ada bukan bahagia dengan yang harus ada. Itulah kenapa Bapakku selalu berkata bahwa kami adalah keluarga yang berkecukupan, tak perlu malu hanya karena kami tidak punya sesuatu seperti keluarga lain.
Keluargaku juga bukan dari orang berpendidikan, pastinya. Kalau berpendidikan mana mungkin jadi petani, orang tuaku SD saja tidak lulus. Tapi, orang tuaku selalu menginginkan anaknya bisa bersekolah. Selagi mereka mampu, mereka ingin anaknya bisa mengenyam bangku kuliah. Aku anak tunggal, tidak punya kakak tidak punya adik. Mungkin aku satu-satunya harapan orang tuaku untuk bisa bersekolah sampai kuliah. Tapi, aku pun sempat ragu, apa orang tuaku bisa membiayai kuliah anaknya. Biarlah. Fokusku saat ini adalah belajar tekun di SMA. Ya walaupun rajin saja tidak pernah menjamin kesuksesan.
Kata orang, agar menjadi orang sukses itu harus punya salah satu dari tiga hal, yaitu orang kaya, orang dalam, atau orang beruntung. Iya, saat ini aku sedang mengandalkan peruntunganku. Sudah cukup tentangku. Aku di sini ingin menceritakan Bapakku, tentang betapa sulitnya para petani di desa untuk mendapatkan yang namanya sejahtera.
***
“Bu, dasiku nang ndi, ya?” Senin pagi, kebiasaanku kehilangan dasi dan topi pastinya.
“Lha, mbok ya disimpen sing bener, disimpan di mana memang, wong, wis tak wanti-wanti mbok ya disimpen sing bener, coba mungkin di kolong kasur,” jawab Ibuku.
“Mboten wonten, Bu” sangkalku agar ibuku ikut mencari. Kadang memang jika ibuku yang mencari memang pasti ditemukan, ah, the power of emak-emak.
“Esuk-esuk sudah buat susah orang tua, salah sendiri ceroboh, malah orang tua yang repot,” gerutu Ibuku sembari datang ke kamarku.
“Lha, kiye mbok topi, astaghfirulloh, ngganggu ibumu lagi masak wae, kalau geseng ora sarap awakmu,” sudah kubilang kan jika ibu yang mencari pasti ketemu, aneh memang, tadi saat mengecek bawah bantal, tidak ada itu topi, tapi kenapa ada ketika ibuku yang cari.
“Le, sarap sit, sudah siap, nanti baru berangkat sekolah.”
Semarah apa pun ibuku dia tidak lupa dengan keadaan anaknya. Aku pergi ke dapur, ada sayur daun singkong dengan nasi. Ya, itulah keuntungan kami sebagai petani. Meski tidak ada uang, minimal ada sesuatu untuk dimakan.
Bapakku sudah lebih dulu pergi ke sawah. Sarapannya akan diantar ibuku ke sana, sekalian untuk orang-orang yang membantu Bapakku panen padi. Di desa, mereka yang membantu panen padi kadang adalah mereka yang punya ternak sapi atau kerbau. Mereka gratis mengambil dan mereka pun rela membantu.
***
Suara bel pulang adalah suara bel paling indah yang terdengar, yang selalu ditunggu setiap siswa. Segera kugendong tasku untuk pulang, sudah lapar betul perutku. Sesampainya di rumah terlihat Bapakku sudah pulang, duduk di ruang tamu dengan ibu. Terhidang di meja segelas kopi dan sepiring mendoan.
“Assalamualaikum, Pak, Bu.”
“Wa’alaikumsalamsam, makan dulu, nang dapur sudah ada kangkung sama gesek. ”
“Nggih, Bu,” jawabku.
Aku masuk kamar terlebih dahulu untuk ganti baju, setelahnya aku datang ke dapur untuk mengambil makan. Saat makan kudengar ada seseorang datang berkunjung.
“Assalamualaikum, Pak Tarjo, Bu Tarjo,” salam tamu itu.
“Waalaikumsalam, Pak Sidi, monggo, Pak Sidi,” suara Bapakku terdengar mempersilakan orang yang dipanggil Pak Sidi itu.
“Tak damel unjukan rihin nggih, Pak Sidi,” tawar ibuku, tanpa menunggu jawaban ibuku lantas pergi ke dapur menyiapkan kopi dengan sepiring mendoan.
“Siapa, Bu?” tanyaku.
“Pak Sidi,” jawabnya singkat.
“Pak Sidi sinten, Bu?” tanyaku lagi.
“Tengkulak, Pak Sidi ini yang mau membeli gabah kita,” jawabnya lagi. Setelah itu, ibuku langsung membawa makanan yang sudah disiapkan untuk Pak Sidi itu. Dari dapur masih terdengar percakapan ketiganya.
“Monggo, Pak, unjukane,” tawar ibuku pada Pak Sidi. Ibuku tidak kembali ke dalam, mungkin ibuku tetap di sana ikut tawar menawar.
“Panennya banyak, Pak?” tanya Pak Sidi basa-basi.
“Nggih, Alhamdulillah, sedang banyak, Pak, katanya harga beras sedang mahal ya, Pak?” jawab Bapakku.
“Nggih, sudah turun lagi, Pak. Wong sekarang banyak yang panen ya harga turun lagi,” jawabnya. Begitulah kehidupan petani di desa, setiap harga dikendalikan oleh tengkulak.
“Nggih, nggih.”
Ah, Bapakku. Mungkin jika aku punya pengalaman lebih, aku yang akan menjualnya, aku yang akan berusaha mencari konsumen. Sayangnya, aku tidak tahu.
Percakapan berlanjut sampai diputuskan berapa harga yang cocok untuk gabah. Menjelang Magrib, Pak Sidi pamit undur diri. Harga sudah ditentukan. Setiap karung padi dihargai 550 ribu per kuintal, yang berarti satu kilo hanya 5500 rupiah. Murah, sangat murah. Benar-benar tidak sebanding dengan harga di pasar. Mungkin, banyak yang berpikir kenapa tidak dijual langsung di pasar atau kenapa dijual dalam bentuk gabah bukan beras. Tentu tidak semudah yang dibayangkan.
Untuk menjual ke pasar, kami perlu kendaraan pengangkut. Kalau tidak punya, berarti harus sewa. Di pasar, petani perlu berpikir tentang tempat penjualan, persaingan, dan berapa hari sampai beras atau gabah itu habis. Ditambah pula dengan tenaga yang sudah pasti terkuras.
Petani butuh dana yang cepat. Untuk apa? Untuk kembali mengolah sawahnya. Coba bayangkan jika petani langsung menjual di pasar. Jika diandaikan petani butuh waktu satu minggu untuk menghabiskan hasil panennya, selama satu minggu itu keluarga petani akan makan apa? Sawahnya akan ditanami apa? Mungkin itu alasan petani lebih memilih menjual hasil panennya pada tengkulak, bahkan ada yang menjual hasil panennya secara ijon, yaitu menjual hasil panen sebelum tanaman siap panen. Hal tersebut biasa dilakukan karena si petani butuh dana cepat sedangkan sawahnya masih belum siap panen.
Sering kubayangkan, seandainya aku menjadi menteri pertanian atau presiden, mungkin aku akan benar-benar memperhatikan mereka, para petani dan nelayan. Kadang mereka yang sudah berjabatan lupa dengan tanggung jawabnya, lupa dengan janjinya. Orang bilang sekarang dongeng itu bukan lagi diawali dengan “pada suatu hari…” tapi bisa juga dengan “Jika saya terpilih nanti ….” Lucu memang.
“To… Prapto…,” panggil Ibuku, membuyarkan lamunanku.
“Nggih, Bu,” jawabku.
“Sesuk sekolahmu prei mbok, ya, sesuk bantu Bapakmu, bawa gabah nang sawah ya!”
“Iya, Bu, sesuk ana Nyepi dadi prei. Apa sudah selesai semua, Bu? Sudah kering gabahnya?” tanyaku meminta penjelasan.
“Lha, wong kowe ndak pernah ke sawah, ya, ndak tahu, gabahe kuwe sudah kering dari hari Minggu, makanya sering-sering ke sawah, dadi paham bagaimana mengolah sawah, Bapak lan Ibu iki wis tuwo, nanti siapa yang melanjutkan kalau bukan kamu, Le.”
“Aku mbok ya sekolah, Bu. Bapak ngendika jere ‘sekolah sing pintar agar tidak seperti Bapakmu iki’,” sangkalku.
“Wis pinter njawab, ya. Sudah intinya besok kamu bantu Bapakmu bawa gabah ke rumah Pak Sidi,” tegas Ibuku.
Jam 10 malam, aku sudah di kamar, tapi belum tidur. Entahlah, banyak sekali pertanyaan mengganjal di otakku. Kulihat di televisi harga kebutuhan pokok naik, tapi kenapa harga di petani masih sangat murah? Ada lagi sekali waktu, kulihat pemerintah mengimpor beras dari Vietnam, mengimpor sayuran dari China. Kadang, tak habis pikir. Masa iya, Indonesia yang sering digaungkan sebagai negara agraris, masih mengimpor kebutuhan pokoknya. Selain itu, akan terasa aneh jika kita kekurangan kebutuhan pokok, tapi di petani sayur dan beras benar-benar dijual murah, bahkan ada yang sampai membusuk karena tak terjual.
***
Keesokan paginya, aku bersiap untuk pergi ke sawah dengan kaos buluk lengan panjang. “Biar ndak hitam,” kata ibu, padahal memang sudah hitam. Tak ketinggalan pula topi dan sebuah tas anyaman khas petani desa yang biasa digunakan untuk mengantar makanan ke sawah. Bapakku sudah terlebih dahulu pergi ke sawah, sekitar 7.30 aku baru beranjak dari rumah.
“To… Prapto…,” terdengar suara Kardi, temanku.
“Ya, Di, ada apa,” tanyaku.
“To, aku arep njaluk tulung, tolong sekalian titip, ini, sarapane Bapakku, ya,” pinta si Kardi.
“Yo wis, kenapa, kok, ndak ngirim sendirike Bapakmu,” tanyaku.
“Ana bisnis aku, kamu ndak perlu tahu,” sambil tertawa, si Kardi ini lantas pergi.
“Ya sudah, aku pergi dulu, ya, Prapto,”
Aku hanya geleng kepala. Aku memang melewati sawahnya Pak Rasim, Bapaknya Kardi. Setahuku dia sedang menanam buncis. Tak jauh berbeda dengan Bapakku, setiap panen pasti harga buncis juga menjadi murah. Bahkan kadang sekilonya hanya dihargai 500 perak, lebih murah dari WC umum atau parkir Indomaret.
“Pak Rasim, ini sarapan saking Kardi, Pak,” panggilku.
“Oh, nggih, kok kamu yang ngirim, To?” tanyanya.
.
.
.
Setelah memberikan bekalnya Pak Rasim dan mengobrol singkat, aku segera melanjutkan jalanku. Sawah Bapakku memang tidak jauh dari sawah Pak Rasim. Dari tempatku berdiri, terlihat Bapakku sudah mulai memasukkan gabahnya ke dalam karung dibantu oleh Warsim, tetanggaku. Kemarin ketika panen, dia jugalah yang membantu. Warsim lebih tua dua tahun dariku. Di rumahnya ada sapi, mungkin karena itu juga dia mau membantu. Ada dua orang lainnya, Pak Marsudi dan satu lagi tak tahu namanya. Mereka berdua juga punya sapi atau kerbau di rumahnya, sama seperti Warsim.
“Sarapan rihin, Pak,” tawarku singkat.
“Warsim, Marsudi, Poniman, yuh sarap disit, sudah datang itu.”
Ternyata orang ketiga yang membantu Bapakku bernama Pak Poniman. Di situ, aku ikut sarapan karena memang belum sarapan di rumah. Ibuku tidak ikut, dia di rumah. Mungkin karena memang sudah kugantikan tugasnya untuk mengantarkan makanan.
Selesai sarapan, aku ikut membantu Bapakku memasukkan gabah ke karung. Sekitar jam 9 semua gabah selesai dikarungkan, tinggal memindahkan ke mobil kap terbuka milik Pak Sidi yang memang sudah terparkir sejak tadi. Ini waktu yang paling malassebenarnya, mengangkat gabah ke mobil kap. Hasil panen kali ini dapat 10 karung. Satu karung beratnya bisa sampai 50 kg.
Selesai mengangkut karung gabah, gabah akan dibawa langsung ke rumah Pak Sidi. Bapakku ikut ke sana sebagai saksi saat menimbang gabah dan sekalian pembayaran.
“Ya wis, Pak, Prapto pulang dulu ya,” izinku pada Bapak.
“Ya, piring-piringnya aja lali, ya,” Bapakku mengingatkan.
“Nggih, Pak,” jawabku.
Aku sampai rumah mungkin sekitar waktu Zuhur. Segera aku mandi, lalu makan siang. Ibuku sudah masak banyak, mungkin sebagai tanda syukur atas panen kali ini. Walau tidak spesial seperti masakan di restoran, tapi ini lebih dari cukup bagi keluarga kami. Ada ikan asin, telur balado, tumis kangkung, dan sambal terasi. Sederhana, tapi benar-benar berkah untuk kami. Mungkin ini uang hasil mengumpulkan ibuku, khusus untuk hari ini.
Tak lama kemudian, sekitar pukul satu siang, Bapakku sudah sampai di rumah. Walau masih terlihat lelah, raut wajahnya lebih semringah dari biasanya. Sama sepertiku, Bapak segera mandi dan menunaikan Salat Zuhur, baru kemudian makan siang. Lahap benar Bapakku ketika makan, apalagi ditambah jengkol. Oh iya, Bapakku memang suka sekali dengan jengkol, jengkol mentah. Jadi itu seperti makanan wajib Bapakku saat makan.
Aku tak pernah berani menanyakan berapa upah yang didapat pada setiap panen. Entah, mungkin karena aku telah diajarkan tradisi Jawa di mana seorang anak tidak boleh ikut campur urusan orang tua. Walau kuyakini harga yang diperoleh tak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan, tapi terlihat kedua orang tuaku benar-benar bersyukur dengan apa mereka dapat. Alhamdulillah, mungkin ini memang hari yang membahagiakan.
***
Malamnya, ketika aku, Bapakku, dan Ibuku, sedang menonton TV tabung kecil di ruang keluarga, terdengar ada orang datang bertamu.
“Assalamualaikum, kula nuwun,” terdengar salamnya
“Nggih, mangga,” Ibuku beranjak membuka pintu.
“Bapaknya, ada?” tanya si tamu yang aku tak tahu siapa dia. Setelah si tamu masuk, aku baru mengenalinya. Dia Pak Sudardi, tetanggaku. Kami satu RT, tidak jauh rumahnya dari rumahku, mungkin hanya berjarak tujuh rumah ke arah timur.
“Ooh, Pak Sudar, mangga, Pak, mangga,” Bapakku mempersilakan. Ibuku lantas ke dapur, menyiapkan minuman. Barangkali hanya teh tawar hangat karena persediaan kopi dan gula di rumahku sudah habis.
Benar saja. Tidak lama, ibuku membawa dua gelas berisi teh yang masih terlihat uap panasnya. Ibuku duduk di samping Bapakku. Ruang keluarga dan ruang tamu di rumahku hanya dibatasi oleh gorden sehingga tidak aneh kalau aku masih bisa dengar pembicaraan mereka. Lha wong dari dapur saja masih bisa terdengar perbincangan orang yang sedang di ruang tamu.
“Mangga, Pak, diminum dulu tehnya,” kata Bapakku.
“Nggih, Pak,” jawab Pak Sudardi.
“Nuwun sewu, Pak. Jadi, niat saya kesini mau minta tolong, mbok Pak Tarjo sekeluarga ada uang lebih saya mau pinjam, Pak. Putrane kula, si Jiman sudah mau masuk SMP, niatnya untukmembeli seragam,” lanjut Pak Sudardi.
Selanjutnya aku pergi ke kamar tak mendengarkan lagi perbincangan mereka. Sekilas kulihat Bapakku menyodorkan empat lembar uang ratusan ribu di akhir perbincangan mereka, entah itu cukup atau tidak untuk Pak Sudar. Bagaimana pun, Bapakku tidak bisa memberi semua uang hasil panennya karena Bapakku pun perlu untuk menghidupi keluarga dan sawahnya. Belum lagi utang-utang pada petani lain.
Begitulah, kadang memang petani di desa lebih memilih pinjam ke sesama petani daripada lintah darat. Selain tanpa bunga, pinjam pada petani lain juga bisa dilunasi ketika kami panen, bisa 3 bulan sekali atau 4 bulan sekali. Berbeda dengan para lintah darat yang harus dibayar tiap bulan dengan bunga mencekik. Mana mungkin petani bisa membayar angsuran rentenir padahal mereka mendapat uang setiap panen, bukan setiap bulan.
Aku pun tahu, Bapakku pasti melakukan hal yang sama seperti Pak Sudar tadi. Mungkin saat aku beranjak ke SMA, Bapakku berusaha mencari pinjaman. Entah pinjaman dari mana dan siapa, yang penting, anaknya bisa bersekolah. Begitulah sosok seorang Bapak. Dia tidak akan pernah menunjukkan bagaimana usahanya mencari uang, peras keringat, pinjam sana-sini. Semua dilakukan agar keinginan anaknya terpenuhi. Mungkin karena tanggung jawabnya sebagai pemimpin untuk tidak terlihat lemah di depan keluarganya. Ah, Hebat benar Bapakku ini.
***
Mungkin itu sepenggal cerita dari Bapakku, seorang petani di desa yang mendambakan kesejahteraan. Iya, itu baru sepenggal, mungkin belum sepersepuluh dari susahnya petani di desa. Masih banyak permasalahan kami sebagai petani.
Ceritaku tadi baru tentang panen padi yang hanya sekali panen. Beda kasus jika kami menanam buncis, kacang panjang, atau semacamnya, di mana petani bisa melakukan panen sampai sepuluh kali. Di situ benar-benar akan terlihat tengkulak yang menguasai harga. Pernah sekali, tengkulak benar-benar mempermainkan harga buncis Bapakku. Saat harga buncis naik, tengkulak selalu mencari alasan untuk tidak menaikkan harga, jika naik pun mungkin hanya berapa ratus perak. Tapi ketika harga turun, bak kucing melihat ikan asin, tanpa konfirmasi dan persetujuan kedua belah pihak, tiba-tiba harga sudah diturunkan.
Ditambah lagi di desaku hanya ada satu penjual pupuk. Mungkin bisa dibayangkan, dengan mayoritas bekerja sebagai petani dan hanya ada satu penjual pupuk, benar-benar sangat mudah untuk memonopoli harga. Apa boleh buat, kami petani harus tetap membelinya karena kami butuh. Jika ingin harga lebih murah, mungkin harus pergi ke kota. Tapi apa iya Bapakku akan bolak-balik pergi ke kota untuk membeli pupuk?
Itu masalah pupuk. Belum lagi ketika kami harus mengalami gagal panen. Dulu, Bapakku juga pernah mengalaminya. Susah betul keadaan saat itu. Akibat dari hasil panen yang buruk, kami dituntut untuk membagi uang yang tak seberapa untuk kebutuhan makan dan biaya tanam. Saat itu, terlihat benar Bapakku harus mengetuk pintu demi pintu untuk mendapat pinjaman.
***
Kami petani tidak bisa maju sendiri. Kami tidak punya fondasi, kami butuh tangan-tangan pejabat negeri ini. Guruku pernah berkata, “Beri petani subsidi hasil, beli dengan harga mahal, lalu jual kembali dengan harga murah untuk membantu mereka yang tak punya sawah. Petani tidak butuh subsidi pupuk, petani butuh kehidupan yang lebih empuk.” Betul kata guruku, untuk mengurangi monopoli harga oleh tengkulak, kami perlu peran serta para pejabat. Pajak kami bayar dengan harapan sebuah kesejahteraan, bukan untuk digunakan pejabat untuk liburan.
Katanya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tapi katanya masih tetap menjadi katanya, belum bisa menjadi nyatanya. Ah, bodoh sekali jika kita masih tetap berharap pada para pemuja kapitalis, pada mereka yang tahunya hanya untung atau buntung, tanpa peduli pada nasib kami para rakyat kecil. Sekali lagi, buat apa kami diberi subsidi obat pengusir hama tanaman kalau di gedung kubah hijau di sana masih banyak tikus yang berkeliaran.
Aku ingin jadi pejabat, tapi aku takut malah ikut tersesat, takut melupakan niat untuk meningkatkan derajat hidup rakyat. Aku selalu berharap agar negara ini bisa adil pada rakyatnya. Berharap negara ini bisa menjalankan sila ke-5 ideologinya. Kata Kasino Warkop, “Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur.” Jangan sampai kita menjadi ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. Kita harus menjadi raja di negeri sendiri.
~end~
“Hidup ini memang tidak adil, jadi biasakanlah dirimu”
Patrick Star
Editor: Nida Ismiatun Azzahra