Oleh: Rofingatun Hamidah**
Cuaca yang terik siang ini bercampur dengan bising suara teriakan dan isak tangis yang tak ada hentinya. Dengan emosi yang sudah membubung di atas kepala, kubanting gelas kopi yang tinggal menyisakan ampas di meja. Urat leherku sudah menonjol dan tinggal menunggu waktu gelegar suaraku membentak dua bocah nakal di depan sana.
“Bapak… Bapak jangan marah, kita kan cuma meminta paket internet,” rengekan anak bungsuku terdengar memelas.
Karena mendengar keributan, istriku datang tergopoh-gopoh dari dapur. “Sudah to, Mas… Mereka masih kecil.”
Kalau saja tiga pasang mata itu tak menatapku dengan tatapan yang tak bisa kukendalikan, tentunya segala umpatan akan keluar begitu saja dari mulutku. Mengembuskan napas, kucoba kendalikan emosi agar tak tumpah-ruah begitu saja. Di masa-masa seperti ini, tentunya rengekan dari kedua bocah itu hanya memperkeruh suasana. Mereka tak akan mengerti bahkan entah sampai beratus-ratus kali aku jelaskan keadaan keuangan keluarga ini. Yang mereka tahu hanyalah meminta, selayaknya anak pada umumnya. Toh, anak tertuaku baru berumur tujuh tahun dan dengan adiknya hanya selisih dua tahun. Tahu apa mereka tentang kehidupan yang kejam ini?
Mengalah. Akhirnya aku beranak pergi keluar rumah. Mencoba menenangkan diri dan mencari jalan keluar. Di perjalanan yang tak tentu arah ini, benakku terus saja memaki. Kondisi sulit seperti ini, paket internet semakin lama semakin mahal saja rasanya. Buat beli makan sehari-hari saja susah.
“Halo, Bambang!”
Mendengar namaku dipanggil, aku pun menoleh dan menemukan Pak Tukino melambai di belakangku. Pak Tukino adalah teman remajaku. Ia sudah sukses sekarang. Aku yakin, masalahnya bukan lagi soal khawatir tak mampu membelikan paket internet anak yang sudah habis.
“Eh Pak Tukino, sedang apa, Pak?” tanyaku basa-basi demi sopan santun.
“Oh ini Bambang, lagi mantau sekitar saja. Kan sebagai panitia di masa pandemi ini kudu serius tonanganinnya. Barangkali ada warga yang masih bandel keluyuran keluar rumah.”
Jawaban Pak Tukino ini membuatku sedikit tersentil. Memang benar, pandemi ini menuntut kita untuk tetap di rumah. Namun, bagaimana dengan nasib orang kecil seperti aku ini? Di rumah hanya bisa mendengar rengekan dan tangisan anak-istri. Pandemi juga membuat seorang tentara seperti Pak Tukino menjadi orang penting di desa kecil kami ini. Tentunya, orang-orang terpandanglah yang ditugaskan untuk memegang peranan penting di tingkat desa. Tak lama setelahnya kami berpisah di perempatan, ia ingin ke RT 04 sedangkan aku hanya mencoba menghindar darinya dan berkata ingin ke RT 03. Yah, aku hanya malu berjalan di dekatnya. Aku pun berpikir, andaikan aku juga seorang tentara. Hidupku akan makmur dan serba berkecukupan. Ah, andai kata juga aku tak berandai-andai, aku pasti akan lebih mensyukuri hidupku ini. Andai oh andai.
Tak kusangka, karena sibuk dengan kata andai. Benakku berputar, saling mengait, dan tumpang tindih membentuk sebuah memori lama yang muncul kembali.
***
“Woi, Bambang! Ngapain bengong? Oper bolanya ke arahku!” teriakan seorang teman menyadarkanku, dengan gagap aku pun mengoperkan bola tersebut ke arahnya. Karena tak fokus, tembakan bolaku pun salah sasaran. Sedikit miring dan tertangkap oleh lawan. Gawat. Dan benar saja, dia begitu lincah. Tanpa aba-aba lagi sudah berada di depan gawang dan membobol gawang tim kami. Sial.
Karena kejadian tadi, teman-teman satu timku selalu saja mengolok-olokku sebagai “Tuan berkhayal” ataupun “Tukang ngalamun” dan sebutan-sebutan lain yang sejenis. Aku hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Terserahlah apa kata mereka. Sudahlah, aku sudah cape bermain.
“Hey, mau ke mana kamu, Bambang?! Belum selesai ini…” melambaikan tangan, kutinggalkan mereka dan duduk selonjoran di pinggir lapangan.
Tadi, aku hanya sedang membayangkan seberapa gagahnya aku menjadi bagian dari ABRI. Aku sering melihat mereka berbaris beriringan melewati lapangan ini. Mereka terlihat begitu gagah dan berwibawa. Auranya membuat mereka begitu memesona.
Susah sekali mendapatkan baju atau aksesoris mereka buat orang sepertiku, yang hanya anak seorang petani ini. Tukino, aku memperoleh berbagai macam aksesoris ABRI darinya. Maklumlah, kakeknya seorang pensiunan ABRI. Tentu mudah saja buat Tukino memperolehnya.
Usiaku masih belasan tahun, dan aku ingin menjadi seperti mereka. Bicara soal mereka, tumben sekali derap langkahnya belum terlihat ataupun terdengar. Biasanya gerombolan dari mereka sudah membuat debu di lapangan ini bertebaran, menyebabkan sakit mata dan batuk-batuk. Ah, mungkin sebentar lagi.
Salah seorang di antara teman-temanku tadi datang menghampiri, cape juga katanya. Duduk selonjoran di sampingku, ia berujar, “Nungguin mereka lagi, ya? Nanti malam kau ada kumpul hadro, kan? Jangan lupa persiapan.”
Pertanyaan Tukino tak kuhiraukan, gerombolan hijau itu sudah muncul di balik rumput ilalang yang bergoyang terkena hembusan angin sore. Itu dia! Itu dia yang aku tunggu-tunggu! Usiaku sudah remaja, namun masih saja suka dengan mereka. Aku ingin menjadi bagian dari mereka dan memakai baju loreng itu.
Sebentar, mataku tak salah lihat, bukan? Atau karena debu yang memenuhi lapangan membuat mataku perih dan penglihatanku buram? Mereka bukan lagi gerombolan hijau, namun sudah menjadi gerombolan kuning! Ini tidak salah?
Lalu aku pun teringat siaran radio tadi malam dan surat kabar tetangga tadi pagi, yang kuintip sebentar setelah loper koran menggeletakkannya begitu saja di depan rumah. Keduanya sama-sama membahas topik yang sama. Katanya, ciri khas hijau ABRI sudah berubah menjadi kuning. Karena kesal, aku pikir itu hanya lelucon semata. Apa kata mereka? Berganti warna? Yang benar saja!
Namun sekarang, dengan berat hati akhirnya aku percaya dengan kabar dari radio dan surat kabar itu. Dengan berat hati aku terduduk lesu. Ah, mengapa bisa? Batinku terus saja bertanya-tanya, mengapa? Melihatku menunduk lemas, Tukino menepuk bahuku dan bertanya, “Ada apa, Bambang?”
“Aku tak lagi ingin menjadi mereka…” ujarku lemas.
Hari ini, hari di mana aku masih remaja. Aku sudah melepaskan impian masa kecilku. Usiaku masih remaja, dan aku tak tahu harus menjadi apa?
***
“Astaghfirullah”
Karena asyik melamun, tak kulihat jalan berlubang di depanku. Sedikit terjungkal, aku mencoba bangun sendiri dengan rasa malu yang kuterima. Wajar saja aku malu, di depan sana, gerombolan bapak-bapak yang sedang bermain karambol tertawa terbahak-bahak melihatku.
“Masih seperti dulu saja kamu, Bambang… Bambang. Tukang ngalamun!” Duduk di antara mereka, kuamati ada sekitar tujuh-delapan orang bergerombol di pos ronda ini.
“Enggak takut digerebek?” tanyaku heran.
“Bentar doang, ndak apa-apa to?” pertanyaanku dijawab enteng saja.
“Yono, kamu punya uang, ndak? Anakku ngerengek terus ini minta paket internet.” Tanpa malu, aku pun bertanya pada salah satu teman di gerombolan bapak-bapak itu. Sudah kepepet, tak ada gunanya mementingkan gengsi.
“Wah, maaf… aku juga lagi pailit ini.”
Semua orang di gerombolan itu kutanyai, jawabannya sama saja. Beberapa dari mereka menyarankan tempat-tempat peminjaman uang. Meski begitu, aku masih ragu meminjam uang ke tempat-tempat itu.
“Ah, ya sudahlah…,” ucapku lunglai.
Akhirnya aku memutuskan untuk terus berjalan, tentunya tanpa tujuan.
Kulihat di ujung sana ada rumah gedongan berwarna abu-abu tua. Ah, masa iya aku harus ke dia? Gengsiku masih tersisa beberapa untuk mengunjungi rumah yang tinggal beberapa langkah itu. Gengsiku pun menuntunku untuk berputar arah, memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun rengekan anak-anak seperti terdengar kembali. Belum lagi, tadi malam istriku bilang beras di rumah tinggal satu kali masak. Untuk mencari pekerjaan lain, tentunya masih membutuhkan lima-tujuh hari lagi. Gengsiku tak akan mampu membuat kenyang anak-istri. Berputar arah, kuketuk pintu putih itu dan memberi salam.
“Assalamualaikum, Pak Tukino…”
*Cerpen ini terinspirasi dari salah satu artikel di Tirto.id
**Penulis, Mahasisiwi Jurusan Sosiologi Angkatan 2018
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 39 | April 2021 pada Rubrik Cerita Pendek.