Pasar Gratis Purwokerto: Menyikapi Realitas Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial di Purwokerto

Oleh: Firliana Indah Safira

Beroperasi sejak Oktober 2020, Pasar Gratis Purwokerto rutin menggelar lapak setiap hari Rabu dan Minggu. Melalui slogan ‘Not for charity. This is protest!’ Ardiansyah ingin menyampaikan kritik terhadap kondisi sosial yang ada di Kota Purwokerto.

Di tepi jalan, kerumunan anak kecil dengan semburat wajah bahagia berdatangan memenuhi lapak yang digelar dengan sederhana sore itu (21/02), tepatnya di Jalan Pancurawis, Karanganyar, Purwokerto Selatan. Bukan hanya potret anak kecil saja, beberapa warga sekitar juga turut memeriahkan lapak. Mereka semua tampak terkesima menyaksikan sebuah lapak sederhana yang dikenal dengan sebutan Pasar Gratis Purwokerto.

Pasar Gratis Purwokerto merupakan sebuah gerakan yang lahir dari fenomena keberadaan pasar gratis yang telah menjamur di kota-kota besarseperti Bandung, Jogjakarta, dan lain sebagainya. Adrianysah, salah satu pendiri gerakan Pasar Gratis Purwokerto mengatakan bahwa gerakan ini juga lahir sebagai akibat dari adanya realitas kondisi Kota Purwokerto. Menurutnya, hingga kini di Kota Purwokerto masih dijumpai potret ketimpangan sosial dalam tatanan kondisi masyarakatnya. Belum lagi soal merebaknya praktik budaya konsumerisme di kalangan muda-mudi, membuat keresahan tersendiri bagi masyarakat dalam perkembangan kondisi sosial yang ada. Melalui gerakan ini, Adrianysah dan rekannya berharap mereka dapat mengurangi ketimpangan sosial tersebut.

Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial di Purwokerto

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas tahun 2019 menyebutkan persentase kemiskinan Kota Purwokerto berada pada angka 12,53% dengan total penduduk miskin sebanyak 211 ribu jiwa. Berdasarkan studi yang dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, dan Banyumas menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di antaranya terjadi karena inflansi, pengangguran, dan pengeluaran pemerintah.

Selain kemiskinan, fenomena ketimpangan sosial juga turut mewarnai ruang lingkup Kota Puwokerto. Menurut Kuncoro dalam bukunya yang berjudul “Ekonomika Pembangunan: Teori Masalah dan Kebijakan”, ketimpangan diartikan sebagai hal yang mengacu pada standar hidup yang relatif pada seluruh masyarakat. Dalam buku “Makroekonomi: Teori Pengantar”, karya Sadono Sukirno menjelaskan perbedaan ini membuat tingkat pembangunan di suatu wilayah dan daerah mengalami perbedaan, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut.

Selaras dengan definisi tersebut, bentuk ketimpangan di Kota Purwokerto saat ini dilihat melalui standar hidup masyarakatnya. Disebutkan Adrianysah, fenomena ketimpangan sosial di Purwokerto diperlihatkan oleh keberadaan Kampung Sri Rahayu. Kampung ini terletak di selatan Andang Pangrenan dan dikenal sebagai Kampung Dayak. Ia menyebutkan, mayoritas penduduk kampung ini berprofesi sebagai tukang becak, pengamen, bahkan ada yang menjadi pekerja seks. Beberapa juga banyak dijumpai anak-anak jalanan yang tinggal di kampung ini.

Saat ini telah dilakukan pemberdayaan masyarakat Kampung Sri Rahayu oleh pihak Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (PSDK UMP) Dilansir dari Media Indonesia bahwa masyarakat Kampung Sri Rahayu sudah mulai beralih profesi. Beberapa di antaranya beralih profesi menjadi pengrajin. Hanya 10% saja yang masih menjalani profesi lama. Selain itu, pihak PSDK UMP juga telah membentuk sejumlah kelompok yang terdiri dari kelompok pengrajin, kelompok tani, dan kelompok lele guna mengajak mereka yang masih menjadi pengamen, pengemis dan pekerja seks untuk diberikan pelatihan.

Adriansyah juga menyebut contoh lain dari ketimpangan sosial dilihat dari Kampung Desa Pachor. Kampung ini terletak di tengah area persawahan yang berada di tengah-tengah kota, tepatnya di Desa Kalibener, Purwanegara, Purwokerto Timur. Masyarakat di kampung ini memiliki pekerjaan yang sudah cukup beragam. Namun, masih terbilang sangat sederhana. Ia menjelaskan mayoritas masyarakat di kampung ini merupakan orang-orang marginal yang terpinggirkan dari tatanan kehidupan sosial di Kota Purwokerto yang saat ini sudah dipenuhi oleh bangunan-bangunan bertingkat, serta banyaknya fasilitas hiburan yang lengkap.

Selain itu, Adriansyah menambahkan fenomena ketimpangan sosial di Purwokerto dapat dijumpai dari arah perempatan pasar wage, tepatnya di pinggir jalan. Di sana terdapat sebuah pemukiman yang di dalamnya banyak anak jalanan di tengah kota yang rata-rata berprofesi sebagai pemulung, pengemis, dan pengamen.

Bukan Sebuah Gerakan Amal

Sejak Oktober tahun 2020, sudah delapan bulan pasar gratis ini beroprasi dan menggelar lapak di berbagai sudut Kota Purwokerto. Bermodalkan alas seadanya dan beberapa tumpukan pakaian serta buku bacaan menjadi panorama menawan yang menghiasi Kota Purwokerto setiap sore. Mereka menggelar lapak setiap hari Rabu dan Minggu di tempat yang berbeda-beda. Tak lupa pula spanduk lebar yang terbentang dengan tulisan “This is protes. Not Charity” juga turut hadir di dalamnya, mempertegas maksud dari adanya gerakan ini. Seutas senyum terlukis sempurna dari sekelompok penggiat gerakan ini untuk menyambut masyarakat sekitar atau yang sedang berlalu lalang datang ke lapak dengan penuh sukacita.

Dengan berbekal keyakinan dan tekad yang kuat, Adriansyah mengungkapkan bahwa ia beserta rekannya ingin menunjukkan sikap solidaritas kepada mereka yang membutuhkan. Adriansyah mengatakan bahwa gerakan ini bukanlah sebuah gerakan amal. Ia menilai gerakan pasar gratis ini bukan tumbuh dan lahir atas dasar itu. Menurutnya, gerakan ini lebih ditujukkan sebagai kritik sosial untuk menyadarkan orang-orang mengenai kondisi sosial yang saat ini terjadi di Purwokerto.

Melalui gerakan ini, Adriansyah dan rekannya berharap mereka bisa menggerakkan muda-mudi di Purwokerto agar termotivasi dengan membentuk gerakan yang serupa. Dengan begitu, akan ada lebih banyak pasar gratis di Purwokerto.

Mekanisme Kerja Pasar Gratis Purwokerto

Pasar Gratis Purwokerto yang telah menggelar aksinya selama delapan bulan ini memiliki struktur keanggotaan yang bersifat fleksibel. Artinya, siapapun bisa ikut serta menjadi bagian dari gerakan ini, kapanpun mereka mau dan mereka bisa. Tidak ada aturan, baik secara tersirat maupun tersurat yang menjelaskan mengenai system keanggotaan di sini. Adrianysah menjelaskan dalam keanggotaan gerakan ini juga tidak mengenal adanya sistem tingkatan sosial. Dalam arti lain, setiap anggota memiliki hak serta peran yang sama satu sama lain.

Hal lain, Adrianysah juga menjelaskan bahwa target sasaran dari pasar gratis ini masih belum ditentukan secara pasti. “Kita gak ngeliat siapa-siapa. Jadi, ketika ada orang yang datang ke lapak, ya kita layani. Jadi, siapapun itu, mereka bisa datang ke sini,” ujarnya saat ditemui langsung pada Minggu (21/02).
Terkait sistem pemberian donasi atau bantuan sendiri, Adriansyah menjelaskan bahwa untuk saat ini media komunikasi antara donatur dengan penanggung jawab dapat dilakukan melalui Direct Message (DM) ke Instagram @pasargratis.pwt untuk mengetahui informasi lebih lanjut terkait hal tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Adrianysah juga menceritakan kepada awak Sketsa mengenai hal-hal menarik dan kendala yang ia dan rekan-rekannya jumpai pada saat menggelar lapak. Kendala yang dihadapi antara lain ialah keterbatasan kendaraan yang membuat seseorang tidak bisa ikut bergabung dalam kegiatan. Selain itu, ia juga menyebut soal rasa malas yang juga jadi kendala.

Dengan raut wajah bahagia, Adriansyah menceritakan pengalaman menarik ketika ia dan rekannya menggelar lapak. Ketika ada orang yang datang ke lapak atau hanya sekadar lewat, mereka akan memberikan senyuman pada mereka yang melapak. Bagi ia dan rekannya, senyum dari mereka sangat memberikan kesan tersendiri selama melapak.

Pendapat Warga Mengenai Keberadaan Pasar Gratis Purwokerto

Warga sekitar kian ramai mendatangi lapak pada Minggu (21/2). Ada yang sekadar melihat-lihat, menemani anaknya yang penasaran akan lapak ini, dan beberapa di antaranya terlihat memilih pakaian yang ada. Dari potret ini, mereka semua tampak bahagia, dilukiskan melalui senyum mereka yang terlihat sederhana. Anak-anak yang ikut pun demikian halnya. Mereka tampak asyik memilih baju yang menurut mereka cocok. Seperti bukan berada di tepi jalan, anak-anak ini mencoba pakaian layaknya ketika mereka tengah membeli baju di sebuah toko.

Menyaksikan potret bahagia itu, awak Sketsa berhasil mewawancarai warga yang ikut terlibat memeriahkan lapak ini. Tisen, sapaan akrab pria dengan kaos oblong dan wajah sedikit malu mengaku baru pertama kalinya menyaksikan lapak semacam ini. Ia mengaku tahu soal keberadaan lapak ini dari anaknya. “Oh iya Mba, ini tadi anak saya pulang ngaji katanya lihat ada bazar. Jadi, saya temani ke sini,” ujarnya.

Tisen mengaku keberadaan pasar gratis dinilai menyenangkan dan menghadirkan kesan baru baginya. Matanya menatap serius ke arah lapak tersebut dengan penuh kagum. Ia juga menuturkan bahwa keberadaan pasar gratis juga dinilai memiliki manfaat, satu di antaranya sebagai bentuk kepedulian, khususnya ke pada anak-anak.

Reporter: Firliana Indah Safira, Atika Sekar Andita

Editor: Lilit Widiyanti

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *