Portal Berita Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa Univeristas Jenderal Soedirman

Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Unsoed

Oleh : Rofingatun Hamidah

Ilustrasi: Dera Nafalia

“Belum muncul kesadaran dari pengambil keputusan di universitas terhadap kekerasan (seksual-red).”

Begitu ucap Prof. Muhadjir M. Darwin, dalam diskusi daring Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa (LPM Sketsa), menanggapi soal fenomena kekerasan seksual di kampus (31/10/2020). Ketua Tim Perumus Kebijakan Peraturan Rektor (PR) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Gadjah Mada (PPKS UGM) ini juga menyampaikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di kampus mana pun, tanpa pengecualian.

Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Muhadjir, kolaborasi “Nama Baik Kampus” yang dilakukan Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia menunjukkan terdapat kekerasan seksual di 79 kampus di 29 kota se-Indonesia. Testimoni kekerasan seksual yang didapat tahun 2019 ini menyebutkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual yang terjadi, berhubungan dengan perguruan tinggi. Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh sivitas akademika dan terjadi di dalam ataupun di luar kampus, namun masih dalam acara resmi seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, dan sebagainya.

Kasus kekerasan seksual yang pernah disorot adalah kasus Agni. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu terbentuknya peraturan khusus di UGM. Agni–nama samaran–seorang mahasiswi UGM yang mengalami kekerasan seksual ketika melaksanakan KKN di Maluku. Kisah Agni pertama kali dipublikasikan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM (5/11/2018) dengan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan“. Hal ini memancing banyak simpatisan. Diar Padmasari (31/10/2020), penanggung jawab forum advokasi UGM tahun 2019-2020, mengungkapkan bahwa mekanisme penyelesaian kasus tersebut hanya berpatok pada Keputusan Rektor 1699/2016 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan di Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Peraturan tersebut ternyata belum mencakup perihal unit pengaduan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Menilik penyampaian Prof. Muhadjir sebelumnya,  kekerasan seksual dapat terjadi di kampus mana saja, tak terkecuali di Unsoed. Tyas  Retno Wulan saat masih menjabat sebagai Koordinator Pusat Penelitian Gender, Anak dan Pelayanan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (PPGAPM Unsoed) 2010-2017, mendapati beberapa aduan perihal pelecehan seksual, baik dari orang terdekat ataupun orang yang memang menargetkannya.

Di tahun 2020, tercatat tiga laporan diterima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed melalui program Curhat Bareng Kita (Cubita). Kekerasan seksual terlapor terjadi dalam hubungan pacaran dan kegiatan di luar kampus. Hal tersebut disampaikan Lugas Ichtiar, Presiden BEM Unsoed 2020, saat ditemui awak Sketsa di depan sekretariat BEM Unsoed (27/11/2020).

Riris Ardhanariswari, selaku Ketua Unit Layanan dan Pengaduan Kekerasan (ULPK) Unsoed, menyampaikan sejak diresmikannya ULPK pada Agustus 2020, sudah ada dua laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Unsoed. Kasus pertama tidak diketahui secara pasti jenis kekerasannya dan tidak ditindaklanjuti karena bukan penyintas yang melapor. Kasus kedua merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman sendiri dan baru sampai tahap pelaporan. Hal itu ia sampaikan melalui aplikasi pesan WhatsApp pada Minggu, 29/11/2020.

Saat wawancara (27/11/2020), Riris juga mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es. Data atau kasus-kasus yang terlapor baru terlihat di permukaan.

Kuat Puji Prayitno, selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, mengungkapkan bahwa data mengenai kasus kekerasan seksual terdapat pada unit-unit pelaporan yang ada di fakultas maupun universitas. Data kasus tidak kemudian diteruskan pada pihak rektorat.

“Itu sesuatu yang (sifatnya-red) aib kenapa harus banyak diekspos,” ucapnya ketika ditanya soal angka kasus kekerasan seksual di Unsoed (27/11/2020).

Kekerasan Seksual  dan Urgensi Peraturan Khusus di Kampus

Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (2017) dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, serta perbuatan lain terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi seseorang secara paksa serta bertentangan dengan kehendak dan kondisi seseorang dalam hal memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Sembilan dari lima belas bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, serta penyiksaan seksual.

Dituturkan oleh Prof. Muhadjir, kekerasan terjadi disebabkan dua faktor budaya, yakni lemahnya consent culture dan kuatnya rape culture. Disebut consent culture, budaya menanyakan persetujuan kepada pihak lain ketika seseorang akan melakukan sesuatu terhadapnya. Dengan menghormati hak otonomi orang lain atas tubuhnya, budaya ini menjunjung tinggi kemanusiaan dari tiap individu. Sedangkan rape culture atau budaya perkosaan merupakan kepercayaan yang kompleks sehingga mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan terhadap perempuan. Budaya ini memaafkan terorisme fisik dan emosional terhadap anak dan perempuan.

Ia berujar bahwa keberadaan peraturan khusus yang membahas mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan seksual itu penting. Hal tersebut ia sampaikan pada sesi diskusi daring  LPM Sketsa mengenai Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus bersama Tyas Retno Wulan, Kuat Puji Prayitno, dan Diar Padmasari.

Tyas, Ketua Jurusan Sosiologi dan pegiat gender mengutarakan enam poin penting yang menjadi alasan terjadinya kekerasan seksual di ranah kampus. Poin-poin itu ialah akibat adanya hubungan subordinat, adanya relasi kuasa, jika pelakunya dosen maka mahasiswa sebagai penyintas takut tidak diluluskan, tidak ingin memperpanjang masalah, belum adanya lembaga dan Standard Operational Procedure (SOP) mengenai pengaduan kasus kekerasan seksual, serta masih adanya budaya menyalahkan korban atau penyintas kekerasan seksual ketika terjadi kasus kekerasan seksual (victim blaming).

Ia juga menyampaikan bahwa kebijakan atau peraturan khusus yang membahas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual itu penting, namun jika dilihat dari sudut pandang Sosiologi, bagaimana penguatan gerakan-gerakan di level mahasiswa adalah hal yang lebih penting. Hal ini berguna untuk mendorong implementasi kebijakan agar dapat berjalan.

“Kalau dari teman-teman mahasiswa sendiri tidak ada gereget untuk berani lapor juga sama saja, tidak ada manfaatnya undang-undang kebijakan apa pun itu,” begitu ucap Tyas.

“Kalau dari teman-teman mahasiswa sendiri tidak ada gereget untuk berani lapor juga sama saja, tidak ada manfaatnya undang-undang kebijakan apa pun itu”.

Unsoed dan Kebijakannya

Sebagai dosen Fakultas Hukum Unsoed, Kuat menyampaikan bahwa ketika kampus hendak mengatur sesuatu, tentunya tak bisa lepas dari kompetensi dan kewenangan, terutama terkait regulasi dan sanksi. Hal tersebut merupakan rentang-rentang kewenangan yang harus dipikirkan jika ingin menyusun sebuah regulasi di kampus.

Tangkapan layar agenda Diskusi Publik “Urgensi Peraturan Pencegahan dan Penangan
Kekerasan Seksual di Kampus” (31/10/2020)

Dalam sesi diskusi daring LPM Sketsa, Kuat mengatakan bahwa Unsoed sudah memiliki peraturan yang dapat mencakup kasus kekerasan seksual di kampus dan sudah direvisi di tahun 2018. Kuat menyoroti peraturan rektor yang mengatur tentang perilaku-perilaku yang menjadi kewajiban dan larangan mahasiswa.

Setelah dikonfirmasi kepada Kuat (27/11/2020), peraturan yang dimaksud adalah PR 12/2018 tentang Etika dan Tata Tertib Mahasiswa.

Kuat menambahkan bahwa Unsoed sudah cukup dengan peraturan yang sudah ada. Bahkan, ia mengklaim bahwa peraturan rektor tersebut memiliki cakupan lebih luas dari sekadar peraturan kekerasan seksual, karena di dalamnya membahas tentang hal-hal yang tergolong dalam pelanggaran seksual, baik itu kekerasan seksual hingga pornografi.

“Unsoed sudah memiliki ketentuan yang bisa mengkover perbuatan (kekerasan seksual-red) yang sedang kita diskusikan, sejak tahun 2013, (dan di-red) tahun 2018 pun sudah dilakukan revisi secara menyeluruh karena perubahan statuta.” ujarnya pada diskusi daring siang itu.

Ia juga menjelaskan bahwa peraturan rektor tersebut merupakan regulasi yang dimiliki Unsoed berikut terkait sanksi di dalamnya. Kewenangan rektor hanya berupa sanksi akademik. Sanksi yang sifatnya pidana bukan kewenangan rektor. Tinggal sejauh mana peraturan rektor ini bisa efektif.

Kuat mengatakan, mengungkap perkara ini tidaklah mudah. Apalagi tidak menutup kemungkinan antara pelaku dan penyintas kekerasan seksual memiliki hubungan yang dekat. Kasus kekerasan seksual pun termasuk dalam pelanggaran atau tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana, hal ini menjadi domain dan yuridiksi dari Aparat Penegak Hukum (APH). Menurutnya, cukup dengan sanksi akademik dan pendekatan kekeluargaan.

“Kita melihatnya seperti anak yang perlu dijewer, yang perlu dinasehati, yang perlu diperbaiki. Di kemudian hari, dia masih punya masa depan yang panjang. Jadi, jangan dihancurkan masa depan dia, jangan diputus masa depan dia.” begitu ucap Kuat.

Sedangkan untuk dosen, karyawan, serta tenaga kependidikan diatur dalam praturan rektor mengenai kode etiknya masing-masing. Seperti misalnya PR 9/2013 tentang Kode Etik Dosen, PR 11/2018 tentang Etika Akademik Sivitas Akademika, dan PR 13/2018 tentang Kode Etik Tenaga Kependidikan.

Pada peraturan yang mengatur mengenai Etika dan Tata Tertib Mahasiswa, kalimat yang menyinggung perihal kekerasan seksual ada pada Pasal 18 huruf l mengenai larangan mahasiswa. Dalam poin tersebut, mahasiswa dilarang melakukan perbuatan asusila, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Kuat menjelaskan hal tersebut dikarenakan peraturan rektor ini terkait pada peraturan atau regulasi yang lebih tinggi, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kuat berargumen, perbuatan asusila pada Pasal 18 huruf l ini dapat dijelaskan oleh KUHP yang mengatur tindak pidana terhadap pelanggaran kesusilaan. Menurutnya, hal ini sudah cukup mencakup kekerasan seksual yang ada di Unsoed.

Ketika dimintai pendapatnya pada 29/11/2020, Riris yang juga dosen Fakultas Hukum Unsoed mengatakan, perlu adanya peraturan khusus yang mengatur perihal kekerasan seksual, yakni peraturan kekerasan berbasis gender. Menurutnya, peraturan yang ada di Unsoed saat ini masih begitu umum.

Sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk di dalamnya kekerasan seksual di lingkungan Unsoed, dibentuk ULPK. Unit layanan ini berada di bawah naungan PPGAPM-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Unsoed. Riris selaku Ketua ULPK, saat diwawancarai (27/11/2020), mengatakan bahwa unit layanan ini tak hanya menangani dan mengadvokasi kasus saja, namun juga melakukan sosialisasi dan membangun kemitraan baik internal maupun eksternal kampus, serta melakukan monitoring dan evaluasi.

Untuk alur penanganan dan pendampingan bagi penyintas kekerasan seksual, Riris menjelaskan bahwa hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Jika membutuhkan psikolog, pihak ULPK akan menyediakannya. ULPK sendiri hanya bertugas memberikan rekomendasi, tidak memiliki kewenangan dalam memberikan sanksi. Rekomendasi tersebut akan diberikan pada rektorat atau tingkat universitas. Jika sudah masuk dalam ranah pidana, pihaknya dapat merekomendasikan ke pihak kepolisian.

Persoalan Efektivitas dan Nama Baik Kampus

Lugas Ichtiar, Presiden BEM Unsoed 2020, mengatakan jika ingin membuat peraturan diperlukan landasan yang kuat. Salah satunya adalah data. Di Unsoed, belum ada data mengenai kasus kekerasan seksual. Menurutnya, sebagai langkah antisipasi cepat atau lambat peraturan khusus yang mengatur kekerasan seksual ini pasti diperlukan.

“Paling enggak, pusat layanan (ULPK-red) itu dikonkritkan dan dimaksimalkan kerja-kerjanya. Karena ketika ngomongin aturan, kita berbicara masalah efektivitas hukum. Ada banyak aturan di Unsoed itu enggak efektif penerapannya,” ujarnya pada awak Sketsa.

Bicara soal efektivitas peraturan khusus yang mengatur perihal kekerasan seksual, menurut Prof. Muhadjir, berkaitan dengan hasil atau kinerja. Ketika kinerjanya tinggi maka dapat disebut efektif, begitupun sebaliknya. Tujuan dari adanya peraturan yakni terkait dengan sifat dari peraturan itu sendiri.

Peraturan memiliki dua sifat yaitu preventif (pencegahan) dan kuratif (penanggulangan). Preventif, ketika peraturan sudah ada dan jumlah orang yang melakukan kekerasan berkurang. Ketika menurun berarti sudah efektif. Sedangkan kuratif, artinya ketika peraturan sudah ada maka kasus-kasus kekerasan seksual ditangani secara serius. Penindakan yang lebih serius pada para pelaku dengan hukuman yang pantas. Serta pelindungan kepada penyintas seperti mengenai nama baik dan penanganan trauma. Jika keduanya positif, artinya peraturan tersebut sudah efektif.

Selain soal peraturan, Prof. Muhadjir menekankan bahwa speak up merupakan poin penting. Perlunya membangkitkan kesadaran pada mereka yang menjadi penyintas atau berpotensi menjadi penyintas kekerasan seksual untuk speak up. Jika keberanian speak up tidak ada maka peraturan yang ada menjadi tidak efektif.

Tyas pun menambahkan bahwa sekuat apa pun kebijakan, jika tak dibarengi speak up, tidak akan berjalan.

Kasus kekerasan seksual juga tak lepas dari apa yang disebut dengan nama baik kampus. Prof. Muhadjir menjelaskan bahwa universitas terkadang berpikir, kalau ada kasus kekerasan seksual yang terungkap ke publik, universitasnya yang menjadi tercemar. Sehingga langkah yang dilakukan oleh universitas adalah menutupi, agar tidak terungkap ke publik. Tapi kemudian tidak melakukan penanganan, hanya menutupi saja.

Prof. Muhadjir melihat hal tersebut dengan sudut pandang yang berbeda. Yakni ketika universitas mau secara terbuka menghadapinya, menangani secara serius, nama baiknya malah akan menjadi lebih baik. Ia pun menambahkan, untuk menjaga nama baik bukan dengan melindungi pelaku yang salah, namun dengan menghukumnya secara tepat.

“Mestinya kita perlu meyakinkan kepada para pengambil keputusan di universitas, ketegasan di dalam mengambil sikap dan keberanian untuk mengungkapkan keputusannya secara terbuka itulah cara yang paling baik untuk menjaga nama baik institusi,” tegas Prof. Muhadjir.

Reporter: Dera Nafalia, Rofingatun Hamidah, Lilit Widiyanti

Editor: Lilit Widiyanti, Dera Nafalia

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 39 | April 2021  pada Laporan Utama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *