Oleh: Raisan Mumtaz
Pendidikan Merupakan Sebuah Keniscayaan
Sekolah telah menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat. Keniscayaan berasal dari kata niscaya yang berarti tentu, pasti, atau tidak boleh tidak. Masyarakat menjadikan sekolah sebagai sebuah syarat utama di era modern, di mana pendidikan dianggap sebagai satu-satunya kunci kesuksesan.
Padahal menurut Ivan Illich (1973) dalam bukunya yang berjudul “Deschooling Society” mengatakan bahwa sekolah hanya memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tidak berujung dan tidak meningkatkan mutu, sehingga hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini.
Siswa hanya menjajakan diri sebagai pribadi yang dungu di hadapan sistem pendidikan. Sekolah hanya mendorong pengasingan siswa dari hidup, demi mengejar standar yang dibangun oleh masyarakat elite.
Sekolah memenjarakan pemikiran siswa. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak siswa untuk belajar mandiri. Pengetahuan telah menjadi komoditas, dikemas-kemas, dan dijajakan layaknya pasar.
Pierre Bourdieu (1930-2002) menganggap bahwa paradigma dan stereotip akan kebutuhan pendidikan merupakan suatu bentuk implementasi kekuasaan dan dominasi paling harus dalam masyarakat modern. Dalam prosesnya, sistem pendidikan berjalan memainkan peran guru sebagai subjek aktif, sedangkan anak didik sebagai objek pasif yang penurut.
Pendidikan pada akhirnya bersifat negatif di mana guru memberikan informasi yang harus ditelan dan wajib diingat serta dihafalkan. Sekolah telah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya. Sekolah dijadikan ruang komoditas, pengetahuan dikemas-kemas, dan dijajakan. Sekolah dijadikan tempat dehumanisasi yakni proses penghilangan harkat manusia.
Pendidikan sebagai mesin pencetak manusia baru. Mengganti manusia yang bebas dengan manusia yang terikat dengan dasi-dasi standar masyarakat modernitas. Oleh karena itu, muncul istilah manusia satu dimensi, yakni sebagai robot bagi sistem kehidupan yang hanya mengenal cara dan tujuan.
Pendidikan Kritis
Manusia satu dimensi merupakan produk dari semangat era pencerahan. Dalam kehidupan modern, nalar direduksi menjadi rasionalitas instrumental. Nalar tidak lagi digunakan untuk memformulasikan dan menemukan tujuan hidup. Nalar menjadi alat untuk mengejar tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan begitu, tujuan rasionalitas instrumental adalah memanipulasi dan mendominasi alam dan manusia, serta menjadi musuh kebebasan. Akibatnya, ada pembusukan pikiran dan budaya di tengah kelimpahan ekonomis yang dibawa oleh kehidupan materialistis dan perkembangan teknologi.
Selain itu, muncul istilah the man with rationality but without reason, like cheerful robot. Manusia yang bertindak rasional namun tidak terlibat dalam penentuan tujuan hidup, tidak memiliki kebebasan untuk mendiskusikan, memperdebatkan, dan memutuskan tujuan hidup berdasarkan nalar. Akibatnya, ide, aspirasi, dan tujuan yang seharusnya mampu mengatasi diskursus dan perilaku yang telah ada, direduksi dan dijauhi, diiringi dengan hilangnya perilaku kritis.
Pendidikan sebagai pondasi kehidupan, sehingga dibutuhkan sekolah berbasis pendidikan kritis yang mampu menopang nalar kreatif manusia. Pendidikan diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat. Tidak terbelenggu oleh sistem yang dungu. Menciptakan manusia dengan kebebasan membangun surganya sendiri. Membangun martabat manusia dengan kemanusiaannya yang tak akan hilang meskipun dihancurkan.
Pendidikan alternatif ‘sekolah tanpa gerbang’ dirasa perlu digagas. Penulis beranggapan, sekolah harus lah menyingkirkan penghalang-penghalang siswa dalam mengakses ilmu pengetahuan dengan cara apa pun.
Sekolah Tanpa Gerbang
Gerbang dalam hal ini adalah penghalang bagi siswa yang ingin masuk dan keluar. Bagi siswa yang ingin masuk namun terhalang oleh biaya atau kemampuan ibarat terhalang oleh gerbang.
Pada dasarnya, pendidikan merupakan hak setiap umat manusia. Namun dalam pelaksanaannya, sekolah justru berlomba-lomba membangun gerbang yang menjulang tinggi sebagai penghalang orang-orang yang tak dapat memenuhi standar kualitas sekolah. Meninggikan standar kemampuan dari segi biaya maupun kompetensi, sehingga pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu.
Sementara itu, gerbang juga menjadi penghalang bagi sekelompok siswa yang selalu ingin keluar, lantaran dengan sistem pendidikan yang tak menyenangkan dan tak sesuai keinginan. Membuat siswa selalu mengharapkan waktu kegiatan belajar segera usai. Mereka mencekoki pengetahuan sesuai kebutuhan sistem, bukan sesuai kebutuhan siswa.
Siswa tidak lah merdeka dalam mengakses pembelajaran. Sekolah butuh sistem SKS (Sistem Kredit Siswa) seperti di dalam perkuliahan agar siswa dapat memilih ilmu peminatan yang diinginkan. Dengan begitu kebutuhan siswa terpenuhi.
Selain itu, perlu adanya penghapusan sistem seleksi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) yang seleksinya hanya melihat nilai sekolah dan nilai tes. Perlu dilakukan psikotes dan wawancara untuk melihat minat dan bakat siswa. Dengan begitu pengelompokan akan tepat sasaran.
Perlu adanya perluasan dan penyesuaian perkembangan ilmu pengetahuan, seperti pada jurusan media dan teknologi yang seharusnya tidak hanya bisa diakses di perkuliahan.
Penghapusan UN (Ujian Nasional) juga dirasa perlu. Mengingat konsep Albert Einstein bahwa menilai seekor ikan tidak dilihat dari kemampuannya memanjat pohon. Diperlukan standar kelulusan pencapaian ilmu yang siswa minati, seperti tugas akhir atau semacamnya. Sehingga perkembangan pengetahuan dapat dievaluasi setiap tahunnya dan siswa pun dapat mengembangkan minat dan bakatnya dengan maksimal.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2018