Oleh: Afifah Dwi Marhaeni

Titut Edi Purwanto atau biasa dipanggil Titut namanya cukup populer di Banyumas. Pria berusia 54 tahun ini dikenal sebagai seniman nyentrik. Perilakunya aneh-aneh, sehingga tak jarang orang menyebutnya gila.
Dalam menciptakan karya seninya, Titut selalu mengambil sudut pandang hubungan manusia dengan Tuhan. Salah satu contohnya ada pada kesenian Wayang Cumplung yang ia ciptakan sendiri. Wayang ini diciptakan mulanya terinspirasi dari ritual Cowongan, di mana Cowongan sendiri merupakan bentuk komunikasi dari nenek moyang dengan Tuhan.
Namun begitu, di sebuah pementasan kebudayaan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Titut melontarkan sebuah pernyataan yang cenderung kontradiktif dengan karya-karya yang ia hasilkan. Titut mengatakan, agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda dan tak dapat disatukan.
Kamis (20/6), kami berkesempatan menemui Titut di kantornya yang terletak di kawasan Objek Wisata Karang Penginyongan, Cilongok, Kabupaten Banyumas. Ia membagikan pemikirannya mengenai budaya dan agama. Berikut petikan wawancara kami dengan Titut Edi Purwanto.
Saya mengenal Anda sebagai budayawan yang menciptakan kesenian. Bagaimana cerita awal mula Anda menggeluti dunia kesenian?
Begini, saya berkesenian tanpa berpikir saya akan dianggap sebagai budayawan. Malah saya kaget, “Loh kok ini budayawan, Pak Titut budayawan?”. Lah, budayawan melakukan kegiatan budidaya untuk mengolah sebuah kebaikan, tetapi seakan-akan saya budayawan.
Jadi mohon maaf, saya hanya orang biasa yang melakukan kegiatan sehari-hari (tujuannya) ingin menjadi orang yang hidup dalam rel yang baik.
Awalnya begini, saya dari enam bersaudara. Sejak dulu saya unik memang. Jadi, dari enam bersaudara, saya satu-satunya yang beda sendiri. Saya kadang suka melihat kehidupan orang lain. Melihat pedagang, burung, saya nikmati semuanya. Sampai-sampai, saya (diolok) sama teman-teman saya, “Ih kae wong aneh”.
Saya suka bercerita tentang hantu, saya suka sekali itu. Karena sejak kecil saya percaya yang tidak kelihatan itu pasti ada, yang ada tidak mesti harus kelihatan. Itu yang membuat saya nyaman berpikir tentang angin sejak dulu, angin itu wujudnya seperti apa. Bahkan, di zaman saya kecil dulu ada tembang-tembang mengundang angin. Enggak tahu siapa yang mengarang, tetapi anak-anak kecil zaman 70-an itu pada bernyanyi seperti itu.
Cuma saya tidak kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia). Jadi ini liar sekali. Enggak ada gurunya, enggak ada dosennya. Jadi nulis sastra ya sekarep saya, nulis apa-apa ya sekarep saya.
Saya dianggap budayawan, yawis sakarep-karepe dengan melakukan apa yang saya nikmati. Jadi begitu, saya tidak punya cita-cita seni. Seni itu lahir. Wong cita-cita saya jadi guru kok. Ternyata tidak jadi guru. Jadi akhirnya, nikmati saja.
Di setiap pementasan, Saya lihat Anda selalu berpenampilan unik dengan jubah putih atau hitam yang terkesan horor. Apa ada alasan tersendiri di balik kostum Anda?
Ada, karena karya saya harus memiliki daya ganggu. Seperti, saya kadang disiram cat. Setiap orang pasti memiliki daya ganggu. Tidak mungkin orang tidak memiliki daya ganggu.
Saya tampil dalam sebuah pertunjukan kok pakaiannya seperti orang mau ngaji, ya enggak pas. Jadi saya, (sesuai) apa kata orang, akan membuat jubah yang besar warna putih.
Saya punya jubah warnanya ada empat macam. Warna putih, hitam, kuning, merah. Gede-gede semuanya. Bahkan yang putih sudah empat kali saya buat. Saya pentaskan di salah satu tempat wisata di Baturraden, hilang dicuri orang. Mungkin pada seneng sama jubah saya kalik.
Ya, itu hanya untuk daya ganggu saya. Karena ketika orang melihat ada yang berbeda, orang akan datang. Daya ganggu yang saya buat itu sesuai dengan usia, (sesuai) dengan kebutuhan. Daya ganggu itulah yang membuat (pementasan) menjadi indah. Saya menyisipkan tentang kedamaian, tentang keagamaan, tentang bagaimana menikmati ciptaan Tuhan.
Berbicara soal kostum dan gaya ketika pementasan, Ada anggapan di luar sana yang bilang bahwa terdapat kemusyrikan di balik pementasan Anda. Bagaimana Anda menanggapinya?
Saya tidak pernah berpikir nilai kemusyrikan ada pada diri saya. Nilai kemusyrikan itu berdasarkan ajaran (Islam) yang saya pernah ngaji, (pembedanya) itu tipis sekali. Kayak semut ketika berjalan di malam hari, kan enggak keliatan. Contohnya, saya ke dokter X, saya minum obat ini, sembuh saya. Itu juga bisa musyrik kan, padahal saya berterima kasih pada Tuhan.
Orang jika tidak mendekat, tidak akan ngerti. Saya tidak peduli dan enggak penting saya mau dikata kafir, musyrik, begini-begini.
Bahkan di rumah, saya beri pocongan. Pocongannya ada lima. Pocongan Pancawarna, saya kasih nama itu. Ada yang putih, hitam, merah, biru, kuning. Saya dikira orang stres karena rumah saya sudah dianggap rumah setan. Sekalian saja saya kasih daya ganggu, “HATI-HATI DI SINI ADA SETAN”. Ya enggak masalah. Tapi kan ketika orang datang ke situ kan ngobrol.
Semua pakaian mau hitam, putih, biru, ya tergantung dirinya yang membawa. Yang dianggap hitam bisa jadi putih, mungkin yang dianggap putih malah hitam di mata Tuhan. Karena gambaran di dunia kan samar. Enggak masalah orang mau menganggap (perbuatan) saya hitam. Itu urusan saya dengan Tuhan.
Dari beberapa artikel yang saya baca, Anda selalu mengambil sudut pandang hubungan manusia dengan Tuhan dalam karya seni yang Anda ciptakan. Mengapa demikian?
Karena kita tidak bisa dan tidak boleh lepas dari Tuhan. Adanya kita (diciptakan) itu kan karena Tuhan. Selain Tuhan, semua yang ada di dunia ini adalah makhluk. Bahkan roh kita adalah bagian dari Tuhan. Semua akan kembali pada Tuhan.
Apa pun itu, yang saya lakukan (termasuk berkesenian) adalah bagian dari mengingatkan saya pada Tuhan. Suatu saat kita akan dipertemukan dengan Tuhan, Allah SWT untuk keyakinan saya. Paling tidak saya belajar sifat-sifat Tuhan, (seperti) sebuah nilai cinta kasih pada sesama. Saya ingin menjadi orang baik, seperti Tuhan yang juga baik pada alam.
Namun, di sebuah pementasan di Unsoed, Anda pernah mengatakan bahwa budaya dan agama adalah mata rantai yang saling berdampingan tanpa adanya kontradiksi. Apa maksud dari pernyataan itu?
Ya agama kan sudah jalan dengan agama, budaya sudah jalan dengan budaya. Seperti dua sisi mata uang, berdekatan tetapi tidak bisa disatukan. Ibarat kita salat untuk orang Islam, ya kita pakai sarung karena di Indonesia. Di Arab ya pakai pakaian kebudayaan Arab. Disesuaikan dengan budaya masing-masing.
Ini bisa dikaitkan kok, agama dan budaya untuk ibadah bisa berbeda warnanya. Tetapi bagi saya, dalam ilmu agama dan ilmu budaya kan beda. Budaya itu ikatan manusia, (sedangkan) agama yang menurunkan itu Tuhan. Tetep, kemuliaan ini pasti ada bobotnya masing-masing. Saling melengkapi saja. Orang Islam kita pakai cara Islam, budayanya pakai dengan baik dan tidak bertentangan dengan budaya Islam.
Sedangkan seperti kita tahu, ada banyak budaya yang sangat dekat dengan agama dan bahkan disatukan, contohnya seperti Islam Kejawen. Bagaimana pandangan Anda?
Wah saya tidak ngurusi, saya tidak paham dengan itu. Saya ndak urusan dengan itu. Karena saya tidak di dalamnya. Saya tidak tahu Kejawen yang seperti apa.
Bagi saya, saya kan orang Jawa, ya Kejawen, mosok Cinawen, Jepangwen, kan gitu. Yang saya pakai di sini ya filsafat Jawanya, unggah-ungguh, sopan santun, dan sebagainya. Jadi bukan Kejawen tentang ritualnya, tetapi Kejawen yang akan menjadi nilai dalam kehidupan saya.
Lalu, bagaimana Anda mendefinisikan agama dan budaya?
Jadi kalau budaya itu diciptakan oleh manusia, leluhur yang pada dasarnya hanya kepengen anak cucunya pada slamet. Sementara agama diturunkan oleh Tuhan kepada manusia. Kehidupan manusia harus diimbangi dengan agama yang dianut.
Terkait sudut pandang hubungan manusia dengan Tuhan tentu sama halnya dengan agama. Di era sekarang ini agama sangat sensitif di kalangan masyarakat. Bahkan tidak jarang menyebabkan konflik. Adakah kekhawatiran yang Anda alami dalam berkarya?
Tidak lah, wong saya tidak akan membuat konflik. Bagi saya, karya saya itu karya yang jujur. Itu murni berkesenian. Tidak menghakimi kepercayaan orang lain dan tidak mengusik orang beragama. Saya menebarkan sebuah nilai saling kasih sayang dan saling menerima kenyataan hidup di Indonesia dengan budaya. Tidak ada konflik.
Salah satu contohnya pada saat Lebaran saja, saya tampilkan Ebeg dan ternyata ya indah-indah saja. Sebelum pementasan sudah saya sampaikan, yang tidak mau menonton kearifan lokal ya jangan mengganggu, yang enggak suka, enggak usah nonton. Baik-baik saya sampaikan. Yang nonton malah banyak banget. Itu ya nyaman saja.
Rata-rata budaya itu kan penciptanya bukan dari pejabat, bukan dari orang besar. Kebanyakan dari petani di pinggiran. Orang yang sangat berjasa adalah para petani yang hidup di bawah untuk saling komunikasi dengan alam yang akhirnya terbentuk lah komunikasi dengan Tuhan dengan caranya.
Maka, saya sebagai orang Jawa, orang Indonesia, harus menggunakan budaya yang baik, menjadi pitutur, menjadi petunjuk untuk orang yang lebih indah konsep hidupnya. Saya tidak ingin mencoreng muka leluhur saya, sebagai orang Banyumas, sebagai orang Indonesia.
Apabila agama dan budaya itu tidak sejalan, akan timbul persepsi bahwa budaya itu syirik dan harus ditinggalkan. Bagaimana pendapat Anda?
Kalau bagi saya, seperti misalnyasesajen, ya tetap tidak boleh. Persembahan kepada selain Tuhan kan tidak boleh. Yang saya tekankan pada anak-anak saya melalui ayat Lukman, “Liibnihī wa huwa ya’iẓuhụ yā bunayya lā tusyrik billāh, innasy-syirka laẓulmun ‘aẓīm”, yang artinya, “Wahai anakku, janganlah kau menyekutukan Tuhan, karena itu adalah perbuatan yang aniaya”.
Tidak pernah memberikan sajian-sajian (sajen). Kalau saya berkesenian dengan asap-asap itu, itu bukan dengan setan. Itu hanya daya ganggu saya saja. Itu bahkan arang yang dibakar. Ketika dibakar dan asapnya membesar, banyak orang akan bereaksi, “Wah itu apa, wah itu musyrik, syirik”. Ya terserah, itu hanya efek dari daya ganggu saya. Silakan orang mengatakan musyrik.
Menyoal hubungan seni dan agama, sebagian umat Islam beranggapan bahwa kuburan merupakan tempat suci yang tidak bisa digunakan untuk sembarang hal karena bisa dibilang tidak ilok. Anda pernah menggelar pameran di kuburan, adakah yang memprotes hal itu? Mengapa waktu itu Anda memilih kuburan untuk dijadikan tempat pementasan?
Saya menggelar pementasan dengan, “Kullu nafsin dzaiqatul maut”,yang artinya, “Semua yang bernyawa akan mati”. Sampai di sana saya juga ada tujuan, yaitu mengingatkan pada orang yang masih hidup untuk tidak petakilan. Jadi, keastralan yang dianggap orang (tidak ilok) itu, saya langgar demi menyampaikan itu.
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan dalam penciptaan karya Anda?
Seperti Wayang Cumplung, tujuannya hanya untuk hiburan saja, hanya untuk guyonan. Saya menyampaikan pesan supaya kita menjaga nama baik bangsa Indonesia, menjaga kedamaian, kearifan lokal.
Karya saya menghidupkan karya leluhur yang karya-karyanya sangat indah. Nenek moyang memang sudah mati, tetapi karyanya tak akan pernah mati. Saya murni berkesenian dan tidak ada hubungannya dengan permainan setan maupun jin.
Anda merupakan pencipta Wayang Cumplung dan Dalang Jemblung. Apa kedua kesenian itu merupakan hasil implementasi dari keyakinan Anda bahwa budaya dan agama adalah mata rantai yang saling berdampingan tanpa adanya kontradiksi?
Bisa dikatakan iya, wong Wayang Cumplung kan baru. Dalang Jemblung yang sudah ada terlebih dahulu. Wong saya hanya mengalir saja (dalam menciptakannya).
Bagaimana pengaruhnya terhadap hasil karya seni Anda?
Ya, secara otomatis karya saya terkonsep, terikat, menjadi sebuah untaian karya tentang Jawa, tentang kasih sayang. Jangan sampai berbenturan, berantakan, dan sebagainya. Saya tidak menghakimi yang lain. Saya hanya ingin hidup ini indah semuanya.
Untuk saat ini, adakah karya baru yang sedang Anda garap?
Karya yang saya garap, tadi pagi saya menulis puisi (kemudian tertawa). Saat ini saya tengah disibukan dengan Objek Wisata Karang Penginyongan. Di sini, saya ditunjuk, dipercaya sebagai manajer. Saya bertanggung jawab dalam kebudayaan dan kesenian.
Kalau di Banyumas sendiri, bagaimana eksistensi budaya Banyumas itu? Mengingat milenial sekarang lebih tertarik dengan budaya luar.
Di kalangan milenial seperti Wayang saja contohnya, digelar semalam suntuk akan terasa membosankan. Sedangkan sekarang, mereka lebih tertarik dengan (pagelaran) yang lebih singkat, padat, dan jelas. Untuk itu, tidak hanya rakyat saja yang bertanggung jawab dalam melestarikan kebudayaan. Tetapi kita, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, maupun negara juga harus ikut melestarikan kebudayaan.
Apa pesan Anda untuk generasi muda, menyoal budaya dan agama?
Dalam kemuliaan agama masing-masing, baik itu di kitab apa pun, menuju kemuliaan hidup jangan sampai berbenturan. Untuk mahasiswa, saya berpesan, berpikirlah yang baik-baik.
Reporter: Afifah Dwi Marhaeni, Nur Komariah, Raisan Mumtaz.
1 komentar
Pak Titut adalah contoh orang yg totalitas ingin mendekatkan diri pada yang Maha Esa dg segala upayanya,