Oleh: Zahroh Almas Majid
Rianto Manali adalah seorang penari sekaligus koreografer lengger asal Banyumas. Namanya semakin hangat diperbicangkan terutama setalah munculnya film Kucumbu Tubuh Indahku garapan Garin Nugroho. Kini, sosok Rianto juga makin dikenal secara internasional berkat upayanya memperkenalkan kebudayaan Banyumas khususnya lengger ke berbagai negara, salah satunya adalah Jepang.
Rabu (1/6) di pagi yang cerah, kami berangkat dari Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed menuju rumah lengger di Banyumas untuk bertemu dengan Rianto Manali yang sebelumnya sudah membuat janji untuk bertemu. Rumah lengger tersebut merupakan bekas gudang kereta dalam masa pemerintahan Belanda. Setibanya di sana, kami menemui Rianto lalu mulai mewawancarainya. Berikut merupakan nukilan wawancara kami dengan Rianto:
Bagaimana awal mula ketertarikan Bapak pada seni tari?
Tari itu sudah lama saya bidangi dan saya mulai belajar tari ketika umur 15 tahun di SMK Sendangmas Banyumas (sekarang SMKN 3 Banyumas-red). Pada dasarnya dari kecil saya sudah suka menari. Sejarahnya, ketika saya dilahirkan terdapat tanda biru di kening. Lalu, ibu saya membawa saya untuk melihat sebuah pertunjukan lengger. Kemudian di sana saya di-blessing (diberkati-red) atau dikasih sejenis mantra dan boreh (alas bedak yang dipakai oleh penari) lalu didoakan kemudian disebul (disembur-red). Pada awalnya orang tua saya khawatir karena ada tanda biru ini dan ingin dihilangkan. Tetapi, ternyata setelah itu dari kecil saya suka dengan tarian. Orang tua saya bukan seniman, tetapi dari background keluarga petani biasa yang kurang mampu, namun semangat saya untuk menari itu tidak bisa terbendung.
Saya menari dari kecil, mengikuti pentas tujuh belasan, kemudian lanjut ke SMK Sendangmas Banyumas di tahun 1998 dan lulus pada tahun 2000. Di SMK Sendangmas Banyumas saya belajar tarian nusantara khususnya lengger. Ketika SMK, (saya juga-red) mengikuti pentas keliling (dari panggung ke panggung, desa ke desa). Uangnya saya kumpulkan untuk membeli sepeda motor sebagai alat transportasi ketika pentas. Selanjutnya, saya kuliah di STSI Surakarta (Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta) jurusan koreografi.
Mengapa dan bagaimana Bapak memfokuskan pada tarian lengger?
Karena saya tinggal di Banyumas. Tarian yang pertama kali saya kenal sejak kecil adalah tarian lengger yang dikenalkan oleh ibu saya ketika saya masih bayi, walaupun pada saat itu saya belum ada kesadaran. Saya memfokuskan lengger karena saya tertarik dan merasa warga masyarakat Banyumas adalah pewaris tunggal dari leluhur Banyumas. Jadi, yang dilakukan oleh seorang seniman tentu saja melestarikan budaya Banyumas khususnya lengger dan budaya-budaya lain misalnya seni rupa, calung, begalan, jemblugan, colongan, dan lain sebagainya. Saya merasa mempunyai tanggung jawab pribadi sebagai orang Banyumas untuk melestarikan budaya ini.
Lengger ada mulai tahun 1910, di tahun 1965 adalah tahun transisi, lalu bagaimana sejarah perjalanan lengger di tahun tersebut?
Bahaya sekali, pembunuhan di mana-mana. Bahkan seniman dicap komunis. Akhirnya banyak yang diasingkan, banyak pula yang dibunuh. Cerita yang ada dalam film Kucumbu Tubuh Indahku adalah dampak peristiwa trauma bagi para penari Lengger ataupun seniman karena tahun 1965 adalah tahun transisi yang sangat luar biasa di negara kita, termasuk untuk senimannya. Seni dipolitisasi, seni dimasukkan ke dalam unsur kampanye, dan seni hanya untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga Mbok Dariah (maestro lengger lanang pertama) pada saat itu memutuskan untuk berhenti menari karena adanya kondisi sosial di masyarakat kita. Setelah tahun 1965, mulai muncul kembali lengger-lengger perempuan. Namun, yang lain masih ketakutan untuk memunculkan kembali adanya lengger.
Apa filosofi dari lengger lanang itu?
Lengger adalah lanang. Lengger sebenarnya sudah definisi dari lanang atau laki-laki, lengger terdiri dari dua kata yaitu leng yang berarti lubang, dan ger yang berarti laki-laki atau disebut juga mahkota ayam jantan yang merupakan sebutan untuk anak laki-laki. Jadi, lubang menurut saya secara spiritual dan penelitian, manusia memiliki sembilan lubang yang bermakna sebagai lubang kehidupan. Ada satu lubang mulut, dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan, dan satu lubang dubur yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang harus dipahami betul fungsinya. Mata untuk melihat yang baik-baik, mulut untuk berbicara yang baik-baik, dan lain sebagaimana mestinya.
Pada awalnya, lengger dilakukan oleh laki-laki, untuk penyeimbang antara bumi dan langit. Dahulu, fungsi lengger adalah untuk upacara kesenian, kesuburan, tanam padi (dengan berdendang menyanyi oleh kaum laki-laki), bersih desa, untuk menebang pohon pun ada upacara ritual yang dilakukan. Ketika menebang pohon tidak hanya menebang dan melakukan upacara ritual saja, tetapi (menanam kembali agar tumbuh pohon baru-red) adanya kehidupan baru lagi. Sekarang tidak pernah ada kehidupan seperti ini, baik di Banyumas atau di masyarakat Indonesia. Karena manusia hanya ingin merusak dan merusak.
Di sinilah fungsi dari lengger itu sendiri, walaupun mereka berdandan perempuan, namun mereka meleburkan diri antara sisi maskulin dan sisi feminin yang ada dalam tubuh lengger. Lengger itu meleburkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan di dalam dirinya. Kalau perempuan dimaskulinkan itu tingkatannya lebih sulit. Tetapi kalau laki-laki difemininkan itu lebih mudah diproseskan.
Lengger sebenernya tidak memandang gender, sudah melebihi batasan-batasan gender. Bahwasannya, kesenian di dalam kultur Indonesia atau pada khususnya Banyumas, itu tidak ada batasan gender, bukan tentang laki-laki atau perempuan. Kesenian adalah bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya. Lengger pada saat ini sudah banyak dilakukan oleh perempuan, dan itu sah-sah saja, tidak apa-apa. Karena fungsinya sudah mulai berubah bukan untuk spritual atau upacara lagi, justru lebih pada unsur hiburan sehingga stigma-stigma lengger saat ini sudah mulai miring. Artinya mereka menstigmakan definisi yang digunakan yaitu mengira penari lengger itu perempuan tetapi ternyata laki-laki. Jadi, stigma yang dibangun masyarakat adalah banci. Sebetulnya penari lengger bukan banci, tapi lengger adalah sebuah spritual untuk penyeimbang di sosial masyarakat. Saya lengger, tapi saya tidak keperempuan-perempuanan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya ketika menari saja memang sudah menjadi darmanya.
Bagaimana Bapak mendobrak stigma lengger yang menurut masyarakat identik dengan femininitas?
Dalam tarian lengger banyak filosofi, misalnya gerakan keweran itu seperti ikan yang ada dalam air, geal-geol tidak mungkin gerakannya seperti robot. Jadi, ekspresi tubuh ini adalah ekspresi alam, yang mana mereka menciptakan tarian-tarian ini adalah memang berangkat dari alam. Setiap gerakan memiliki makna masing-masing. Ketika untuk melestarikan, untuk edukasi, maka harus ada sebuah pembentukan dan pembaruan untuk diingat dan dihafalkan. Setiap tradisi pasti ada perkembangan dan perkembangan itu atas dasar tradisi.
Bagaimana perjalanan karier Bapak hingga membawa kebudayaan ini sampai ke kancah dunia?
Ketika fokus dalam dunia kesenian, khususnya tari dan basic-nya adalah lengger, maka secara langsung mengglobalkan lengger ini ke dalam perspektif orang-orang di luar negeri, contohnya mereka tidak tahu yang namanya kerasukan. Jadi untuk mengubah pola pandang orang-orang Eropa, Australia, Amerika agar bisa nyambung dengan meneliti kembali filosofi dari lengger kemudian mengembangkannya ke perspektif mereka misalnya tari dalam bentuk kontemporer. Contohnya Body Without Brain (pertunjukannya-red) jadi ketika main, manusia mengalami kerasukan. Bagaimana proses pendataan gerak yang ada dalam tubuh dapat ditransformasikan ke dalam sebuah seni pertunjukan. Misalnya meneliti suara-suara yang ada dalam tubuh, menggunakan stetoskop elektrik kemudian merekam suara-suara yang ada di dalam tubuh dan dimasukkan dalam komputer sehingga menghasilkan musik baru. Selanjutnya, dengan gerakan-gerakan trans misalnya kesetrum, kejang, dan tidak lepas tetap dengan lengger. Pembaruannya banyak saya hubungkan dengan sebuah teknologi, tapi konsep dasarnya lengger. Supaya perspektif mereka tahu tentang perjalanan tari lengger atau kontemporer.
Apakah ada kesulitan dalam membawakan budaya Banyumas ini ke luar negeri?
Tidak. Saya selalu optimis dan berpikiran positif. Tidak pernah merasa kesulitan. Hanya di dalam negeri saya merasa kesulitan. Perhatian pemerintah masih sangat kurang dalam kesenian lengger untuk menumbuhkan generasi lengger sekarang yang memang sudah hampir tidak ada. Sepeninggalnya Mbok Dariah, saya mencoba membangun rumah lengger ini sebagai wadah para generasi yang ingin belajar lengger. Saya juga mengarsipkan barang-barang Mbok Dariah seperti video, dokumen kaset, atau dokumentasi untuk pembelajaran budaya lengger di Banyumas, karena di Banyumas tidak ada museum atau galeri lengger sehingga ini langkah saya pelan-pelan bersama teman-teman di rumah lengger untuk menjaga warisan-warisan.
Masyarakat dari luar negeri malah mencari, meneliti, dan mengetahui, daripada di dalam negeri. Ketika saya minta ke dinas pun itu mereka hanya, “Ah, bukan program mereka”. Kalau saya tidak berjuang sendiri dengan memfasilitasi ini, mereka tidak punya rencana untuk membuat galeri atau museum lengger. Hanya sekadar pentas, mengeluarkan uang, dikasih, uang itu dipotong pajak, kemudian dimanipulasi kembali. Jadi, senimannya yang selau mendapat korban dan tidak mendapatkan kesejahteraan.
Saat memperkenalkan ke luar negeri, bagaimana tanggapan orang-orang di sana?
Sangat antusias sekali. Contohnya ketika di Jepang, setidaknya bisa mengurangi tingkat bunuh diri yang tinggi di Jepang. Karena dengan tari Jawa atau tari lengger mereka ingin belajar, mereka merasa ada ruang dalam tubuh mereka, menyadari bahwa ada ruang dalam diri mereka dan menyadari bahwa bunuh diri itu tidak baik. Dengan menari Jawa bisa menjadikan sabar yang memang setiap hari mobilitas orang-orang Jepang itu sangat tinggi. Kerja, kerja, dan kerja. Tidak mau melakukan kesalahan. Ketika melakukan kesalahan sedikit, itu mereka akan stres dan bisa saja bunuh diri.
Bagaimana respons dari masyarakat Banyumas setelah tari lengger dibawa keluar?
Lebih tertarik. Ketika ada saya, mereka baru menyadari bahwa ternyata lengger bisa internasional. Selama ini di Banyumas belum ada seniman yang bisa mengglobal untuk memperkenalkan lengger. Masyarakat Banyumas sudah mulai terbuka, sudah mulai ingin belajar dan mengetahui tentang lengger itu sendiri. Ada yang udah terbuka, ada yang masih tertutup dan bahkan tidak menerima, bahkan ada yang masih mengganggap stigma lengger yang bisa menjadi sesuatu hal yang negatif. Dari itu saya mencoba berusaha untuk terus mengubah image stigma tentang lengger itu.
Perjalanan hidup Bapak menjadi inspirasi dibuatnya Film Kucumbu Tubuh Indahku, bagaimana latar belakang dari film tersebut?
Saya bekerja bareng dengan Mas Garin Nugroho dari tahun 2015. Beliau tertarik dengan ketubuhan karya saya, terutamanya dengan soft machine. Kemudian dikenalkan bersama oleh satu orang produser bernama Jala Adulpus dari Australia. Beliau melihat pertunjukan saya Body Without Brain dan kemudian tertarik untuk mempertemukan dengan Garin Nugroho. Kemudian kami merasa cocok sehingga mengadakan residensi di Hawai selama satu bulan dan hidup bersama. Saya menawarkan beliau untuk menjadi dramaturgi karya saya setelah Body Without Brain. Jadi selama 3 tahun, beliau mempelajari tentang ketubuhan dan sejarah saya, akhirnya beliau memutuskan untuk menulis dan membuat film judulnya Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body). Terinspirasi dari kisah hidup saya bahwasanya tubuh Rianto yang sangat sederhana, berangkat dari desa dan sekarang menjadi internasional.
Setelah adanya banyak kontroversi dari film tersebut, apa yang Bapak rasakan?
Banyak manfaatnya, kita bisa lebih mengenalkan atau mempublikasikan tentang kebudayaan lengger, kesenian lengger. Yang tadinya tidak tahu, dengan adanya film Kucumbu Tubuh Indahku, mereka jadi ingin tahu tentang lengger. Ada manfaat positif dan negatif. Negatifnya ketika mereka men-judge secara massal. Belum nonton tetapi sudah judge. Bahkan Dinas melarang film ini diputarkan di Indonesia, lantas di mana demokrasi kita? Hanya berpihak pada sebuah organisasi tertentu. Padahal film ini sudah lulus sensor.
Bagiamana tanggapan Bapak terkait minat generasi sekarang terhadap lengger serta harapan ke depannya?
Dengan adanya film Kucumbu Tubuh Indahku, mereka ingin belajar banyak tentang lengger, dan generasi sekarang juga sudah mulai terbuka, ada ketertarikan dengan lengger. Harapan saya adalah generasi muda dapat mencintai budaya sendiri. Cintailah kesenian lengger, apalagi generasi Banyumas lebih dari mencintai tubuh sendiri. Tubuhnya sendiri adalah tradisi kita, dan dengan mencintai tubuh kita otomatis leluhur akan mencintai. Jadi dapat terhubung dengan leluhur agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai manusia yang berbudaya, manusia yang memiliki budi dan akal pikiran yang baik. Jadi budaya adalah budi dan daya itu karsa, cipta, karsa.
Reporter: Zahroh Almas Majid, Aprilia Ani Fatimah, Nida Ismiatun Azzahra, Atika Sekar Andita.
Editor: Alif Saviola Rakhman