Oleh : Rachmad Ganta Semendawai

Suasana di Warung Lemprakan Lik Surip (25/11/2016). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.
Terkadang, trotoar bisa menjadi lebih dari sekadar jalur pedestrian. Beberapa orang bahkan menjadikan luasan milik publik ini sebagai penggerak roda perekonomian bagi hidupnya. Ialah mereka, pedagang kaki lima (PKL) yang meramaikan persaingan bisnis di pesisir jalan, kala lepas petang. Warung-warung PKL di pinggiran jalan raya tersebut menjajakan sesuatu yang sulit ditemui gerainya di pusat perbelanjaan modern.
Malam yang sejatinya gelap membutakan, disulap menjadi remang keramaian oleh keberadaan PKL. Cara yang berbeda dalam melayani pelanggan menjadi ciri khas masing-masing warung makan kaki lima. Ada yang berjualan menggunakan gerobak, menyediakan bangku atau kursi untuk pelanggannya, hingga mengajak pelanggannya berlemprak. Warung lemprakan adalah sebutan bagi warung penjaja makanan yang menyediakan menu sederhana dengan ciri khas pengunjung yang makan di meja dan bangku yang tingginya tak jauh beda bak pembeli yang berleseh. Warung Lemprakan Lik Surip adalah fokus utama tulisan saya kali ini.
Sedikit Keraguan
Awalnya, saya sempat meragukan warung makan di Simpang Giri Suman Purwokerto ini. Namun, keraguan yang menyelimuti mulai pudar ketika saya melihat antrean yang mengular. Meja kecil tak lebih dari setengah meja pingpong itu dikelilingi pembeli di luar kapasitas bangku yang ada. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dapat duduk tepat di sebelah pemilik sekaligus pelayan warung lemprakan sederhana ini. Lik Surip, pria berkumis tebal ini, melayani saya dengan ramah.
Saya pun mencoba salah satu menu andalan dari warung ini, ialah Sega Ayam Opor. Menu pilihan saya. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup dengan sembilan ribu Rupiah, saya dapat mencicipi nasi ayam komplet dengan sayur, tempe, bihun, dan sambal. Aroma hidangan ini begitu menggoda. Saya langsung menyambar sepiring nasi ayam yang tersaji di hadapan. Benar saja, keraguan saya sepenuhnya hilang. Setelah mengecap suapan pertama, potongan ayam opor yang saya lahap seakan menari di lidah. Terbesit dalam diri saya untuk mengantongi nama warung ini sebagai destinasi makan selama merantau di Purwokerto.
Warung yang berada di Jalan Jenderal Soedirman, depan Bengkel Sakura Motor ini, tak pernah sepi akan pengunjung. “Dalam sehari, kalo tidak hujan, dagangan saya bisa habis dalam 2 jam,” ujar Lik Surip (25/11/2016) yang juga menjadi peracik di balik cita rasa khas dari warung yang buka mulai pukul 19.00 WIB ini. Pelanggan yang hadir pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pegawai kantoran, tukang parkir, polisi, hingga mahasiswa bersua di tempat yang sama, meramaikan warung lemprakan yang sering disebut oleh pelanggannya “Warung Lemprakan Ndog Lo”.
Olahan Ndog Lo
Istilah ndog lo mengacu pada menu telur yang direbus selama satu hari penuh bersama dengan bumbu khusus. Dibantu sang istri, Lik Surip memasak ndog lo yang menjadi ciri khas warungnya. Ia masih setia memakai kayu bakar dalam memasak guna menjaga cita rasa. Saya cukup tergelitik saat mendengar asal-usul nama olahan telur dari warung lemprakan ini. Ndog lo, menurut empunya resep merupakan nama julukan yang didapatkan dari pengunjung warung itu sendiri. Nama tersebut merupakan hasil kombinasi dari bahasa Jawa, yaitu ndog yang artinya telur dan lo yang dalam bahasa Mandarin memiliki arti hitam. “Pembeli keturunan Tionghoa suka menyebutnya ndog lo karena lo itu bahasa Mandarin, yang artinya hitam. Tapi, kalo pembeli Jawa ya bilangnya telur pindang,” jelas Bu Yumi–ibunya Lik Surip–saat ditemui di kediamannya (19/11/2016) yang berlokasi di Kranji, Purwokerto.
Usut punya usut, ternyata ada pula warung lemprakan yang memiliki menu serupa dengan Lik Surip. Ialah Bu Yumi, sang senior Lik Surip. Justru, Bu Yumi lah yang memulai bisnis keluarga ini sejak 1972. Dari tangan wanita yang sudah berumur inilah tercipta berbagai resep andalan yang hingga kini masih dijajakan, baik di Warung Bu Yumi maupun Warung Lik Surip.
Masa lalu
Menyigi sedikit sejarah unik dari warung makan ini, ternyata Ibu Yumi ialah orang tua dari sosok Lik Surip, sekaligus pencetus warung lemprakan ini. Awalnya, warung ini berlokasi di Alun-Alun Purwokerto. Akan tetapi, tatkala terjadi tragedi sterilisasi alun-alun pada masa Bupati Mardjoko (2009), Lik Surip dan pemilik warung-warung lainnya harus menerima kenyataan bahwa mereka tak dapat berjualan lagi di sana. Ketika masih berdagang di alun-alun, mereka–Bu Yumi dan Lik Surip–menggunakan sistem pelayanan sif. Kala itu, Surip muda berjualan dari pukul 23.00-04.00 WIB menggantikan Bu Yumi yang berjualan pada pukul 18.30-23.00. Bisa dikatakan bahwa warung ini merupakan usaha keluarga, sebelum akhirnya pada 2003, Lik Surip membangun warungnya sendiri.
Usaha Bu Yumi mencapai kejayaannya pada 2007. Masa itu, 30 kg nasi bisa habis dalam waktu kurang dari semalam. Terbayang sudah seberapa ramai warung yang dikelola Bu Yumi itu. Sebagai info pelengkap, sekarang Bu Yumi berjualan di Jalan Jenderal Soedirman (depan Toko Surya Jaya). Namun, karena tak semuda dulu, sekarang ia sering dibantu Puji yang juga adik kandung Lik Surip.

Proses memasak ndog lo dengan tungku tradisional (12/2). Foto: Marita Dwi Asriyani.
Pendapat Pengunjung
Berbagai alasan yang berbeda dilontarkan oleh para pembeli yang rela mengantre untuk makan di warung yang hanya menyediakan meja atau bangku kecil dan tikar. Contohnya Ratna Indahwati, ia mengatakan bahwa makanan di warung ini selain murah, enak, juga memiliki tempat yang bersih. Awalnya, ia tidak mengetahui keberadaan warung ini. “Saya baru tahu warung ini karena diajak suami saya,” ujar Ratna (19/11/2016). Dedi Setyo–suami Ratna–menerangkan bahwa awalnya ia hanya iseng mampir ke warung ini karena melihat ramainya antrean pengunjung warung. Namun, setelah mereka merasakan gurihnya racikan santan ala Lik Surip, pasangan tersebut seringkali menghentikan kendaraan untuk sekadar memanjakan lidah di warung ini.
Warung ini bisa dibilang lumayan terkenal di kalangan masyarakat Purwokerto. Faktanya, bila Anda mengetik kata kunci “lemprakan Purwokerto” pada mesin pencari Google, nyaris seluruh hasil pencarian mengarah pada Warung Lemprakan Lik Surip. Akan tetapi, karena jauh dari lokasi kampus, Warung Lemprakan Lik Surip masih terdengar asing di telinga mahasiswa Unsoed, khususnya mahasiswa perantau, apalagi yang baru masuk.
Kalau kebanyakan mahasiswa Unsoed masih asing dengan Warung Lik Surip, lain halnya dengan seorang mantan mahasiswa Unsoed satu ini, Adi Iman atau yang biasa disapa Kang Dimen. Kang Dimen memiliki cerita tersendiri saat membicarakan Warung Lemprakan Lik Surip. Kala saya menjumpainya pada 27 November 2016 lalu, ia menjelaskan bahwa warung ini telah lama buka. Pengalaman pertama dirinya berkunjung ke warung tersebut terjadi ketika ia diajak oleh teman-temannya. Namun, setelah habis masa studinya, Kang Dimen jarang mendatangi tempat ini, kecuali bila ada teman lama yang mampir ke Purwokerto. Lemprakan Lik Surip lah tujuan Kang Dimen untuk bernostalgia bersama teman-temannya.
Kali ini, tanggapan berasal dari Nugraha, seorang lulusan Fakultas Pertanian Unsoed tahun 2014. “Uniknya itu karena bukanya kan malam, otomatis masaknya dari sore, berarti beda dengan yang lain, kan? Kalau yang lain cuma dipanas-panasin, sedangkan ini masakannya baru dan masih hangat,” jelas Nugraha (19/11/2016). Di tengah kesibukannya mengerjakan proyek di Unsoed, Nugraha sering menyempatkan diri mengunjungi warung makan ini untuk melepas lapar. Nugraha berpandangan bahwa suasana di Lemprakan Ndog Lo berbeda, karena buka di malam hari dan harganya yang terjangkau. Ia pun menambahkan alasannya tidak memilih daerah Unsoed sebagai destinasi makan malamnya karena ia jarang menemukan menu sayur. “Paling, saya cuma ketemu lamongan dan nasi goreng, padahal saya kurang suka. Apalagi harganya berkisar Rp8.000,00 ke atas, yah. Kalo di sini paling berapa,” tutupnya.
Perjuangan Membangun
Usaha perintisan Warung Lemprakan Lik Surip tidak berjalan terlalu mulus. Lik Surip mengakui, saat pertama kali dirinya membuka usaha ini, pengunjungnya tidak seramai sekarang. Namun, karena keteguhan dan kesabaran yang ia miliki, usahanya kian hari kian mekar. Akhirnya, warung lemprakan tersebut pun dapat selaris sekarang. Lik Surip tidaklah seorang diri dalam mengembangkan usaha ini. Bersama istri dan seorang pegawainya, Lik Surip tak kewalahan menangani warung lemprakan-nya.
Merupakan tontonan lidah yang menarik, tatkala panasnya persaingan pisau dapur di tepian jalan negeri ini terjadi. Meski jatuh bangun, usaha rakyat ini sudah menjadi tradisi turun-temurun. Kendati demikian, masih banyak warung jalanan yang bertahan kokoh, seperti lemprakan Lik Surip yang bertahan selama 13 tahun di antara gempuran persaingan yang makin kencang. Bersenjatakan rasa yang memanjakan lidah, suasana yang khas, dan tentu saja harga yang bersahabat, menjadikan tempat ini layak untuk dimasukkan ke dalam daftar warung langganan Anda. Berani mencoba?
Reporter: Rachmad Ganta Semendawai, Nabila Dezty Anggraeni, dan Marita Dwi Asriyani.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017 pada Rubrik Tulisan Anak Baru.