
Oleh: Ahmad Fahri S.

Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Pernyataan tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Mengutip dari artikel hukumonline.com yang ditulis oleh Auli, bahwa pengertian dari negara hukum menurut para ahli seperti Wiryono adalah negara di mana para penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada peraturan hukum yang berlaku. Joeniarto juga berpendapat mengenai pengertian negara hukum yaitu negara di mana tindakan penguasanya harus dibatasi oleh hukum yang berlaku. Dari kedua pengertian tersebut, maka bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa negara hukum adalah negara di mana hukum menjadi pengawas bagi penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan.
Indonesia menjadi negara yang memiliki banyak keberagaman budaya. Para pendiri negara ini dalam upaya untuk menyatukan dan memadukan keberagaman yang ada, perlu adanya sebuah kebijakan publik yang akan memenuhinya. Salah satu dari sekian banyak kebijakan yang telah ditetapkan adalah kebijakan yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik atau yang biasa dikenal dengan sebutan UU ITE, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Salah satu isi dari UU ITE pasal 27A berbunyi, “setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.” Pasal ini biasanya digunakan oleh para korban yang merasa nama baiknya telah tercemar oleh tuduhan orang lain.
Namun, di lain sisi dalam UU ITE yang sama, terdapat pasal yang justru bisa melawan balik orang yang secara asal atau tidak berdasar menganggap dirinya adalah korban pencemaran nama baik. Pasal tersebut adalah pasal 45 ayat (6) yang mengatur tentang fitnah yang bunyinya adalah “dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).” Sedangkan bunyi pasal 45 ayat (4) yaitu “setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”
Berkaitan dengan UU ITE ini, terdapat banyak kasus yang menjadi sebuah keambiguan antara apakah hal tersebut merupakan pencemaran nama baik atau justru merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi. Seperti yang diberitakan oleh BBC NEWS Indonesia dengan judul “Polemik ‘pembatalan’ pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional – Lukisan apa saja yang menuai kontroversi dan benarkah pemerintah mengintervensi?” Dalam kasus tersebut Yos Suprapto sebagai seorang seniman dinilai sudah melewati batas atas karya seni yang dibuatnya karena visualisasi bernuansa politik yang mana akan banyak melukai perasaan orang. Namun, Yos Suprapto menganggap bahwa karya-karya seni yang ia buat itu hanya narasi. Ia menjelaskan bahwa itu semua ada kaitannya dengan kekuasaan, sehingga pameran karya seni tersebut berakhir dibatalkan di Galeri Nasional.
Hal tersebut tidak mengherankan, terlebih lagi ada UU ITE. Karenanya dalam peristiwa ini, Yos Suprapto juga bisa terancam pidana jika ada pihak yang melaporkan atas karya lukisnya dengan UU ITE pasal 27A. Namun, permasalahan karya lukisan ini hanya sampai pada pembatalan pameran, tanpa ada pihak yang menggugat atas karya tersebut.
Kasus terbaru, yaitu kasus dari band Sukatani. Band Sukatani menyanyikan lagu yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” menjadi viral di media sosial. Pada Kamis (20/02/2025), Sukatani mengunggah video permohonan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri setelah lagu dengan judul tersebut viral di berbagai platform media sosial. Sukatani juga menarik lagu tersebut dari peredaran dan meminta pengikutnya untuk menghapus karya seni tersebut di platform-platform yang ada di sosial media. Video permohonan maaf ini memicu warganet, bahwa ada dugaan intimidasi dari pihak kepolisian.
Tindakan yang oknum polisi lakukan terhadap band Sukatani ini menjadi salah satu bukti direnggutnya kebebasan bersuara. Namun, menanggapi video klarifikasi tersebut, pihak Divisi Propam Polri telah memeriksa enam personel Direktorat Reserse Tindak Pidana Siber Polda Jawa Tengah. Per 22 Februari 2025, polisi menyebut telah memeriksa lagi dua personel Ditressiber Polda Jateng. Dengan demikian, jumlah anggota yang diperiksa menjadi enam orang. Namun, tindakan yang polisi ambil setelah mengetahui bahwa ada oknum kepolisian yang bermasalah dan melanggar kebebasan bersuara, menandakan bahwa sebenarnya kepolisian tidaklah benar-benar anti kritik. Pernyataan tersebut berdasarkan inti dari pernyataan Hermawan Sulistyo sebagai penasehat ahli Kapolri yang ditayangkan dalam live Youtube “Lagu Bayar, Bayar, Bayar Bikin Ambyar”, bahwa Polri tidak anti kritik bukan pernyataan basa-basi.
Kasus pembredelan karya seni sudah terjadi sejak dahulu, bukan sebuah peristiwa yang baru. Sebagai contoh pada masa orde baru, ada sebuah karya seni teater yang berjudul, “Marsinah menggugat” karya Ratna Sarumpaet. Pementasan teater ini, membicarakan tentang perjuangan buruh perempuan bernama Marsinah yang harus dibunuh karena menuntut kenaikan upah Rp 500,00. Karya seni ini dicekal aparat keamanan karena dinilai tidak memiliki izin. Sementara itu, pada aturan No Pol Juklak/02/XII/1995 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat yang ditandatangani Kapolri saat itu disebutkan bahwa, pertemuan budaya berupa pagelaran musik, tarian, drama, pembacaan puisi, dan bentuk lain yang sejenisnya adalah pertemuan yang tidak memerlukan izin. Melihat pada kasus ini, maka apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian adalah termasuk pembatasan hak kebebasan berkarya dan bersuara, karena karya seni yang mengkritik institusi bukan individu tertentu seharusnya tidak dibatasi di negara demokrasi. Dikarenakan institusi tidak memiliki hak seperti halnya hak yang melekat pada tiap individu. Institusi hanya memiliki kewajiban yaitu melayani rakyat.
Karena itu, pembatasan kebebasan bersuara dan pembredelan karya seni itu tergantung pada fokus pihak yang akan dikritisi. Jika pihak tersebut berupa institusi, seharusnya itu merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi dan kebebasan bersuara. Namun, jika kritik tersebut ditunjukan pada individu tertentu, maka individu tersebut bisa menuntut haknya. Terlebih lagi dengan adanya UU ITE pasal 27A maka individu yang dikritik bisa melaporkan balik dengan alasan pencemaran nama baik.
Editor: Miqda Al Auza’i
Referensi
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2399984/catatan-kelam-dunia-seni-di-masa-orde-baru
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hubungan-hak-asasi-manusia-dengan-negara-hukum-lt62de41f0efd5f/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hubungan_ham_negara_hukum
https://www.tempo.co/hukum/pengamat-isess-ingatkan-polri-jangan-menunggu-publik-lupa-atas-dugaan-intimidasi-band-sukatani–1213171
https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckgxk52krxvo
https://www.youtube.com/live/xlltYep_ao4