Oleh: Ade Ika Cahyani
Sebagai kekayaan budaya yang menjadi kebanggaan Indonesia, eksistensi wayang sudah diakui oleh dunia. Mengutip dari laman Kemdikbud, Hari Wayang Nasional ditetapkan pada 7 November, sebagai pengakuan global bahwa wayang sudah ditetapkan warisan budaya tak benda oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kelangsungan wayang selama berabad-abad lamanya dipengaruhi oleh kegunaannya sebagai sarana vokal para dalang untuk mengkritik isu sosial maupun politik.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ki Panji Laksono, sebagai pegiat seni yang bertempat di Dusun Gadog, Desa Kedungbanteng, Banyumas, menjelaskan bahwa wayang adalah kebudayaan yang penuh dengan makna. Pada sesi wawancara yang dilakukan dengan awak Sketsa pada Kamis (26/9), secara implisit, Panji menjelaskan korelasi positif antara kegemarannya bermain wayang sejak usia empat tahun sampai akhirnya menjadi kaum totaliter dalam mempromosikan wayang. Sehubungan dengan hal itu, Panji juga menambahkan bahwa usahanya melestarikan wayang didasari oleh nilai-nilai filosofis, moral, dan historis yang ada di dalamnya. “Ilmu dalam dunia pewayangan sangat kompleks. Contohnya, kenapa wayang yang bisa digerakkan hanya tangan? Itu artinya nanti pas kita sudah meninggal, tangan yang berbicara. Anggota tubuh,” kata Panji.
Wayang dan Panggungnya
Panji menceritakan latar belakang yang menjadi motivasinya sebagai seorang dalang, yang dimulai ketika dia berusia empat tahun melalui gogon tuhon atau tradisi turun temurun dari mbah sepupu. Akibat keterkaitan mistis dan kurangnya dukungan dari mbah kandungnya, Panji sempat vakum dari dunia pewayangan. Namun, ketika menginjak kelas tiga di sekolah menengah pertama, ia berhasil menemukan kembali semangatnya. Dukungan dari lingkungan sekitar dan kecintaannya pada budaya tradisional menjadi pemicu kebangkitannya. Sehingga, Panji mulai aktif berlatih dan memperdalam keterampilannya sebagai dalang. Keputusan tersebut menjadi titik balik penting dalam perjalanan karirnya di dunia seni pewayangan. Panji berharap agar kalangan muda mampu mencari kecintaan terhadap budaya sama seperti dirinya, khususnya pada pewayangan.
Sosok Ki Panji yang masih eksis di era obses-teknologi mengungkapkan betapa pentingnya mengikuti arus perkembangan zaman, alih-alih terseret arus global secara mentah-mentah. Masyarakat akrab dengan hipokrisi yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran, unggah-ungguh, begitu kata Panji. Sebagai warisan budaya yang sudah menjadi identitas bangsa, akan menjadi guyonan ketika wayang mendadak kalah dominasi oleh budaya lain dari antah berantah. Secara garis besar, Panji menekankan bahwa perkembangan zaman tidak boleh sampai mengutak-atik budaya yang ada. “Anak-anak sekarang itu sudah kurang attitude, kurang etika, itu karena apa? Karena pergaulan-pergaulan yang bisa dibilang sudah di luar dari budaya ketimuran, budaya kita,” komentarnya. Panji menyampaikan hal tersebut karena ia menilai generasi muda saat ini kurang menunjukkan perhatian terhadap tradisi dan kebudayaan Indonesia.
Mengutip dari kalimat Panji sebelumnya mengenai kebudayaan wayang dan perkembangan zaman, jaringan global yang meluas tanpa batas memang menjadi tantangan yang serius. Dari laman CNBN.com, pernah ramai kasus saat wayang kulit diklaim oleh desainer dari negara tetangga, Malaysia, sebagai identitas dan warisan budaya Negeri Jiran tersebut. Polemik seperti ini merupakan gambaran bahwa mungkin isu serupa akan terjadi lagi. Masyarakat Indonesia perlu menyorot kasus ini dengan tegas untuk mencegah klaim sepihak, apalagi oleh negara yang budayanya hampir serupa.
Sebagai seorang aktivis seni dan agen yang berkarya melalui inovasi di dunia pewayangan, Panji menciptakan berbagai terobosan untuk menyampaikan makna dan nilai dalam setiap pertunjukan, terutama dalam upaya mempertahankan kelestarian wayang. Salah satu upayanya adalah menyampaikan cerita wayang dengan bahasa yang menarik dan dapat dipahami oleh semua orang. Hal itu seperti yang pernah dilakukannya ketika ditantang oleh bupati Banyumas, Ahmad Husein, untuk wayangan menggunakan bahasa Ngapak.
Ada pengalaman yang menurut Panji sempat membuat kesusahan karena dirinya sudah terbiasa dengan kalimat “a” kemudian diubah menjadi pelafalan huruf “o” dalam pembawaan bahasanya. Mengintip dari pengalaman Panji tersebut, dalang boleh saja melakukan inovasi selagi memiliki dasar cerita yang akan dibawakan. Berkreasi tanpa merusak tradisi, begitu kata Panji. Ia mengatakan dirinya pro terhadap bentuk improvisasi pewayangan semacam itu, sehingga dalam praktiknya, anak-anak muda juga tertarik untuk menonton. Dengan begitu, Panji berharap fenomena globalisasi dan modernisasi tidak menjadi hambatan bagi pertunjukan wayang agar tetap terjaga. Ia berharap wayang tetap relevan dan diterima oleh generasi muda, sekaligus dapat menarik atensi masyarakat untuk terus menonton. “Kemarin wayangan saya di Mersi itu sampai jam sebelas malam ada anak haha hehe, ternyata ngikutin pementasan,” ceritanya. Mendengar pengalaman tersebut, bisa disimpulkan bahwa minat anak muda dalam menonton wayang sebenarnya cukup tinggi. Semakin banyak orang yang menggemari pewayangan, semakin besar pula peluang untuk melestarikannya.
Kedudukan Dalang di Lingkup Sosial
Dalam hiruk-pikuk sastra, Panji menambahkan bahwa kedudukan dalang itu sendiri sama seperti kyai, ahli nujum, dan bahkan ahli filsafat. Hal itu dikarenakan seorang dalang mempelajari seluruh aspek peri kehidupan. “Antropologi, sosiologi, itu semua ada di dalang. Kerjanya juga paling beresiko, harus mikir dan tenaganya juga harus ekstra. Stamina harus diperkuat agar bisa terjaga semalam suntuk,” imbuh Panji.
Perkataan Panji menyatakan bahwa dalang bukan hanya sebagai figur yang sekadar menghibur, tetapi juga membawa pesan moral yang menyangkut berbagai nilai kehidupan. Dalam setiap pertunjukan, seorang dalang harus mampu menggambarkan konflik dan resolusi yang mencerminkan realitas sosial. Menurutnya, wayang merupakan media yang kaya akan makna dan filosofi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga peran dalang sangat penting dalam mentransformasikan cerita. Dirinya juga menegaskan bahwa sebagai dalang, Panji berusaha menjaga kelestarian budaya wayang sambil tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Meski demikian, selama sepak terjangnya sebagai dalang sekaligus pemilik sanggar, Panji pernah mendengar doktrin mengenai wayang yang menurutnya menggelikan. “Waktu itu ada satu ustadz yang mengatakan wayang haram,” ucap Panji. Ia mengaku cukup tergelitik dengan pernyataan tersebut. Umumnya wayang dikenal secara luas digunakan dengan tujuan menyampaikan informasi, nilai-nilai kebaikan hingga sarana dakwah Islam. Sehingga dari sisi ini, tidak ada alasan yang membuat wayang menjadi haram.
Kendati demikian, Panji tetap memberikan tanggapannya dengan filosofi: justru penataan wayang berupa simpingan, dari kanan seperti Werkudara, Bima, melambangkan wayang-wayang bagus, sementara kalau yang kiri dari wayang raksasa yang bersifat angkara murka. “Santai saja. Kalau dia bilang wayang haram ya saya diam, iya haram: kalau dimakan. Sejarah juga mencatat wayang dulu digunakan untuk menyebarkan agama Islam, kok,” kata Panji. Baginya, pewayangan bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan zaman. Panji bukannya abai dengan persepsi negatif yang muncul, dia hanya berusaha untuk tak gentar dalam mengembangkan seni wayang. Dengan semangat ini, Panji terus berupaya menginspirasi kalangan muda untuk melestarikan budaya Indonesia.
Reporter: Ade Ika Cahyani, Hasnaa Lutfiah, Tsabita Ismahnanda Purnama
Editor: Miqda Al-Auza’i