Oleh: Ferry Aditya
Tumbuh lebat di antara kebun-kebun warga, kebun kopi milik Pak Hadirun mampu membawa warna-warni baru. Kebun kopi yang terletak di Kelurahan Sikapat, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas itu memiliki luas 1,5 hektar dan ditumbuhi varietas kopi Robusta dengan kualitas yang lumayan baik. Saat ditemui di kediamannya, Pak Hadirun menceritakan pengalamannya selama beberapa tahun berurusan dengan perkebunan kopi.
Hitam, pahit, penangkal kantuk, sebutan identik bagi minuman kopi. Istilah kopi berasal dari bahasa Arab, yaitu qahwa yang berarti kuat. Menurut sejarahnya, kopi pertama kali ditemukan di Ethiopia, wilayah Timur Laut Afrika, pada abad ke-9 masehi. Umumnya jenis kopi dibagi menjadi dua, yaitu Arabika (Coffea arabica) dan Robusta (Coffea canephora). Di Indonesia, perkebunan kopi tersebar di berbagai macam daerah seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua.
Kebun milik Pak Hadirun adalah salah satu kebun kopi yang tumbuh subur di wilayah Jawa Tengah. Kebun tersebut merupakan kebun milik keluarga dan sudah ditanam sejak 2017 silam. Sebelumnya, kebun itu ditanami dengan pohon pepaya dan kelapa. Pak Hadirun bercerita, sebelum ditanami kopi dengan jenis Robusta, sudah ada kopi jenis lainnya yang ditanam. “Dari awalnya, kopinya kopi biasa; kopi Jawa lokalan, terus disambung sama kopi itu Robusta,” ungkap Pak Hadirun saat ditemui pada Jumat (18/10). Kopi Jawa lokalan memiliki perbedaan fisik yang mencolok dengan kopi Robusta. “Kopi Robusta dari kopinya itu besar-besar bijinya, kalau kopi Jawa bijinya kecil-kecil. Untuk kopi Jawa terkait pohonnya itu terus tumbuh ke atas menjulang, tapi kalau kopi Robusta kan batangnya anu ke samping, istilahnya megar apa yah.” Ia juga menjelaskan bahwa bibit kopi di kebunnya diambil dari daerah lain, “Itu bibitnya, katanya, itu si ambilnya dari desa sebelah, nah desa sebelah itu ambilnya dari Lampung,” ujar Pak Hadirun.
Per tahunnya, Pak Hadirun mampu memanen sebanyak 1 ton buah kopi matang. Buah yang sudah dipanen, kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa hari hingga kering. Setelah dijemur, buah kopi diselip (dikupas) untuk memisahkan lapisan luar kopi (cascara) dengan biji kopi. Proses pascapanen ini biasa dikenal dengan sebutan natural process. Biji kopi yang sudah siap, selanjutnya dijual kepada tengkulak dalam keadaan belum dipanggang. Dari penuturan Pak Hadirun, ia kurang tahu menahu perihal sampai mana biji kopinya dijual, “Ya, dijual mungkin ke pembeli lagi. Setelah dari pembeli ke pembeli ke pabrik atau ke mana kurang tau.”
Omzet yang didapat Pak Hadirun dari hasilnya menjual biji kopi tidaklah pasti. Ia bercerita bahwa harga jual kopi tidak selalu stabil. Harga cenderung naik turun dan tergantung dari kebun-kebun kopi lainnya, “Kemarin paling tinggi Rp60.000, Rp58.000 per kilo, dulu ada yang Rp17.000, Rp20.000. Harga ngga pasti lah naik turun, tergantung dari kebun-kebun yang lain hasilnya lebih melimpah atau gimana, mungkin.” Kondisi inilah yang menjadi alasan seorang yang bekerja menjadi perangkat desa tersebut tidak menjadikan bertani kopi sebagai pekerjaan utama.
Pak Hadirun berkeinginan tak hanya menjadi petani kopi dan menjual biji kopinya begitu saja. Ia ingin membuat produk kopi bubuk dan diedarkan di daerah sekitar. Ketiadaan alat grinder (penggiling) kopi dan alat roasting kopi lah yang menghambat niatnya itu. Ia juga melihat bahwa ada potensi besar industri perkebunan kopi di daerahnya. Potensi itu dilihat dari adanya beberapa lahan kosong di daerah tersebut, “Lahan kering di atas seperti di RW 4 atau RW 5 kan banyak yang ladang kosong itu, kepenginnya masyarakat yang punya lahan kepengin pada pada nanem kopi.” Ia agaknya sedikit pesimis perihal ini dikarenakan kurangnya informasi dan arahan mengenai pembukaan lahan untuk perkebunan kopi.
Secercah harapan menantikan terwujudnya suatu tindakan. Berharap ada banyak elemen yang mensupport, baik itu dari masyarakat maupun dari pemerintah setempat. Masyarakat dipelopori, difasilitasi, dan diberi arahan tentang bagaimana menjadi petani kopi hingga menjual produk jadi. Apabila hal itu terealisasi, bukan hanya diperoleh kebermanfaatan dari sisi pemberdayaan lahan, tetapi juga terciptanya lapangan pekerjaan yang berkelanjutan.
Reporter: Ferry Aditya, Zaki Zulfian, Tri Budi Wicaksono
Editor: Helmalia Putri