Bisik Serayu Festival: Menggali Filosofi dan Isu Lingkungan Serayu

Oleh: Maula Rizki Aprilia 

Foto: Ade Ika Cahyani

Serayu yang kurang diperhatikan dan isu lingkungan yang tidak teratasi dengan baik memunculkan ide festival kebudayaan yang berbalut pemeliharaan lingkungan. Bisik Serayu Festival adalah rangkaian acara yang berfokus pada kebudayaan dan ekologi Sungai Serayu. Festival ini diselenggarakan selama tiga hari, dari 6-8 September 2024, dengan menampilkan berbagai tarian dan sejumlah musisi yang berada di sekitar Banyumas. 

Melalui kerjasama dengan Rianto Dance Studio, beberapa penari luar negeri turut diundang guna meramaikan festival tersebut. “Kemarin juga kita datangkan penari-penari dari Jepang. Terus kemarin ada dari Amerika (dari) Prehistoric Body Theatre, Ari Rudenko. Terus ada (musisi) dari Spanyol (yakni) Rodrigo Parejo, dari Meksiko (ada) Leon, dari Amerika (ada) Sean, Mirai Kawashima juga dari Jepang,” ucap Sony Andreas (8/9), selaku Project Officer Bisik Serayu Festival, saat ditemui awak Sketsa.  Tarian yang dibawakan antara lain, Tari Butoh, Tari Lek Acheroparoptor, dan Tari Bajidor Kahot. 

Bisik Serayu merupakan nama yang mempunyai sederet makna yang berhubungan dengan sejarah Sungai Serayu. Menurut Sony, kata ‘bisik’ sendiri bermakna penyampaian pesan secara perlahan tetapi mengena. Melalui ‘Bisik’, Sungai Serayu berusaha menyuarakan kesakitan dan keprihatinan kondisinya. Serayu ingin diperhatikan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat sekitar. Hal ini tidak lepas dari peristiwa flushing Bendungan Mrica pada tahun 2023, yang mengakibatkan pembuangan lumpur mengalir ke Sungai Serayu dan membuat jumlah ikan endemik, ikan pelus, berkurang akibat banyaknya ikan yang mati. 

Foto: Ferry Aditya

Pinggiran sungai diubah menjadi panggung untuk menampilkan tarian, diskusi, dan Ketoprak yang menghibur sekaligus mengedukasi. Memanfaatkan bambu sebagai bahan utama untuk mendekor panggung dan membentuk replika tetes air lalu digantung di beberapa titik, seperti di pintu masuk dan tempat duduk penonton di depan panggung. 

Replika tetes air melambangkan tetesan air Sungai Serayu. Segitiga bambu yang terletak di pintu masuk melambangkan Gunung Slamet yang agung. Di sisi kanan-kiri panggung, berdiri kokoh susunan bambu membentuk riak air Sungai Serayu. Dekorasi yang sederhana dan anggun tersebut memerlukan waktu lima bulan untuk menyiapkannya. 

Teras Serayu dijadikan sebagai basecamp para penampil, tamu undangan, dan warga sekitar. Sebuah bangunan yang didirikan oleh Rianto Dance Studio guna melestarikan budaya Tari Lengger Banyumasan. Teras Serayu juga mempunyai filosofi tersendiri. Kata ‘teras’ yang merupakan bagian depan rumah menggambarkan Sungai Serayu sebagai ‘teras’  yang selalu dijaga dan dibersihkan.

Acara puncak berupa Ketoprak bertema Pranata Mangsa atau ilmu perbintangan, terdiri dari rangkaian Ujungan–Cowongan, Blabur Banyumas (banjir besar Banyumas), dan Betik Mangan Manggar (ikan betik makan bunga kelapa). Cowongan adalah ritual pemanggil hujan yang dilakukan saat musim ketiga atau kemarau yang melanda wilayah Banyumas dan sekitarnya. Blabur Banyumas, peristiwa banjir besar yang terjadi pada 1862 yang menyebabkan ikan betik bisa memakan bunga kelapa (Betik Mangan Manggar). Ketoprak tersebut ditampilkan oleh warga Desa Kaliori dan disutradarai oleh seorang seniman, Pak Agil yang idenya didapat melalui tukar pikiran dengan Mas Rianto, pegiat seni dan pendiri Teras Serayu. Ketoprak Pranata Mangsa berpesan pada masyarakat untuk tidak merusak alam terutama Sungai Serayu.

“Fokusnya itu untuk kita mengingat Pranata Mangsa dan kita jangan sampai merusak alam. Menyadarkan bahwa alam semesta ini baik hutan, sungai, dan yang lainnya itu makhluk-makhluk hidup yang berhubungan erat dengan manusia. Sehingga manusia tidak boleh mengeksploitasi atau merusak,” jelas Pak Agil (8/9), saat ditanya mengenai makna dari serangkaian Ketoprak yang ditampilkan. Beliau bernasehat agar sesama makhluk hidup harus saling menjaga dan tidak mengeksploitasi alam.

Bisik Serayu Festival, yang menampilkan beragam pertunjukan tari dan ketoprak, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan di Sungai Serayu. Acara ini diharapkan dapat membangkitkan kepedulian warga sekitar terhadap ekologi sungai, mendorong mereka untuk tidak membuang sampah sembarangan, serta menghindari penggunaan bahan kimia berbahaya dalam kegiatan memancing. Dengan upaya ini, diharapkan Sungai Serayu dapat terjaga kelestariannya sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Reporter: Maula Rizki Aprilia, Ferry Aditya, Ade Ika Cahyani, Balqist Magfirah Xielfa, Zahra Nurfitri Laila 
Editor: Lubna Azizah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *