Dilansir dari siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada laman resmi mereka (21/7), AJI menilai bahwa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) No. 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat merupakan ancaman baru bagi kebebasan pers.
Sejak peraturan tersebut terbit di tahun 2020, Koalisi Advokasi Permenkominfo No. 5 tahun 2020 telah meminta agar Kominfo membatalkan aturan tersebut. Dikutip dari aji.or.id, Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, angkat bicara soal tanggapan Kominfo. Sasmito mengatakan bahwa Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal, Permenkominfo No. 5 tahun 2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers.
Sebelum itu, Kominfo sempat memberikan batas waktu pada seluruh PSE agar mendaftar paling lambat pada tanggal 20 Juli 2022. Jika melebihi dari tanggal yang telah ditentukan, maka Kominfo akan memberikan sanksi administratif sampai ancaman pemutusan akses atau pemblokiran terhadap platform maupun situs. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi platform besar seperto Google, Tiktok, Meta Group, namun juga berlaku bagi situs-situs berita.
Dalam hal ini, AJI mengidentifikasi terdapat empat pasal penting dalam Permenkominfo No. 5 tahun 2020 yang mengancam kebebasan pers di Indonesia. Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang berisi ketentuan agar PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang. Kriteria informasi yang dilarang meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, serta mengganggu ketertiban umum. Poin ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ ini cukup lentur sehingga menimbulkan perdebatan. AJI juga menilai bahwa Permenkominfo tidak memiliki klausul yang ketat mengenai standar, mekanisme keberatan dari publik, dan tidak melibatkan pihak independen yang berwenang dalam menilai konten.
Kedua, Pasal 14 yang mengatur tentang permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum dapat dilakukan oleh masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan. Ketentuan ini berisiko bagi siapapun, termasuk yang memiliki agenda politik, agar dapat mengajukan blokir terhadap berita yang memuat kepentingan publik, tetapi dinilai sepihak meresahkan publik dan mengganggu ketertiban umum.
Ketiga, Pasal 21 dan Pasal 36 yang memuat ketentuan bahwa PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian atau lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum. Ketentuan ini juga dinilai berisiko karena dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media. Pemerintah dan aparat dapat mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi dengan mudah, termasuk kepada jurnalis-jurnalis.
Menghadapi hal tersebut, Ketua Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiela, mendesak agar Dewan Pers menolak beleid ini karena menimbulkan risiko serius kepada jurnalis dan media. Selain itu, Adi juga mengimbau kepada para jurnalis untuk meningkatkan kesadaran terhadap privasi dan keamanan digital. Salah satunya dengan mempelajari kerentanan penggunaan platform atau aplikasi. Kerentanan dan risiko yang telah ada akan menjadi semakin besar setelah adanya Permenkominfo No. 5 tahun 2020 karena peraturan tersebut mewajibkan seluruh PSE memberikan akses ke lembaga dan kementerian untuk diawasi.