Oleh: Rofingatun Hamidah

“Kalau kasus-kasus mereka (korban pelanggaran HAM-red) tidak dituntaskan, semakin banyak kasus baru juga terjadi, maka bara ini akan jadi dian lagi. Bara ini akan jadi api lagi yang akan membuat Indonesia juga panas lagi.”
Begitu kira-kira kata Andhy Panca Kurniawan, Direktur sekaligus Founder WatcdoC, membahas film Dian Jadi Bara. Ia menggambarkan dian yang berarti api ini merupakan bentuk kemarahan orang-orang yang dikorbankan untuk agenda-agenda pembangunan pemerintah. Menurutnya, api ini memang terkesan sudah padam pasca-reformasi, namun ternyata tidak ada keadilan untuk para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Panca, sapaan akrabnya, menjelaskan film Dian Jadi Bara dan persoalan HAM dalam diskusi yang diselengarakan LPM Sketsa bertema Film dan Perlawanan (09/11). Rencana awal film dokumenter garapan WatchdoC ini sebenarnya hanya ingin mendokumentasikan kegiatan temu korban lima tahunan, dalam Kongres Pejuang HAM Nasional. Namun, film yang digarapnya pada tahun 2009 ini kemudian ia buat lebih menarik dan layak untuk ditonton dengan memuat kisah-kisah korban pelanggaran HAM masa lalu yang diceritakan kembali. Baik itu oleh korban pelanggaran HAM sendiri maupun keluarganya.
Di antaranya ada: Bedjo Untung, korban penyiksaan pasca-peristiwa ’65; ayah Aristoteles Masoka, korban penculikan di Papua pada November 2001; ayah Petrus Bimo, aktivis mahasiswa yang diculik pada Maret 1998; Azwar, korban kasus Talangsari pada Februari 1989 yang menewaskan 130 orang; Aisyah, korban penggusuran lahan di Sulawesi Tenggara pada Desember 2005 yang setidaknya sebanyak 500 kepala keluarga digusur paksa dari lahannya; kekerasan terhadap warga Ahmadiyah; hingga penutupan pabrik tekstil PT. Istana Mognaliatama pada Juli 2007 tanpa mau membayar hak-hak buruhnya.
Panca juga mengatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ini belum selesai hingga sekarang. Pasalnya, pemerintah sebagai pemegang kuasa untuk menyelesaikannya malah memilih abai. “Jokowi sendiri sudah bilang bukan prioritas, HAM bukan prioritas.”
Ia menjelaskan pada saat pasca-reformasi hingga awal tahun 2000-an semua narasi pembangunan menggunakan perspektif HAM sebagai komplemennya. Seperti keberhasilan mereka memasukkan delapan ayat tentang HAM dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, membuat Undang-Undang (UU) 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, terselesainya UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, hingga adanya UU TNI yang berspektif HAM. Berbanding terbalik dengan situasi tersebut, alih-alih tercapai Panca menyebut saat ini gerakan hak asasi manusia justru mundur.
“Jadi, khusus untuk gerakan hak asasi manusia sendiri, saya kasih notice ya, mundur,” ucap Panca (09/11).
Selaras dengan ucapan Panca, dalam Catatan Hari HAM 2020 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut bahwa pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. Dari Desember 2019 hingga November 2020 saja, KontraS menemukan terdapat 300 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Setidaknya, ada 28 peristiwa kekerasan terhadap pembela HAM di sektor Sumber Daya Alam (SDA), juga terdapat 17 kasus pembungkaman siber terhadap individu, lembaga situs media, hingga forum diskusi.
Masalah lain seperti kekerasan di Papua dan serangkaian legislasi bermasalah juga menjadi sorotan. Pada Januari hingga Desember 2020, KontraS mencatat terdapat 40 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, TNI, maupun keduanya. Yang berarti hampir setiap bulan terjadi peristiwa kekerasan terhadap masyarakat Papua. Pada tahun yang sama, pemerintah dan DPR RI menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversional dalam waktu yang singkat di tengah pandemi. Yakni UU perubahan terhadap UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Yang kemudian memicu gejolak protes masyarakat karena dianggap berpotensi menguntungkan investor.
Belum lagi soal kasus yang baru-baru ini ramai diperbincangkan yakni mengenai pernyataan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dalam rapat kerja bersama Komisi 3 DPR RI. Ia mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat berdasar pada rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan Semanggi II yang dibentuk oleh DPR periode 1999-2004. KontraS menyebut argumentasi ST Burhanuddin soal peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang didasari oleh Keputusan Paripurna DPR RI, merupakan alasan politis untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai Jaksa Agung.
Pada kesimpulannya, KontraS menulis Indonesia semakin bergerak jauh dari cita-cita transisi politik sejak tahun 1998 mengenai pemerintahan yang berbasis HAM. Laporan yang berjudul HAM dalam Bayang-Bayang Ororitarianisme ini menuturkan bahwa saat ini Indonesia malah bergerak kembali ke arah otoriterisme.
Menilik dari yang disampaikan oleh Panca maupun KontraS, harapan Bedjo Untung dalam film Dian Jadi Bara seperti ungkapan pungguk merindukan bulan semata.
“Kami hanya menuntut penjahat pelanggaran (HAM-red) harus diadili, setidak-tidaknya harus ada hukuman. Dan kami orang yang dulu dikorbankan, harus ada rehabilitasi, memperoleh kompensasi, reparasi, dan sebagainya,” kata Bedjo Untung tahun 2009 silam dalam film Dian Jadi Bara.
Editor: Firliana Indah Safira
Catatan:
Tulisan ini telah mengalami perbaikan atas masukkan pembaca. Awalnya, korban penculikan di Papua pada November 2021. Penulisan tahun pada tulisan ini keliru, dan telah diganti dengan penulisan yang tepat, yaitu korban penculikan di Papua pada November 2001 .