
Oleh: Reni Nuryanti

Sudah hampir sebulan Mardiyem jadi pendiam. Senyumnya tak lagi mengembang. Padahal kata orang, senyum Mardiyem dianggap paling manis di Desa Rungkang. Mardiyem tidak pernah mengerti mengapa senyumnya sangat berarti. Padahal dia sendiri merasa tak tega melihat senyumnya. Lekas-lekas Mardiyem mengambil cermin, lalu menaruhnya di kolong ranjang.
Pagi itu Mardiyem tampak semringah. Alam seolah turut merasakan. Matahari menyembul dengan sempurna. Sinarnya menghangatkan raga. Puluhan ayam berlarian setelah keluar dari kurungan. Sementara itu gelatik asyik beradu suara dengan kutilang. Tak jauh dari rumah Mardiyem, dua truk bermuatan gula jawa terparkir di bawah pohon keluwih . Seorang lelaki tampak ngos-ngosan sambil menyandarkan kepala. Keringat membanjiri tubuh bertelanjang dada. Di hadapannya terhidang sepiring pisang goreng dan segelas kopi panas.
“Kang Miskun!” seru Mardiyem sambil tersenyum. “Jadi mengantar gula jawa ke Purwokerto pagi ini?”
Miskun menghentikan kibasannya. Tangannya beralih ke pisang goreng dan segera mengunyahnya. Pelan-pelan, ia menelan sambil merem melek.
“Tidak jadi, Dik Mar. Nanti habis lohor.”
“Loh, kenapa?”
“Nunggu Den Suryaman. Dia masih di Sidareja. Katanya mau ketemu bandar gula di sana. ”Miskun kembali meneguk kopi sambil menatap Mardiyem. “Dik Mar mau ikut ke Purwokerto?” lanjutnya.
“Tidak, Kang,” jawab Mardiyem dengan lirih.
Mardiyem terdiam. Batinnya bergejolak. Setiap kali dengar nama Suryaman, pikirannya jadi tersendat. Ia tersikat oleh masa saat menemani laki-laki itu mengantar gula jawa ke Purwokerto. Mardiyem merasa berbunga-bunga. Terlebih saat Suryaman menggandengnya ke rumah makan untuk menyantap soto Sokaraja, Mardiyem seolah bagai dibawa ke langit jingga. Jiwa Mardiyem melayang. Angannya makin melambung kala Suryaman mengajaknya jalan-jalan ke Baturraden. Meski banyak orang cengar-cengir, Mardiyem tetap adem ayem. Baginya tak ada yang paling membahagiakan selain berada di dekat Suryaman.
“Dik Mar!” Miskun mencolek tangan Mardiyem yang lekat di lututnya. “Jangan ngalamun. Oh ya, Mardiana jadi kawin dengan Den Suryaman? Tak kira sama sampean.”
Mardiyem tak menjawab. Lirikan matanya menggurat tanya. Ia berlalu tanpa kata.
***
Malam itu Mardiyem menyendiri di gubuk bambu. Sepuluh tahun lalu, tempat ini masih terasa hangat. Bukan hanya karena nyala tungku saat memasak nira, tetapi luapan harapan orang tuanya. Sang ayah mewanti-wanti agar anak kembarnya jadi manusia yang mulia.
“Kalian lihat bapak. Pagi, sore, bahkan malam masih berkalung pongkor. Untuk apa? Supaya kalian jadi wong begya. Bisa sekolah, bahkan sampai kuliah. Cita-cita bapak hanya setinggi puncrit. Kalian harus bisa setinggi langit.”
“ Kersaning Allah, moga-moga kalian jadi sarjana,” sela sang ibu sambil melepas ikatan pongkor berisi nira. Satu per satu lalu dituang ke kuali besar yang sudah berisi juruh. Si kembar Mardiyem-Mardiana manggut-manggut. Tangannya gesit mengupas singkong lalu memasukannya ke dalam kuali berisi nira. Tak sampai sejam, singkong diangkat. Sambil senyum-senyum, mereka melahap cimplung budin.
Mardiyem menerawang langit gubuk. Remang cahaya lampu memaksa matanya menatap satu makhluk: bangkong. Mardiyem menggeser jengkok dan mendekat pada binatang berperut gendut dan berbintil kasar itu. Binatang itu sedang megap-megap sambil menatap puluhan nyamuk di sekitar kayu bakar. Mardiyem tergagap. Pikirannya melayang pada puluhan tahun silam. Di kala kecil, dia sempat terserang TBC. Beragam penyembuhan dilakukan. Dari bantuan dokter hingga dukun.
Suatu hari sang dukun meminta agar Mardiyem memakan hati bangkong di tiap weton. Entah karena takdir atau kebetulan, lambat laun TBC di tubuh Mardiyem menyingkir. Namun setelah itu, gigi susunya membusuk dan rontok. Beberapa bulan kemudian, tumbuh gigi baru yang bentuknya tak biasa. Jauh lebih besar dibanding ukuran pada umumnya. Tonjolan makin memanjang, melebihi ukuran bibir. Anehnya, akar gigi terlampau kuat. Berkali-kali dicabut, Mardiyem selalu menjerit menahan sakit. Ia menyerah dan membiarkaan gigi cakilnya tumbuh seiring usianya yang kini telah dewasa.
Tanpa sadar, tangan Mardiyem menyentuh gigi depannya. Ia terisak dalam hening. Hanya cicak yang menatap. Tiga ekor celurut yang berlarian di bawah pintu. Ratusan rayap yang berderik melubangi tiang penyangga gubuk. Sementara itu beberapa kecoak berlarian di bawah tumpukan sengker yang lapuk.
Mardiyem mengusap air mata sambil terus bertanya pada batinnya. Mengapa ia teramat berbeda dengan Mardiana. Padahal takdir menuliskannya sebagai manusia kembar. Mardiana terasa istimewa di mata manusia. Dari segi nama saja, sudah beda. Mardiyem dan Mardiana. Seperti ada penyematan kasta. Kenapa namanya harus berakhiran -yem. Bukankah orang tuanya bisa memilih akhiran -ni atau -ti. Setidaknya ia bernama Mardiani atau Mardiati. Bukankah lebih indah kedengarannya.
Anehnya, sosok Mardiyem justru dianggap istimewa oleh sebagian orang. Bahkan senyumnya dibilang paling manis di Desa Rungkang. Keluarganya sendiri tak sekalipun bilang kalau senyumnya menawan. Mereka malah senyumsenyum jika Mardiyem sedang tersenyum. Namun, orang-orang itu justru selalu menantikan senyumnya. Sebab kata mereka, senyuman itulah yang membuat penderes Rungkang tidak kelabakan.
Sudah dua tahun ayah Mardiyem berhenti jadi bandar gula jawa. Ia serahkan urusan gula jawa pada Mardiyem. Pikirannya buntu melihat tingkah para penderes. Terutama saat kemarau, tidak sedikit dari mereka yang beralih pekerjaan atau bahkan diam-diam merantau ke negeri orang. Di masa ini, pohon kelapa kehilangan nira. Batang mengering. Daun meranggas. Manggar sama sekali tak muncul. Para penderes hanya bisa pasrah. Menggantungkan pongkor menjadi pilihan meski bandar mengecam.
“Kalau tidak menderes, bagaimana bisa melunasi utangmu, Kang Sarman?” tegas ayah Mardiyem.
Sarman tertunduk mendengar kata-kata ayah Mardiyem. Sebagai bandar, ayah Mardiyem sudah meminjami uang sebagai pengikat. Dengan begitu, Sarman hanya akan menjual gulanya kepada ayah Mardiyem. Setiap kali menjual gula, ia terkena potongan pembayaran sebagai pelunasan utang. Namun, semenjak kemarau panjang, Sarman tak lagi menderes.
“Sementara ini saya malen, Pak. Sejak kemarau, nira sama sekali tidak keluar.”
“Kalau begitu, jangan berutang lagi. Kamu yang seneng, aku yang puyeng.”
Sarman mendesah sambil menghisap rokok lintingnya. Hanya batinnya yang mampu mengumpat garang. Sarman tahu diri. Penghasilannya hanya bergantung pada pohon kelapa. Ia sadar betul, wong cilik memang paling menderita di kala paceklik.
Mardiyem memandang Sarman dari kejauhan. Ada perang dahsyat yang menyayat. Antara pembelaan pada ketidakberdayaan dan penolakan pada sikap ayahnya. Menjadi bandar, sama halnya menjadi pemimpin. Modalnya tak sekadar kesabaran, tapi juga kesadaran. Sabar pada ketetapan Tuhan dan sadar pada tingkahing manungsa. Maka sejak itu, Mardiyem mulai mengolah pikiran. Jauh sebelum kemarau datang, ia mengajak ayahnya menanami ladang dengan rumput jago-jagoan. Ia juga memesan puluhan kambing untuk dipelihara oleh para penderes. Mereka diberi upah tiap bulan untuk menyangga penghasilan. Mardiyem juga membuat sumur di pojok-pojok ladang. Saat kemarau menghadang, ladang Mardiyem tetap menghijau. Para penderes juga tak perlu bersusah payah mencari pakan. Dengan begitu, mereka tetap terikat dengan bandar, meski sementara waktu tidak menderes.
Mardiyem pun makin akrab dengan para penderes. Tiap jelang lebaran, bukan hanya baju atau sarung yang dihadiahkan, tetapi juga amplop berisi uang. Mardiyem juga sering blusukan ke rumah penderes untuk ngobrol sambil ikut genen. Dalam obrolan itu tersungging senyum yang menggurat keberuntungan. Sebab Mardiyem selalu jadi tumpuan. Misalnya saja saat ada penderes yang sakit. Mardiyem akan datang. Bukan hanya membawa uang, tetapi senyuman. Begitu pun kala istri penderes habis melahirkan, Mardiyem pasti bertandang. Bukan hanya membawa buah tangan, tetapi juga senyuman.
Perhatian kepada penderes menjadi obat paling ampuh untuk melupakan Suryaman. Ia adalah sosok yang membuat Mardiyem jatuh cinta pada gula jawa. Suryaman pula yang mengajarkan bahwa Rungkang adalah surga gula jawa. Tanah Rungkang yang subur, membuat pohon kelapa tumbuh meninggi. Lebat buahnya. Membanjir niranya. Para penderes mengolah citacita dari tiap tetesannya. Hingga di tanah Rungkang yang jauh dari perkotaan, berdiri rumah-rumah gedong yang megah.
“Kamu tahu, Dik Mar? Itu adalah istana yang dibangun dari tetesan nira,” tegas Suryaman.
Mardiyem tersenyum sambil mengunyah kelapa muda. Ia tak peduli gigi depannya yang tegak membaja.
***
Kali ini Mardiyem merasa asing dengan senyumannya. Seminggu jelang pernikahan Mardiana, ia hanya bisa membisu. Bahkan saat Suryaman mendekat, ia cepat-cepat berlalu. Hati Suryaman berdesir. Ia sadar bahwa usaha gula jawanya tidak akan berkembang pesat tanpa bantuan Mardiyem. Dialah yang meminjami modal, bahkan tak jarang menemaninya mengirim gula jawa ke luar kota. Suryaman menarik napas panjang sambil meremas cincin yang lekat di jari manisnya.
Kini Mardiyem harus berjuang sekuat tenaga untuk tersenyum. Hingga siang itu, Sarman datang. Ia berjalan terhuyung memegangi pikulan yang digantungi dua delebuk berisi penuh gula jawa. Wajah laki-laki itu pucat menahan beban. Napasnya ngos-ngosan . Keringat membanjir di tubuh kurusnya. Mardiyem segera menyambut dan menyuruhnya lekas-lekas duduk. Di tangannya tergenggam sepiring ubi goreng. Namun Sarman malah merengut. Ia menunjuk bibirnya sendiri. Mardiyem paham. Laki-laki itu minta senyuman bukan makanan.

Apa daya. Musibah kecelakaan membuat Mardiyem kehilangan gigi cakilnya. Saat itu, ia bersama Miskun hendak mengirim gula ke Sokaraja. Truk yang ditumpanginya oleng dan menabrak mobil pembawa alat pelaminan yang akan dipakai Mardiana dan Suryaman. Mulut Mardiyem terkena benturan keras. Gigi perkasanya hancur seketika. Sejak itu Mardiyem jadi asing dengan penampilannya. Jika perban telah dibuka, akankah para penderes masih mengagumi senyumnya? Senyum yang katanya yang termanis di Desa Rungkang.
***
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.