Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*
Judul film : Shattered Glass
Sutradara : Billy Ray
Penulis : Buzz Bissinger, Billy Ray
Bahasa : Bahasa Inggris
Durasi : 94 Menit
Tanggal Rilis : 26 November 2003
Film Shattered Glass berasal dari kisah nyata tentang Stephen Glass, seorang jurnalis dari salah satu majalah terkenal New York, The New Republic. Kariernya yang semula bersinar terang, meredup seketika tatkala dia dikabarkan menulis berita hoaks. Bukan fakta yang ditulis, tapi fiksi belaka.
Kebusukan Stephen mulai terbongkar ketika artikel “Hack Heaven” terbit. Mengetahui artikel tersebut, editor majalah online The Forbes Digital kesal karena wartawannya tidak bisa mengangkat kasus serupa, sedangkan medianya konsen pada pemberitaan terkait hal digital. Salah satu jurnalis The Forbes pun penasaran, lalu menelisik artikel itu.
Berdasarkan analisis jurnalis The Forbes, tulisan Stephen adalah artikel yang mengada-ada. Adam Penenberg ialah jurnalis The Forbes yang menemukan kejanggalan tersebut. Dengan bantuan Andy Fox–teman sekantornya, dia mengecek ulang semua “fakta” dalam artikel. Ternyata benar, data yang tertulis tidak bisa dibuktikan kesahihannya.
Adam lalu memberitahukan kejanggalan itu kepada editornya. Dengan semangat, sang editor memerintahkan Adam untuk menindaklanjuti artikel itu. Singkat cerita, Adam dan editornya berbicara dengan Stephen dan editor The New Republic. Perbincangan dilakukan melalui telepon dari ruang redaksi masing-masing. Jurnalis The Forbes pun memulai pembicaraan dengan berbagai pertanyaan. Tatkala menjawab pertanyaan, terlihat gelagat aneh dari Stephen, jawabannya tidak meyakinkan, berbelit, dan sering memutar pembicaraan. Hal itu semakin menguatkan indikasi artikel Stephen tidak faktual. Melihat situasi tersebut, Chuck Lane–editor baru The New Republic–menelepon balik editor The Forbes, berharap agar permasalahan ini tidak disebarluaskan. Akan tetapi, editor The Forbes kukuh dan tetap akan menindaklanjuti artikel “Hack Heaven”.
Mendengar kabar tidak menyenangkan, Chuck lantas memaksa Stephen untuk membuktikan kebenaran tulisan kepadanya. Alhasil, ketika Chuck menanyakan semua fakta yang ada di dalam tulisan, semuanya palsu. Stephen mengarang cerita, bahkan sampai menjadikan saudaranya sendiri sebagai pengisi pesan suara pada saluran telepon, berlagak sebagai pemimpin perusahaan perangkat lunak Jukt Micronics, sebuah perusahaan fiktif bikinan Stephen. Jukt Micronics digambarkan sebagai perusahaan perangkat lunak besar yang dibobol oleh hacker bernama Ian Restil–peretas usia remaja–dalam artikel “Hack Heaven”.
Kasus yang terjadi pada majalah besar The New Republic ini benar-benar memalukan. Bagaimana bisa berita fiksi yang ditulis Stephen Glass sampai terbit? Bahkan, dia telah menulis 41 artikel dan 27 diantaranya ternyata merupakan karangan sendiri (baca: fiksi). Begitu banyak berita rekayasa yang sudah terlanjur terbit. Hal tersebutlah yang memprakarsai Chuck Lane untuk menulis permohonan maaf kepada pembaca yang kemudian ditandatangani oleh para wartawan The New Republic lainnya. Stephen pun dipecat oleh Chuck.
Saya heran, bagaimana bisa sebuah media profesional sampai kecolongan menerbitkan berita fiksi. Apakah waktu itu mereka tidak sempat melakukan disiplin verifikasi sebelum menerbitkan berita? Atau mereka terlalu percaya kepada Stephen Glass, sampai-sampai mengabaikan sikap skeptis yang harusnya diteguhi oleh wartawan?
Michael Kelly, editor lama The New Republic, sangatlah konyol. Ia selalu berusaha membela penulisnya, apapun keadaan dan permasalahannya. Ini pembelaan yang buta, menurut saya, pembelaan yang tidak beralasan. Dia membela bukan karena profesionalitas pekerjaan, melainkan hanya untuk menjaga perasaan penulis. Teman-teman Stephen juga bertindak serupa, sama alotnya dalam membela Stephen. Bahkan, salah satu jurnalis The New Republic mengancam untuk mengundurkan diri sebagai pernyataan sikap pembelaannya terhadap Stephen Glass. Sangat disayangkan, hal itu terjadi pada majalah yang terkenal selalu mengkritik kebijakan pemerintah.
Kekonyolan yang sempurna terjadi ketika semua rekan kerja termakan oleh tipu muslihat Stephen Glass. Semua temannya terkesan selalu berada di pihaknya. Ironis, mereka seorang jurnalis, tapi tidak menggunakan sikap skeptis dan disiplin verifikasi. Jurnalis-jurnalis The New Republic ini tidak bisa skeptis dengan teman sendiri, mereka merasa Stephen sangat baik dan menyenangkan sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dilarang dalam dunia jurnalistik. Benar-benar aneh menurut saya, editor dan teman kerja hanya membela secara subjektif, tidak objektif.
Meski akhirnya, Michael pun meragukan tulisan Stephen. Pada suatu kesempatan mereka saling bertemu dan bercakap. Michael bertanya kepada Stephen, “Apakah kau pernah menulis berita bohong ketika aku menjadi bosmu?” Stephen terdiam dan tidak menjawab. Teman jurnalis Stephen juga mulai terkikis kepercayaannya ketika Chuck Lane memperlihatkan sebuah kenyataan pahit bahwa ternyata bukan hanya artikel “Hack Heaven” saja yang dia karang. Itu membuat semua rekan jurnalisnya tersadar dan menandatangani surat permohonan maaf kepada pembaca yang diajukan oleh editor baru The New Republic, Chuck Lane.
Sosok Stephen Glass sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang jurnalis yang harusnya berpaku pada kebenaran. Dia justru sengaja membohongi pembaca melalui cerita fiksi. Itu dilakukan agar kariernya dalam dunia jurnalistik terus terdongkrak. Sama sekali tak terlihat adanya loyalitas Stephen kepada masyarakat. Tulisan berita yang dia buat, boro-boro untuk kemaslahatan umat, mencerdaskan masyarakat saja tidak.
Para pembaca akan mencari alternatif pilihan sebagai sumber informasi ketika kepercayaan terhadap media cetak terkikis. Salah satu pilihannya adalah jurnalisme internet. Dengan keunggulan biaya akses lebih murah, lebih cepat, dan dianggap lebih faktual beritanya, membuat jurnalisme internet mulai digandrungi masyarakat. Meski tidak sepenuhnya beralih ke jurnalisme internet, setidaknya, karena kasus Stephen Glass lah jurnalisme internet mulai terangkat. The Forbes Digital ialah perintis pengenalan jurnalisme internet kepada khalayak yang dampaknya sampai sekarang kita nikmati dan rasakan. Berita daring berkembang pesat. Bahkan, kini banyak yang menganggap bahwa media daring adalah penggusur media cetak.
Saya sempat membaca tulisan Andreas Harsono yang bertajuk “Kebebasan Pers” di blognya. Andreas menulis, “Karena salah satu kerja media adalah memantau kekuasaan. Kekuasaan di sini bisa berarti pemerintah, pers, tentara, agama, dan sebagainya. Akan tetapi, terhadap sesama media, tidak pernah dipantau dengan standar yang sama.” Setiap media harus melakukan fungsi saling pantau. Hal inilah yang sudah dilakukan The Forbes, budaya saling kritik antarmedia.

Budaya kritik yang saya maksudkan di sini adalah budaya kritik ke luar dan ke dalam. Budaya kritik ke luar adalah kebiasaan kritik antarmedia, sedangkan budaya kritik ke dalam adalah kritikan atau tindakan klarifikasi terkait pemberitaannya sendiri, jika ada yang salah. Sayangnya, budaya kritik belum sepenuhnya terbangun dalam dunia permediaan di Indonesia. Keadaan ini berbanding terbalik dengan media luar seperti di Amerika Serikat. Di sana, budaya saling kritik antarmedia sudah terbangun. Bahkan, sebuah media bisa saja dikritik oleh media lain ketika menerbitkan berita yang salah. Dengan cepat, media yang dikabarkan menulis berita salah itu akan mengklarifikasi dan atau menyatakan permohonan maaf kepada pembaca.
Andreas menceritakan, “Bahkan, BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber bunuh diri. Itu diberitakan oleh BBC sendiri.” Kebiasaan ini belum terbangun pada media massa di Indonesia. Mereka berani mengkritik pemerintah, tetapi lemah untuk mengklarifikasi pemberitaannya sendiri, bahkan jarang sekali mau memberitakan kebobrokan medianya sendiri. Masih jarang kita jumpai antarmedia saling mengkritik, apalagi mengkritik pemberitaannya sendiri. Padahal, langkah ini bisa meningkatkan kredibilitas media di mata pembaca.
Film Shattered Glass akan membuat penonton geram dengan ulah Stephen. Dia memberikan fiksi demi fiksi kepada The New Republic, lalu majalah itu mencetak semuanya seolah-olah sebagai fakta, benar-benar menyesatkan masyarakat. Penonton tidak akan bosan, malah akan kesal menyaksikan betapa hebatnya ia berkelit dalam mempertahankan kebohongan. Namun, saya takjub dengan Chuck, ia tegas pada setiap jengkal kesalahan, juga masih teguh menerapkan disiplin verifikasi. Dia selalu skeptis serta tidak mudah percaya begitu saja dengan retorika Stephen yang membius banyak orang. Chuck juga selalu mempertanyakan keaslian data yang dituliskan oleh Stephen sebagai wujud dari sikap skeptis serta disiplin verifikasi.
Film ini sangat menarik untuk ditonton dan dicermati, terlebih bagi penonton yang memiliki ketertarikan akan dunia jurnalistik, juga masyarakat luas selaku konsumen media agar lebih melek akan khazanah permediaan. Masyarakat juga dituntut untuk cerdas, skeptis, serta teliti pada setiap pemberitaan yang dibaca. Meski film ini termasuk lawas, konten dan pesan yang disampaikan masih relevan dengan keadaan dewasa ini. Billy Ray pun sangat pintar dalam mengambil komposisi pemain sehingga peran-peran dimainkan dengan apik.
Film ini mengajarkan kunci seorang jurnalis, yaitu memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip jurnalisme. Hal itu akan membantu Anda dalam pekerjaan jurnalistik. Juga, akan menghindarkan kita dari penyelewengan profesi wartawan. Jadilah jurnalis yang jujur!
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015.
Editor: Emerald Magma Audha
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017 pada Rubrik Resensi Film.