
Oleh: Ari Mai Masturoh*
Sambut kalbu lembut angin petang menghadang
Menghantam peluh penat sepanjang terang
Mengais indah panorama selayang pandang
Seruput secangkir serbuk hitam berkawin toya hangat.
Menepis dingin berlari mengejar,
mendekat.
Beradu, mengadu, memandu candraMu.
“Kirana?” sambutmu lugu penuh ragu,
Malu.
Sayang, kirana tetap semu
Sendu asa di balik keruh kirana candra
Terpendar panorama si ibu jingga
Beradu, mengadu, memandu candraMu
Di balik tipis awan putih di atas hitam
Sembunyi
Malu
Kunang berkedip, kau tertawa pelit
Kunang menggoda, kau menggundah
Masih, menunggu kirana candra
Berhenti peduli pada si ibu jingga
Si ibu jingga pulang ke pelataran
Diiring mega mengudara, lenyap selanjutnya
Habis secangkir serbuk hitam berkawin toya hangat
Berganti selongsong kain penuh hangat
Menepis dingin berlari mengejar,
mendekat
Tutup kelopak mata,
membuka indah panorama
selayang pandang dalam petang.
Berhenti peduli pada kirana candra
Si ibu jingga kembali dari pelataran
Menghantar peluh penat sepanjang terang
Mengais indah panorama selayang pandang
Dalam terang
*Penulis masih menjadi mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman dan menjadi Redaktur Pelaksana Online LPM Sketsa.