Oleh: Ari Mai Masturoh
Renyah riuh tawa segerombol anak muda
Bersenjata dawai bernada hingga beraroma
Berserah, pasrah
Menjemput asa tebungkus ruang angkasa
memagutkan diri, mencari jati diri
Meski hanya duri yang didapati
Tapi, tawa tak mungkin rela berhenti
Tanah mengintip, tak lupa merintih
Mencoba memadu kasih dengan kerikil mungil
Menahan aspal panas yang menindih
Menopang bangun ruang yang semakin meninggi
Air pun tak mampu menahan diri berganti komposisi
Hingga malu menyajikan diri pada akar pohon untuk mempercantik diri
Agar batang dan daun berselimut cahaya lampu mampu memikat hati
Dan orang-orang tak segan mengabadikan diri dengannya
melalui bidikan fotografi
Di seberang muka tampak ibu bertenaga mencoba bermain
Bermodal jarik dan nyala lilin
Beradu dengan angin yang kadang panas,
namun kadang pula dingin
Ditemani penjual nasi yang menunggu pembeli
Sambil sesekali melirik ulah para penjual daging mendekap tas jinjing
Menggeliat seperti kepingin kencing
Tak lupa gincu menempel pada bibir,
pikirnya agar lebih memikat hati mungkin
Saling bersaing
Belum lagi para pejuang pengejar tali
yang dipindah dari kanan ke kiri
Yang hasilnya entah untuk apa nanti
Boleh jadi untuk bungkus nasi
Boleh jadi pula untuk membangun negeri,
Atau hanya untuk mempertebal dompet sendiri
Agar bangun ruangnya semakin meninggi lagi
Atau agar namanya semakin semerbak,
tertiup angin dan terbang meninggi
Dari ketinggian bulan mengawasi
Menonton opera mini
Kali ini tokohnya orang-orang berdasi
Memainkan kartu remi
Sambil menenggak secangkir kopi
Menunggu mana dulu yang mati
Yogyakarta-Purwokerto, 21 Maret 2016.
Catatan Redaksi: Tulisan ini pernah dimuat di BU tanggal 4 April 2016. Namun beberapa waktu lalu BU pernah terserang badware, mengakibatkan beberapa tulisan yang telah terbit pun hilang. Oleh karena itu, tulisan ini dimuat ulang agar bisa terbaca oleh Anda yang terhubung ke internet.