[OPINI] Elegi untuk Sahabat Inspiratif

Elegi Ilustrasi: Supriono/Sucipto
Elegi Ilustrasi: Supriono/Sucipto

Oleh : Supriono*

Pepatah terkenal mengatakan atau tak ada manusia yang sempurna. Hal tersebut pun dibenarkan di dalam lingkup agama. Raja Dangdut Indonesia Roma Irama pun membenarkan hal tersebut dalam lagu “Kehilangan Tongkat” miliknya. Namun, hal demikian juga bukan berarti dapat selalu dilegitimasi dan dibenarkan jika kesalahan terlanjur berulang untuk kesekian kalinya. Berikut penggalan lirik dari lagu Bang Haji:

Tak seorang pun dalam dunia yang tak pernah berdosa

Karena sudah kodrat manusia

Tempatnya salah dan lupa

(tapi kalau selalu salah) itu sih bukan lupa

(tapi kalau selalu lupa) itulah disengaja

Lirik tersebut seolah sesuai dengan keadaan akhir-akhir ini di lingkungan almamater pendidikan sang Panglima Besar. Birokrat mahasiswa, dalam hal ini badan eksekutif, seolah hanya menjalankan tongkat, tongkat estafet dari birokrat yang telah mangkat. Tiap tahun mbaranggawe maupun hanya menjadi seremonial dan bersifat prosedural. Mandat dilakukan secara taat sepakat. Namun hal tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, guna tercapainya WCCU (World Class Civic University) perlu diimbangi adanya peningkatan taraf kualitas dalam setiap mbaranggawe maupun perlon.

George Santayana, seorang filsuf Spanyol, “Those who fail to learn the lessons of history are droomed to repeat them.” Di lingkungan civitas academica, apa yang beliau katakan bisa saja dan mungkin saja telah terjadi. Pemira yang diadakan setiap tahun, harusnya tak hanya sebagai simbol demokratisasi, namun diharapkan dengan adanya penyegaran tersebut berdampak terhadap peningkatan kualiatas pelayanan sebagai manifestasi atas sumpah suci di bawah himpun Kalam Ilahi. Namun tidak-atau mungkin belum-terjadi.

Sedikit kritik tanpa maksud mencekik, silakan ditampik namun semua bermaksud apik. Dalam beberapa perhelatan terakhir baik yang menjadi hajatan maupun sebatas berkaitan dengan BEM Sahabat Inspiratif perlu diperhatikan

Pertama, Selasa 17 Juni 2014. Semrawutnya dalam registrasi fisik jalur SNMPTN baik kelompok studi. Hari mungkin akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi sebagian Maba 2014. Pada hari tersebut layaknya gambaran sebuah terminal dimana para calo saling jinjing dengan suara melengking nyaring, mencari penumpang. Stand-stand dari pihak panitia Ospek fakultas, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), dan organisasi sosial eksternal, berdiri tak sesuai proporsi. Selain itu seusai registrasi fisik Maba begitu kebingungan. Mereka dihadang puluhan bahkan ratusan orang bersuara lantang.  Para mahasiswa utusan dari fakultas, Hima, Ormas, paguyuban hanya perwakilan bukan gerombolan. Hal tersebut begitu menganggu kenyamanan, menganggu laju kendaraan para handai tolan. Seharusnya ada koordinasi yang lebih baik.

Memang tampak ada perubahan yang lebih baik pada registrasi fisik jalur SBMPTN, tapi ungkapan Anggota DPR Adian Napitupu pantas diacuhkan ”Kita boleh saja memaafkan, namun semua yang terjadi tidak boleh dilupakan,” ungkapnya saat mengarahkan ingatan kita kepada kisah darah rezim Soeharto. Sama seperti saya yang juga tidak akan lupa terhadap permasalahan di atas.

Senin 25 Agustus 2014. Mencoba menilik lirik hari tersebut nampaknya tak ada yang tematik apalagi masalah yang pelik bila dibiarkan bisa jadi polemik. Hari tersebut merupakan hari pengenalan unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang tersedia di Unsoed, hari di Soedirman Students Summit dari BEM-U mengenalkan UKM-UKM kepada lebih dari empat ribu Maba. Setelah dikulik dan ditelisik muncul adanya ukm abuse, mungkin hal tersebut dampak dari tidak adanya persamaan dalam penerimaan materi yang diterangkan BEM-U.

UKM endemik memakai sarana listrik seenaknya tanpa memikirkan pelajaran sekolah dasar dari kurikulum lama mengenai sikap tenggang rasa. Ada juga UKM yang tak amanah tak mengindahkan pokok-pokok ukhuwah, tak mengikuti ulil amri, mendirikan stand seenaknya sendiri, lupa akan denah yang telah dimufakati. Lain lagi dengan UKM nakal yang tak patuh akan konstitusi temporer sudah dijelaskan dalam technical meeting diharamkan menyebar formulir namun faktanya tetap saja bergulir. Anehnya, tak terdengar sindir mencibir nyinyir dari BEM. Panitia terlalu sibuk, terlalu dihegemoni, sampai tak peduli akan produk Tatib yang mereka kreasikan. Komdis terlalu sibuk memasang wajah cemberut kusut guna merubah perasaan para Maba menjadi takut sampai-sampai tak melihat kejanggalan yang konkret.

Rabu 3 September 2014. Tepat di sebelah selatan pintu gerbang Kampus Ilmu Budaya seorang petugas berwajah sangar berbadan kekar, dengan terampil meringkus, memberangus sebuah banner bak pak tani yang membabat semak belukar. Petugas dari Satpol PP tersebut sedang menertibkan banner yang tidak sesuai peraturan. Nampak sebuah fakta klise namun penuh akan makna.

Sebuah hal yang kentara, usut diusut beberapa banner tersebut merupakan sebuah media promosi event yang sedang digelar yakni “Islamic Book Fair Purwokerto” yang ketiga kali.

Tentunya akan sangat memalukan bila dicermati dan diinterpretasi dalam banner tersebut logo BEM-U berjejer rapi dengan logo pranata-pranata yang lainnya di sana. Lalu, yang patut dipertanyakan selanjutnya ialah: “Mengapa media promosi tersebut diturunkan paksa dan ditidurkan bersama dalam mobil pick up hijau tua, apa yang salah? Apakah mereka lupa mengenai pemasangan media iklan yang proporsioanal atau lupa akan aturan fiskal dimana banner merupakan salah satu objek wajib pajak yang diatur dalam PERDA Kabupaten Banyumas no 1 tahun 2011?

Keempat, Sabtu 6 September 2014. BEM-U kembali mbaranggawe dengan diadakannya open house yang bertujuan mengenalkan lebih dalam mengenai UKM yang ada di Unsoed. Kemarin PKM nampak ramai, ramai oleh segenap panitia dan sejumlah pengurus UKM sebagai penggembira. Akan tetapi, jumlah Maba yang datang tak begitu signifikan. Memang panitia tak mubah disalahkan urusan Maba datang atau tidak, hal tersebut  kembali ke diri Maba masing-masing. Nampak dari kejauhan mahasiswi baru lengkap dengan gincu disertai mimik memburu. Hari itu beberapa Maba hanya duduk kebingungan di Pendopo PKM. Mereka menunggu escort yang tak kunjung datang, guna mendampingi mereka berkunjung ke UKM yang mereka kehendaki. Lalu, Maba – yang menjadi tanggung jawab panitia dalam mbaranggawe tersebut, ditelantarkan. Sementara, segelintir escort menghilang lepas tangan

Seyogyanya memang dari awal Capres dan Cawapres BEM mampu menerima hasil pencblosan dari dalam bilik dan setelah terpilih diharapkan mampu menerapkan amanat menjadi nyata tak hanya pandai dalam berujar retorika di depan publik. BEM merupakan organisasi besar dan berkader banyak, dalam perekrutan kader diharapkan memilih kader yang bertanggung jawab, berkomitmen, dan dispilin. Bagaiamanapun proses penerimaan mahasiswa baru merupakan sesuatu yang sakral, rangkaian acara pantasnya benar secara prosedural, lancar secara seremonial, dan baik secara substansial. Saya sepakat dengan tokoh drama Irlandia, George Bernard Shaw, saat beliau berujar, “If history repeats itself, and the unexpected always happens, how incapable must man be of learning from experience.”

Larikan ode yang tak kritis apalagi teoritis, muncul secara praktis. Terima kasih telah menjadi inspirasi dalam menulis opini ini, tak mengurangi heroik epik patriotik tetap simpatik tabik. Saya sangat prihatin atas nasib BEM Unsoed jika tidak ada yang menegur, atau mungkin belum. Harus segera berbenah mengingat ada yang mengawasi, agar tak muncul lagi elegi-elegi di kemudian hari. Jika dalam mengelola hal yang prosedural saja tidak mampu, bagaimana bisa BEM bisa menjalankan program kerja utama seperti menampung, memroses, dan menyelesaikan permasalahan belasan ribu mahasiswa Unsoed?

*Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris 2013, reporter LPM Sketsa.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *