Siapa Oposisi 2014-2019?

koalisi-oposisi. Ilustrasi: Sucipto
koalisi-oposisi. Ilustrasi: Sucipto

Oleh: Nurhidayat*

Negara demokrasi sistem multipartai seperti Indonesia ditandai dengan adanya koalisi-oposisi. Yin dan yang inilah yang diharapkan menjadi pemutus kebijakan yang ideal bagi negara. Namun, melihat perkembangan partai  politik yang inkonsisten dalam memilih “regu” dalam pilpres kali ini, masyarakat cenderung melihat citra personal Capres-cawapres ketimbang partai pengusungnya.

Menjelang terpilihnya presiden baru, banyak partai politik tengah (baca: tidak mengajukan capres) yang dicap bermuka dua. Dealisme partai bukan lagi kepentingan utama, yang diminati hanyalah tawar-menawar kursi menteri. Padahal, jauh sebelum demokrasi indonesia sedemikian majunya, Carl J. Friedrich sudah mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya. Yang disorot dari teori Friedrich adalah merebut atau mempertahankan penguasaan. Hal itu bisa disederhanakan sebagai oposisi (merebut) atau koalisi penguasa (mempertahankan), bukan sekedar mencari aman dan mengikuti mayoritas. Harus ada oposisi sejati. Sesuatu hal yang sulit ditebak siapa pelakunya dalam DPR setelah 22 Juli nanti.

Sebagai contoh, Partai Golongan Karya pun dianggap memiliki potensi untuk hengkang dari koalisi merah putih. Padahal koalisi Koalisi Merah Putih sudah berikrar bersatu membentuk koalisi permanen. Suatu hal yang sangat pragmatis sekali, ideologi-ideologi partai politik sudah dimaktubkan dalam secarik kertas perjanjian. Bahkan, ada yang menilai ikrar kesepahaman semacam ini dilakukan untuk mencegah Golkar hengkang ke koalisi sebelah, jika nanti Jokowi kemudian resmi terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019

Terlebih, partai-partai beraroma agama tidak ada yang mencalonkan presiden, bisa jadi partai agama dengan prinsip bermiripan justru berseberangan jalan. Bukan suatu hal yang tabu lagi jika hari ini seolah mau bergabung dengan kubu tertentu, namun esok hari menjadi koalisi kubu lainnya. Jika sebelum pilpres saja banyak kejadian semacam itu, apalagi besok jika presiden baru sudah terpilih, pasti hiruk pikuk koalisi-oposisi akan menjadi hal dinantikan pemerhati politik.

Sebagian masyarakat memilih parpol berdasarkan platform. Hal itu juga sering diungkapkan sebagai alasan untuk koalisi partai. Bagi saya sebagai pemilih, platform harusnya sebagai ruh dari sebuah partai, tidak bisa ditawar. Tidak ada alasan yang sanggup membenarkan para pimpinan partai yang menilai partainya sama dengan parpol lain sekedar untuk menarik perhatian masyarakat pra-Pemilu. Esensinya tidak jelas dan terkesan ikut-ikutan

Pasca-Pemilu nanti, politisi harus mempunyai prinsip layaknya platform yang diyakini partainya. Partai-partai tengah harus komitmen dengan ideologinya, bukan hanya memikirkan kursi politik. Jangan sampai oposisi hanya tersusun atas satu partai yang mempunyai sentimen negatif terhadap partai penguasa. Jadi, nantinya bukan hanya PDIP melawan Gerindra, namun partai oposisi melawan koalisi pemenang Pemilu, bagaimanapun susunannya.

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM Sketsa, Mahasiswa Peternakan 2012

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *