
Oleh: Zaki Zulfian

Identitas Buku
Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Tahun : 2023
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman : 474 Halaman
Sinopsis
Apakah kalian pernah membaca atau melihat atau mendengar tentang eksil politik? Jika tidak, buku Pulang ini rasanya cocok untuk kalian yang ingin mengetahui eksil politik tahun 65.
Sudah bukan rahasia lagi kalau Leila S. Chudori terkenal dengan karyanya yang membahas tentang sejarah politik di Indonesia. Salah satu karyanya yang terkenal membahas tentang sejarah politik Indonesia adalah Pulang. Pulang adalah novel pertama yang ditulis Leila S. Chudori pada tahun 2012. Novel ini pernah meraih penghargaan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari 75 Notable Translation of 2016 oleh World Literaturre Today.
Pulang menceritakan tentang empat pilar: Dimas, Nugroho, Risjaf, Tjai, yang terjebak tidak bisa pulang di negara lain. Tidak bisa pulangnya mereka ke tanah air bukan tanpa sebab, VISA mereka dicabut oleh pemerintah lantaran mereka diindikasikan memiliki hubungan dengan komunis. Memang, pada saat itu situasi politik di Indonesia sedang memanas karena adanya Gerakan 30 September yang diduga didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pemerintah pada waktu itu bersikap represif terhadap siapa pun yang memiliki hubungan dengan PKI.
Mereka berempat bekerja di Kantor Berita Nusantara. Redaktur Luar Negeri Kantor Berita Nusantara, Mas Hananto dan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Nusantara memang diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan PKI. Mas Hananto beberapa kali melakukan korespondensi ke Peking, terkenal dengan komunis. Hal inilah yang menyebabkan Kantor Berita Nusantara dicap memiliki hubungan dengan komunis dan menjadi target buruan pemerintah orde baru. Namun, yang menjadi target tidak hanya Pemimpin Redaksi dan Mas Hananto saja, tetapi semua karyawan Kantor Berita Nusantara tak luput menjadi target, termasuk Dimas. Dimas dapat dikatakan seseorang yang netral. Artinya ia tidak memihak pihak kiri-komunis, tidak juga pihak kanan-membela pemerintah.
Sebab atau alasan mereka ke luar negeri adalah sebagian besar karena urusan kantor. Misalnya, Dimas, Mas Nug, dan Risjaf yang mendapat tugas dari kantor untuk pergi ke luar negeri. Beberapa hari sebelum G30S/PKI, Dimas mendapat undangan ke Santiago dari Mas Hananto. Ia diminta untuk menggantikan Mas Hananto pada acara konferensi IOJ (International Organization of Journalists). Ia pergi bersama Mas Nug ke Santiago. Risjaf diamanati oleh Kantor Berita Nusantara untuk menghadiri Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Peking. Sementara Tjai, ia baru pergi ke luar negeri pasca-G30S/PKI. Tjai merupakan keturunan Tionghoa, ia merasa terancam setelah tragedi keji tersebut terjadi. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah pamannya, di Singapura.
Mereka berempat berkumpul di Paris. Demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka mencoba berbagai macam pekerjaan, mulai dari pegawai kantor pertanian, tukang bekam, dan sebagainya. Hingga akhirnya mereka menemukan ide untuk mendirikan restoran dengan memanfaatkan keahlian memasak yang dimiliki Dimas. Restoran mereka diberi nama Restoran Tanah Air. Restoran ini menyajikan menu makanan khas Indonesia. Pada akhrinya restoran ini mampu menghidupi mereka berempat, bahkan membantu mahasiswa Indonesia yang kuliah di Paris dengan memberikan pekerjaan kepada mereka.
Di Paris, Dimas menemukan jodohnya, Vivienne. Vivienne merupakan mantan aktivis Universitas Sorbonne, yang jatuh hati kepada Dimas pada pandangan pertama. Pernikahan mereka, dikaruniai seorang anak perempuan, bernama Lintang Utara. Memiliki ayah yang dicap sebagai komunis oleh negaranya menjadi tantangan sendiri bagi Lintang. Ia pernah sekali diajak kekasihnya, Narayana untuk menghadiri perjamuan Duta Besar Indonesia di Paris. Di sana, ia mengalami tindakan yang kurang mengenakan. Orang-orang mulai menjauh, ketika ia menyebutkan nama Suryo di belakang namanya. Ia juga mendengar istilah ‘Bersih Diri’ dan ‘Bersih Lingkungan’ yang artinya harus menjauhi diri dari siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan PKI. Hal demikian tidak terjadi pada Lintang saja, tetapi terjadi pada anak Mas Hananto dan Mas Nug.
Restoran Tanah Air tak luput juga dari tekanan dari pemerintah. Beberapa kali restoran mereka didatangi oleh kepolisian yang menanyakan tentang keberadaan PKI. Walau pada akhirnya mereka, para polisi, menikmati juga menu restoran tanah air.
Puluhan tahun hidup di negeri asing tentu menjadi hal berat yang ditanggung oleh mereka berempat. Mereka terpaksa tidak bisa pulang ke tanah air lantaran identitas mereka yang tidak jelas. Mereka hanya bisa pulang jika kebijakan tentang hal ini dihapus. Dan kebijakan ini hanya bisa dihapus saat pemerintah otoriter orde baru tumbang.
Kejahatan HAM Orde Baru
Dalam bab Narayana Lafebvre di dalamnya diceritakan beberapa hal yang dapat dikategorikan dalam kejahatan ham. Salah satunya adalah istilah “Bersih Diri dan Bersih Lingkungan”. Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang dianggap memiliki hubungan dengan Gerakan 30 September 65 ataupun seseorang yang dicap komunis oleh negara. Kebijakan ini tidak hanya berlaku kepada seseorang yang diduga terlibat Gerakan 30 September 65 maupun dicap komunis, tetapi juga menyeret kepada anak keturunan orang tersebut. Ini merupakan sesuatu kejahatan, karena meskipun orang tua/kakek-nenek mereka merupakan komunis, mereka tidak berhak dicap sebagai komunis juga. Sebab ideologi tidak diwariskan melalui keturunan. Tidak hanya itu, dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka yang diduga komunis dan terlibat Gerakan 30 September, juga diberi tanda ET (Eks Tapol). Ini juga termasuk dalam kejahatan HAM. Pasalnya mereka yang di KTP-nya terdapat label ET akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan orang-orang akan memberikan jarak dengan mereka. Hal ini tentu bertentangan dengan UUD 45 di mana setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak.
POV Berbeda-beda
Secara umum novel ini bercerita tentang dua generasi yang berbeda—Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara—yang tentunya sudut pandangnya berbeda pula. Namun, perbedaan sudut pandang tidak hanya sebatas di dua tokoh tersebut. Hampir semua tokoh dalam novel ini dikisahkan berdasarkan sudut pandang mereka. Misalnya, Vivienne, Narayana, Bimo, dan Alam, mereka dikisahkan berdasarkan sudut pandang tokoh masing-masing. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi novel ini, sebab pembaca akan disuguhkan dengan sudut pandang tokoh yang berbeda-beda dalam setiap babnya. Selain itu, ciri khas yang demikian menjadikan penggambaran karakter tokoh yang lebih detail.
Mengandung Bahasa Asing
Sebagian kisah dalam novel ini berlatar tempat di negara Perancis. Hal tersebut menjadikan buku ini di dalamnya banyak disisipi istilah-istilah bahasa Perancis, seperti bonjour, monsieur, dan sebagainya. Meskipun pada istilah-istilah tersebut diberi footnote terjemahan dalam bahasa Indonesia, tetapi pemberian footnote tersebut tidak ada pada setiap istilah asing dalam novel. Hal ini menjadikan pembaca kesulitan dalam memahami istilah asing tersebut.
Buku ini cukup menarik untuk dibaca, terutama bagi kalian yang suka membaca novel sejarah. Penggunaan gaya bahasa yang jelas dan lugas menjadikan novel ini enak dibaca. Banyaknya penggunaan bahasa asing dan alur yang bervariasi pada novel ini saya kira akan sedikit menjadi tantangan, khususnya bagi pembaca pemula.
Editor: Nadia Amalia Wibowo