
Oleh: Widyana Rahayu

Ilustrasi: Widyana Rahayu
Lagi, sebuah kapal nyaris tenggelam. Dalam seminggu ini, dua kapal dagang dari kota lain yang berniat singgah telah menjadi korban. Sebagian orang bergosip, membicarakan bahwa tenggelamnya kapal akibat kutukan bak mitologi zaman kuno—kemarahan Pemilik perbatasan pantai. Tidak begitu jauh dari dermaga, puing-puing kapal yang hancur akibat tabrakan dengan batuan tajam terseret ombak, terdampar di hadapan Malik. Gadis itu berdiri diam, matanya hanya melirik bongkahan kayu berbentuk persegi panjang yang berserakan. Kayu itu tampak kokoh di luar, tetapi di dalamnya terdapat rongga-rongga kecil berbentuk lingkaran memanjang.
Dari kejauhan, rombongan awak kapal berjalan mendekat sambil memanggul beberapa gentong yang seharusnya diantarkan ke distributor. Gentong-gentong itu, yang dulunya berisi minuman beralkohol hasil fermentasi beras dan nira, kini sudah ternodai. Air asin dan butiran pasir telah mencemari isinya, menjadikannya tak lagi berharga. Kain tenun basah yang menggantung di tangan para awak kapal juga telah kehilangan nilai dan harapan untuk dijual di pasar.
Suasana pesisir tak begitu berubah, para pengunjung sibuk bernegosiasi di antara deretan kios dan gerobak penjual makanan. Tersaji aneka hidangan laut yang memanjakan lidah, seperti sebuah gerobak nasi cumi hitam yang diserbu antrean panjang pengunjung. Sementara itu, Malik sibuk dengan dunianya sendiri—memainkan kakinya di air laut yang bening hingga menciptakan riak kecil. Ketika menarik katang-katang, ia tersenyum tipis memandang siput laut berwarna putih. Tak jauh dari tempatnya berdiri, bintang laut dengan warna-warna cerah ikut muncul ketika air laut sedang surut.
Malik berdeham kecil kala melihat pria tua yang bolak-balik menawarkan dagangan berupa ikan laut asin—semacam ikan yang diawetkan melalui proses penggaraman. Baunya sangat menyengat, hampir membuatnya muntah.
“Minggir!” Kekesalan mulai merayap di hatinya. Dengan suara serak, Malik membentak pria tua bertopi anyam sembari mengalihkan pandangan ke arahnya. Tampak wajah itu dipenuhi kerutan dengan peluh sebesar biji jagung yang bertengger di dahinya.
Malik menatap sinis. Bau amis semakin menyeruak di hidungnya, menusuk tajam indra penciumannya. Rasanya, setiap helaan napas hanya memperparah rasa mual yang menggelayuti perutnya. Lantas gadis berkulit kecokelatan itu bangkit dan berjalan ke arah kios yang tampak menyedihkan. Beberapa bagian atapnya ditambal sembarangan, menampakkan lubang-lubang kecil yang seolah-olah sedang berusaha menahan air hujan agar tidak masuk ke dalam.
“Habis dari mana? Bukannya bantu-bantu di kios, malah keluyuran!” tegur wanita paruh baya dengan daster motif bunga-bunga yang tampak kumal, warna cerahnya sudah tampak memudar. Dengan cekatan, ia membolak-balikkan ikan bakar pesanan pelanggan, sambil sesekali mengipas-ngipas dengan kipas bambu untuk mengusir asap yang membubung.
Malik yang masih terjebak dalam lamunannya, tersentak mendengar teguran itu. Ia menoleh ke arah wanita itu. “Maaf, Buk,” jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam riuhnya suasana pantai. Gadis berambut panjang itu hanya tertunduk lesu, memainkan jari-jarinya dengan canggung. Lagi-lagi Malik membenci aroma amis ikan. Menyebalkan. Desisan dari bara api ikan bakar seharusnya menambah kehangatan suasana, tetapi bagi Malik semua suara terasa samar dan menyakitkan.
“Jangan jadi kayak bapakmu itu, bilangnya njaring malah sibuk sama perempuan lain!” Ibunya melontarkan omongan tajam. Nadanya semakin menunjukkan amarah, sebab setiap kata yang keluar dari bibirnya bak peluru yang menembus dinding. Wajahnya juga semakin memerah karena kesal, sementara alisnya berkerut dalam ekspresi campur aduk antara kemarahan dan kecemburuan.
“Makan sana di dalam, setelah itu antar ikan bakar ini ke orang-orang itu,” kata ibunya sembari menunjuk rombongan awak kapal, lalu kembali melumuri ikan bakar dengan bumbu yang aromanya menyebar ke seluruh kios. Malik hanya mengangguk tanpa banyak bicara, lantas mengiyakan. Ia melangkah gontai menuju ruangan sempit di sudut kios. Saat membuka penutup saji, ia mendapati sepiring cacing kapal—makhluk laut yang termasuk dalam keluarga kerang moluska bivalvia dengan genus teredinidae.
Penampilannya memang jauh dari menggugah selera, tubuhnya yang berlendir dan bentuknya yang memanjang menyerupai cacing kecil membuat Malik sedikit bergidik. Rasanya unik seperti memakan oyster atau kerang tiram dengan tekstur lembut dan rasa laut yang khas. Salah satu tanda makhluk laut ini masih dalam keluarga kerang adalah cangkangnya yang berada di mulut—alat kecil yang mampu menghancurkan kayu tempat mereka tinggal. Malik teringat jelas saat pertama kali diperintahkan ayahnya untuk mencicipi hidangan ini. Kala itu, ia menatap cacing-cacing tersebut dengan ragu, lalu memberanikan diri mengambil satu dan memakannya. Rasa amis langsung menyeruak di lidahnya, membuat ia hampir memuntahkannya. Ayahnya hanya tertawa kecil melihat reaksi Malik, lalu memberikan semangkuk saus cocolan pedas untuk mendampingi suapan berikutnya.
Gadis itu termenung, jelas sekali. Jemarinya memutar-mutar hidangan mentah itu dengan garpu, gerakannya pelan, nyaris seperti ritual. Menikmati sensasi tawar bercampur asam karena rendaman cuka dan saus cocolan pedas yang mengguncang indra perasanya. Malik menghela napas, rasa tak nyaman hinggap di dadanya, menekan kencang rongga pernapasannya. Lantas, mendorong piring itu pelan, lalu menutupnya rapat dengan tudung saji bambu. Gadis itu seolah-olah bukan sekadar menutup makanan, tetapi juga perasaan yang menggelora di dalam hatinya. Ia berjalan lunglai menuju wanita paruh baya yang sedang menaruh beberapa hidangan kuliner khas di atas nampan besar.
Malik mengerjap-ngerjap, dari kejauhan matanya menangkap sosok yang familiar. Oh, awak kapal tadi, pikirnya. Ia pun memegang tepian nampan dengan hati-hati.
“Oh! Gadis manis penglaris!” seru seorang pria dengan suara berat—tertawa terpingkal-pingkal sambil memukul-mukul meja kayu dengan heboh. Beberapa lelucon tak senonoh dilemparkan kepadanya. Malik sedikit geram, mengeratkan pegangannya pada sisi nampan.
Warga lokal benar-benar mengetahuinya. Anak perempuan yang kehilangan sosok ayah, yang kehadirannya hanya sebagai penglaris kios. Ada daya tarik yang tak bisa disangkal—kulitnya yang kecokelatan dan rahang tegasnya menjadi magnet bagi pandangan mata yang melintas. Bintik-bintik kecil di pipinya menambah pesona wajahnya, membuatnya terlihat lebih menawan di tengah hiruk-pikuk kehidupan pesisir.
Beberapa awak kapal yang lain ikut terkekeh, sembari meneguk minuman teh panas yang asapnya masih menyembul. Malik meletakkan masing-masing ikan bakar beserta saus kepada mereka secara berurutan dan tergesa-gesa.
“Ah, buru-buru gitu. Terlihat sibuk melayani pelanggan, ya?” ucap pria bertubuh gempal yang duduk di antara para awak kapal. Ia menyemburkan tawa lebih keras, lalu menjentikkan abu ke asbak, mengisap kembali nikotin. Asap rokok mengepul perlahan dari bibirnya, membentuk awan tipis yang melayang-layang.
Malik segera meninggalkan mereka, berlari kecil menuju kios ibunya. Tak sengaja tersandung batu-batu kecil yang tersebar di sepanjang jalan. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dalam sekejap, ia pun terjatuh dan terduduk di atas pasir yang lembut. Lalu, di antara suara ombak dan desiran angin, pandangannya tertuju pada sekumpulan kayu yang sudah disusun rapi di dekatnya. Kayu-kayu itu tampak seperti persiapan untuk membuat api unggun. Dengan rasa penasaran yang menggelitik, Malik mengambil satu batang kayu dari tumpukan tersebut. Ia menggerogoti ujungnya.
“Dasar orang aneh,” celetuk seorang lelaki seumurannya yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Matanya menyipit, menatap geli ke arah Malik.
“Kenapa memangnya? Bukannya kamu juga sudah pernah mencicipi berbagai jenis kayu?” Malik tersenyum tipis.
Lelaki tadi terdiam sejenak, terkejut dengan balasan tak terduga dari Malik. Meski begitu, ia kemudian terkekeh pelan sebelum mulai mendekati Malik.
“Begitu, ya, Malik?” Ia bertanya dengan nada bercanda, lalu menipiskan bibir dengan ekspresi serius tetapi tetap lucu. “Nyonya Malik, maksudku.”
Malik tertawa kecil mendengar sapaan itu. Dalam benaknya, panggilan “Nyonya” terasa konyol. Ia melihat lelaki itu duduk bersila di hadapannya dengan sikap santai, seolah-olah mereka sudah berteman lama.
Malik menyelipkan rambut ke belakang telinganya, mencegah angin yang berhembus kembali mengacaukan anak rambutnya. Kini, ia melepeh kayu yang sudah disesapi olehnya, sengaja. Sebenarnya tak masalah jika ia harus menelan serabut kayu-kayu itu, sebab terdapat bakteri simbiotik yang akan membantunya memecah selulosa dan lignin pada tumbuhan.
“Gading.” Lelaki itu menggantungkan tangannya di udara, berdeham, lalu menyunggingkan bibirnya. Malik terdiam dan hanya menatap tangan lelaki itu tanpa minat.
“Uh, ini baru pertama kalinya aku dicuekin perempuan begini,” keluh lelaki itu yang mengaku bernama Gading. Ia mengerucutkan bibir dan mendecak sebal. Benar-benar tak masuk akal.
Malik lalu berdiri, menepuk-nepuk bokongnya dari pasir yang menempel. “Aku harus ke kios. Duluan.” Sebelum melangkah, ia terdiam sejenak dan menatap Gading. “Sampai jumpa, Tuan Gading sang Rayap.”
Ketika hendak berjalan ke arah kios ibunya, Malik tiba-tiba memuntahkan beberapa cacing kapal dari mulutnya. Rasa mual menyerang perutnya dengan brutal, seperti badai yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia merasakan gelombang panas yang mendadak berubah menjadi dingin yang menusuk—merayap dari ujung jari hingga ke tulang belakangnya. Tubuhnya mendadak lemas, seolah semua energi yang tersisa telah disedot keluar oleh sesuatu yang tak terlihat. Gading yang melihat itu segera bergerak cepat. Tangannya yang hangat langsung mengusap-usap punggung Malik dengan gerakan lembut. Malik merasa ringan—terlalu ringan, seperti tubuhnya telah berubah menjadi balon yang hanya berisi gas nitrogen. Sensasi itu aneh, nyaris tidak nyata, ia merasa kosong seolah-olah daging dan tulangnya telah lenyap, digantikan oleh sesuatu yang mengambil alih tubuhnya.
Setelah keadaan Malik membaik, Gading mengambil napas panjang, mengembuskannya perlahan lalu bergumam, “Begitu, ya, ceritanya.”
Seperti ingin memecahkan beban pikiran yang begitu mengganjal—tangannya bergerak secara refleks lalu mengusap-usap dagu dengan lembut, seolah sedang mencari jawaban.
“Oke! Jadi, kamu nggak sengaja makan kolonimu sendiri?” Gading menaikkan salah satu alisnya.
Malik, yang sedang mengelap bibirnya dengan ujung pakaiannya di bahu—berusaha menghapus sisa-sisa saliva yang masih menempel, kini menampilkan ekspresi bingung. Ia menggelengkan kepala perlahan.
“Ya?” Gadis itu menjawab dengan nada ragu, matanya melirik ke arah Gading sebelum kembali menatap jauh ke depan. Dalam sekejap, ia merasakan kekosongan dalam ingatannya—sebuah momen yang seharusnya jelas dan terukir dalam pikirannya kini terasa samar dan kabur. Ia benar-benar lupa.
“Oh!” Gading mengacungkan jari telunjuknya lalu berkata, “Nggak-nggak.” Menggelengkan kepalanya cepat. “Begini, deh.”
Dengan gerakan yang penuh keyakinan, ia mulai menjelaskan, “Mungkin tubuhmu itu masih menyesuaikan, aku berasumsi bahwa kamu masih dalam masa peralihan.” Usai berucap demikian, Gading memutar-mutar jarinya di udara, menciptakan pola imajiner yang menggambarkan pemikirannya. Ia menggembungkan pipinya sebentar, lalu menatap Malik dengan mata berbinar, berusaha meyakinkan bahwa teorinya benar.
Malik terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Gading menggema dalam benaknya, dan mencoba mengurai makna di balik penjelasannya. Ia menunduk perlahan, memandangi telapak tangannya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Kebingungan, ketakutan, serta rasa ingin tahu bercampur menjadi satu. Telapak tangannya terasa berbeda, seolah-olah bukan lagi bagian dari dirinya sendiri. Ia memutar-mutar pergelangan tangannya, mengamati setiap garis halus yang melintasi kulitnya, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin asing tangan itu terasa. Jari-jarinya bergerak perlahan … dan mengapa terasa sedikit lengket?
“Begitu, Nyonya Malik sang Tembiluk?”
Editor: Nurul Irmah Agustina