Oleh: Ade Ika Cahyani
“Hidup mahasiswa! Hidup!
Hidup korban! Jangan diam!
Jangan diam! Lawan!”
Seruan tersebut menggema di depan patung kuda Panglima Besar Jenderal Soedirman pada Kamis sore (16/5) sejak pukul 16.36 WIB. Sebagai bagian dari gerakan solidaritas, dilakukan Aksi Kamisan dengan mengangkat isu spesifik terkait Tragedi 12-15 Mei 1998, dan fenomena yang belakangan ini sedang hangat dibicarakan mengenai perampasan hak pendidikan. Dua tajuk Aksi Kamisan tersebut merupakan bentuk lebih konkret dari aksi demonstrasi pada 29 April lalu mengenai isu penurunan UKT. Aksi hari ini melibatkan partisipasi 2 lembaga dengan total sekitar 30 orang, yakni dari Aksi Kamisan Purwokerto dan juga Aliansi Soedirman Melawan.
Dalam keputusan terbaru dari instansi kependidikan Universitas Jenderal Soedirman, tuntutan pada 29 April sebelumnya berbuntut pada aturan bahwa penerima UKT golongan satu dan dua harus atas nama Program Keluarga Harapan (PKH). Isu mengenai perampasan hak pendidikan terus digaungkan untuk merepresentasikan masyarakat Banyumas, terkhusus mahasiswa yang terintimidasi oleh penyelewengan kontrol sosial pendidikan. Hal itu dilakukan melalui kegiatan simbolik dengan membentangkan poster-poster dan banner-banner yang berisi kalimat ajakan, serta kalimat persuasif untuk memancing atensi dari masyarakat dan mahasiswa untuk lebih peka terhadap persoalan pendidikan yang masih belum usai. Pemerintah dinilai belum memberikan pengayoman yang seharusnya untuk dunia pendidikan. Bukti-bukti pendidikan mulai berbasis komersial dan liberalisme dipandang sebagai bentuk penindasan yang harus dilawan. Beberapa mahasiswa menyuarakan kekecewaan sekaligus kritikan terhadap standarisasi UKT yang kini dilakukan oleh pihak birokrat. Masalah mengenai biaya pendidikan yang mencekik dan malah membunuh mimpi para mahasiswa tidak sesuai dengan cita-cita negara Indonesia: mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Biaya pendidikan nggak main-main tingginya. Kita masih diintimidasi oleh pihak-pihak instansi. Pemerintah sengaja mengkomersilkan pendidikan kita! Pendidikan diperdagangkan, gelar kelulusan perguruan tinggi dijual mahal,” kata salah satu orator pada gerakan aksi tersebut.
Kampus sebagai Ladang Berbisnis
Kampus dinilai menjadi tempat berbisnis, dan pemerintah belum memberikan kebijakan yang nantinya bisa mengakomodir serta menyelesaikan persoalan tersebut. Berkaitan dengan isu ini, seluruh Aliansi Soedirman Melawan mulai gencar menyampaikan tuntutan agar pihak pemerintah lebih bertanggungjawab dan mengimplementasikan anggaran biaya pendidikan seperti yang sudah ditetapkan, diikuti oleh kalimat kritik bahwa perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier yang hanya untuk kalangan orang-orang dengan kondisi finansial yang tinggi.
Muhammad Hafidz Baihaqi, salah satu orator menyampaikan harapannya agar kegiatan Kamisan ini bisa terus dilakukan baik di Purwokerto maupun seluruh kota-kota besar lain di Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran; bahwa berbagai persoalan hak asasi manusia di masa lalu itu belum terselesaikan. “Karena ini berkaitan dengan teman-teman Aliansi Soedirman Melawan juga yang sampai saat ini memperjuangkan akses pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman. Kita berharap teman-teman semua untuk kembali merapatkan barisan, kembali bergabung di dalam barisan perlawanan kita, untuk kemudian secara konsisten dan konsekuen memperjuangkan isu-isu persoalan dan berbagai tuntutan yang kaitannya dengan pembatasan ke akses pendidikan,” ucap Hafidz pada awak LPM Sketsa setelah aksi dibubarkan pukul 17.26 WIB.
Reporter: Ade Ika Cahyani, Maula Rizky Aprilia, Miqda Al Auzai, Sri Hari Yuni Rianti, Violin Salsabila
Editor: Zahra Nurfitri Laila