Oleh: Nurul Irmah Agustina
Langkahnya mengecap ruai
sahaja terhunjam raksi penuh damai
pada atap usang yang makin mengusang
saksi kebisuan derasnya cucuran—
di lentik yang meradang
Matanya menatap nanar sudut ruang
getarlah arang yang silam menabur sejuta kebengisan
kulasentana tersedu-sedan di sudut
terguyur tetesan langit yang turut,
menangis pilu (tak kunjung surut)
Usang payah rumahku
sungguh, sekadar lesap kaki atas pelataran ini selama panca warsa kurang lebih
semakin reyot, tak layak tuk manusia tinggali
(kala diri termangu)
bayang tiga manusia menyembul
mereka tengah makan nasi liwetan yang terakhir
lalu mengisak usai kuberi senyum getir
Rumah purba pembawa kenangan berbisa meracuni jiwa hingga napas saja rasanya susah tertancap seribu sesal menyesak dada
lantaran angkat kaki dari griya
menyisihkan tangis masam
pada tiga manusia
tubuhku lingsir memandang atap usang yang terpasang
tubuhku merunduk dengan rupa senyum penyesalan
Hanya rumah ini
saksi angkaraku pada kulasentana—
yang amat memberi sejuta renjana
Hanya rumah ini
yang dulu kubenci—
sebab ia penaruh jentaka tiada henti
Hanya rumah ini
yang nekat menudingku atas lenyapnya tiga manusia—
yang setia bersemayam di dalam tubuhnya
memeluknya.
Editor: Helmalia Putri