Ganja Medis yang Kelabu

Oleh: Alif Saviola Rakhman*

Ilustrasi: Amalia Rahmadani

Tanaman ganja secara umum mengacu pada pucuk daun, bunga, batang dari tanaman yang dipotong, dikeringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Ganja mengandung banyak nilai manfaat, dan tidak sedikit menuai kontroversi di kalangan masyarakat atau sebuah negara. Tanaman dengan nama ilmiah Cannabis sativa ini, dikenal selama bertahun-tahun bahkan dari sebelum masehi digunakan oleh manusia untuk berbagai tujuan. Dalam penggunaannya dapat menghasilkan beberapa manfaat yang baik dan ada pula penyalahgunaan yang dapat menjadikan tanaman ganja bernilai negatif.

Di Indonesia, ganja menjadi tanaman yang ilegal. Indonesia bahkan mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi, sampai tahap konsumsi dari tanaman ganja. Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanaman ganja termasuk dalam golongan I. Dijelaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang No 35 Tahun 2009, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis, sedangkan yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Alasan dikeluarkannya peraturan tersebut, bukan lain karena kandungan dalam ganja tersebut. Dilansir dari kumparan.com, ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Tiga jenis senyawa yang benar-benar harus dipahami dalam tanaman ganja adalah Cannabidiol (CBD), Cannabinoid, dan Tetrahydrocannabinol (THC). CBD telah teruji klinis dapat mengatasi kejang, dan tidak bersifat psikoaktif. Zat kedua, Cannabinoid merupakan senyawa kimia aktif yang memberikan efek medis. Lalu senyawa terakhir, THC yang bersifat psikoaktif. Senyawa-senyawa inilah yang bersifat memabukkan dan memengaruhi psikis serta ketergantungan yang berefek ke arah mental. Jika kandungan ganja yang digunakan untuk medis masih bercampur dengan THC akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

Ada contoh kasus di Indonesia terkait tanaman ganja yang terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dikutip dari kompas.com, Fidelis Arie Sudewarto yang ditahan akibat menanam 39 batang pohon ganja untuk pengobatan istrinya, yaitu Yeni Riawati yang sedang menderita penyakit tumbuhnya kista berisi carian (syrink) di dalam sumsum tulang belakang. Penggunaan ganja terjadi sebelum Fidelis ditahan dan ketika kondisi Yeni semakin memburuk dengan tidak mau makan, tidak bisa tidur, dan hanya dirawat di rumah. Fidelis memberikan ekstrak ganja yang proses pengolahannya di dapatkan melalui internet. Setelah menggunakan ekstrak ganja terdapat perubahan terhadap Yeni seperti nafsu makan dan dapat tertidur pulas. Namun pada akhirnya, pada tanggal 25 Maret 2017 Yeni meninggal dunia, tepat 32 hari setelah Fidelis ditahan dengan pasal 113 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 dengan hukuman 5 bulan penjara dan denda Rp. 800 juta subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar pasal 111 ayat (2) UU No. 35 Tahun.

Kasus lain baru-baru ini juga ramai diperbincangkan terkait penggunaan ganja untuk kebutuhan medis. Hal tersebut bersumber dari tirto.id, bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional pada Minggu, 26 Juni 2022, tampak foto seorang ibu bernama Santi Wirastuti memegang tulisan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis” bersama suami, Sunarta, dan anaknya yang duduk di kursi roda di Car Free Day Jakarta. Santi mengaku anaknya tersebut mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak. Santi dan anaknya melakukan aksi tersebut dengan tujuan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memberikan putusan atas gugatan yang sudah mereka ajukan untuk mengubah bunyi pasal di UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tepatnya Pasal 8 ayat 1 dan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a, agar Golongan I yang di dalamnya termasuk tanaman ganja dapat digunakan untuk keperluan medis. Dengan demikian, Pika nama anak Santi yang mengidap cerebral palsy bisa mendapat terapi ekstrak minyak ganja yang digunakan masuk larangan narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 tahun 2009.

Berdasarkan kasus tersebut dikutip dari merdeka.com, Ketua Pembina Yayasan Sativa, Profesor Musri Musman, menjelaskan, ganja medis melalui CBD oil yang diekstrak dari tanaman ganja (Cannabis sativa) memang dapat menangani cerebral palsy. Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga akan segera menerbitkan regulasi yang mengontrol seluruh fungsi proses penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan di dunia medis. Dasar dari keputusan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan regulasi penelitian tanaman ganja adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kabarnya juga, Wapres juga bercita-cita melegalkan ganja medis melalui formula fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu penunjang sumber hukum untuk melegalkannya demi kepentingan medis di waktu mendatang. Hal tersebut akan menjadi harapan yang nyata untuk penggunaan ganja dalam kepentingan medis. Berdasarkan hukum internasional pun status ganja sebagai obat-obatan terlarang sudah dihapuskan. Bahkan akhir-akhir ini, Thailand secara terang-terangan telah melegalkan ganja untuk kepentingan medis di negaranya.

Harapan saya atas langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, ke depannya tidak ada lagi tindak kriminalisasi atas nama ganja yang pernah dialami oleh Fidelis yang dihukum karena menanam ganja di rumahnya untuk pengobatan istrinya. Selanjutnya, tidak ada lagi ibu-ibu seperti Santi yang mencari keadilan di jalanan dengan mendatangi Car Free Day di bundaran HI membawa poster yang bertuliskan “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” bersama suami dan anaknya yang sakit. Semoga nantinya masyarakat menjadi paham kemana harus mencari keadilan dan hak mendapatkan kesehatan anaknya yang dijamin oleh konstitusi.

Editor: Desi Fitriani

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *