Bayangan Amis

Ilustrator: Bernadeta Valentina
Ilustrasi: Bernadeta Valentina.

Oleh: Priyo Handoko

Orang-orang berhamburan mendekati rel yang baru saja dilewati kereta api eksekutif dari Jakarta beberapa detik lalu. Namun, rasa penasaran yang meledak cepat berganti menjadi jerit kengerian. Ada yang langsung pergi sambil muntah. Ada pula yang meludah sambil menyumpah. Perut mereka terasa mual. Benar-benar magrib yang sial.

Meski begitu, jumlah orang yang tertarik untuk datang mendekati rel tersebut tidak berkurang. Malah terus bertambah ramai. Dari belasan, sampai akhirnya puluhan. Belum termasuk para buruh pabrik yang hendak pulang atau pengendara motor yang ikut berhenti dan melongok dari tepi jalan.

Polisi yang datang segera meminta warga agar menjauh. Mereka tidak mau lokasi kejadian ini rusak hanya gara-gara rasa ingin tahu warga yang susah dikendalikan. Begitu olah tempat kejadian perkara selesai, petugas dari kamar mayat bergegas memunguti potongan kepala, kaki, dan tangan yang tersebar hingga 500 meter di sepanjang rel. Itu belum termasuk sisa serpihan tubuh dan daging yang bercerai-berai.

Potongan-potongan tubuh beraneka ukuran itu akhirnya dibawa pergi ambulans. Meninggalkan semua orang yang masih dilanda mual, kengerian, dan pertanyaan yang nyaris sama. Mengapa orang itu bunuh diri? Apa masalah yang sedang dihadapinya? Kerumunan mulai pecah saat dari arah utara kereta api kelas ekonomi dengan lampu yang menyorot terang dan lengkingan klakson melintas perlahan.

***

Pasir, batu, kayu, dan bibit tanaman itu akhirnya selesai juga ditata Arya. Sekarang tinggal menuangkan air. Suasana taman bawah air dengan ikan-ikan dan udang kecil berwarna cerah pun tercipta.

Arya menarik nafas panjang, melemaskan punggungnya yang sedikit pegal. Dia melirik ponsel di atas meja. Sebuah pesan singkat kembali masuk. Dari nomor yang sama. Ini yang kelima sejak tadi pagi. Arya belum tergerak untuk membalas. Isi pesan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Hatinya gundah. Dia merasa seperti maling yang tertangkap basah. Ada perasaan yang menyergap dan membunuhnya perlahan. Perasaan bersalah yang membuncah. Kesibukannya membuat aquaspace yang biasa menyenangkan, kali ini terasa menyesakkan.

Memandangi lagi akuarium yang sudah terisi air itu membuat Arya semakin merasa sepi. Istrinya sedang menghadiri acara temu alumni SMA. Seorang anak mereka masih sibuk di sekolahnya. Yang satu lagi sedang mendaki gunung bersama teman-temannya. Arya berharap orang-orang yang sangat disayanginya itu segera pulang. Bukan karena dia ingin menceritakan situasi yang dihadapinya. Dia hanya ingin mereka ada di sekelilingnya untuk mengalihkan bayang-bayang kelam yang kini terus berdatangan. Mereka menyerbu dari pintu, jendela, dan setiap celah rumah yang terbuka.

Selama ini dia berhasil mengusir semua bayang-bayang itu. Bayang-bayang yang selalu berusaha menyeretnya ke masa lalu. Mundur belasan tahun ketika kerusuhan melanda ibukota negara dan beberapa kota besar lain di negeri ini. Diawali dengan melambungnya harga-harga bahan pokok lalu bermetamorfosis menjadi gejolak politik yang menuntut sang presiden lengser dari jabatannya.

“Aku pasti ikut kalian kalau waktunya sudah tepat. Sekarang kalian pergi dulu!” teriak Arya kepada ratusan bayang-bayang berjubah gelap yang berebutan hendak mencakar-cakar wajahnya. Ini bukan kali pertama mereka datang. Biasanya dia mampu mengatasi serangan semacam itu. Tapi, hari ini pertahanannya hampir jebol.

Bayang-bayang itu terus melayang di sekelilingnya. Ada yang mencoba mendekatkan wajahnya ke wajah Arya hingga terpaut kurang dari satu sentimeter. Arya hampir muntah saat mencium embusan nafas berbau amis. Akhirnya, dengan malas Arya kembali membuka pesan singkat di ponsel yang telah mencacahnya itu. “Selamat pagi, Pak Arya. Perkenalkan, saya Eva. Mahasiswa S2 ilmu sastra yang sedang mengerjakan tesis. Saya berencana meneliti cerpen-cerpen Bapak yang terbit di koran-koran antara 1996–1998. Kapan Bapak ada waktu? Saya ingin mendiskusikannya.”

Arya kalut. Eva bukan mahasiswa pertama yang menjadikan cerpennya sebagai objek penelitian. Sebelumnya sudah ada tiga mahasiswa. Dia selalu terbuka untuk ditemui langsung atau wawancara via telepon bila mereka terpaut jarak yang sangat jauh. Tapi, selama ini belum pernah ada satu pun yang mengkaji cerpen-cerpennya dalam rentang waktu itu.

“Bagaimana Pak Arya? Maaf, tadi saya telepon bolak-balik. Mungkin Bapak masih sibuk. Saya sudah kirimkan proposal tesis ke alamat email yang saya temukan di blog Bapak. Saya tunggu responsnya. Eva di Yogyakarta.” Arya terdiam. Dia masih tidak tahu harus menjawab apa. Pikirannya kembali menyelam ke dasar akuarium. Tubuhnya terasa dingin. Menggigil.

***

Ayahnya dulu seorang pedagang. Pemilik toko terbesar di kampung. Banyak warung-warung kecil yang kulakan di toko ayahnya. Suatu ketika, berdiri toko baru yang tak kalah besar. Toko ayahnya dan toko baru ini sebenarnya terpisah jarak yang cukup jauh, sekitar dua kilometer. Seiring itu, pamor toko ayahnya berangsur-angsur meredup. Banyak pedagang warung yang memilih untuk pindah kulakan ke toko baru itu.

Setelah dua tahun yang lesu, toko ayahnya akhirnya tutup. Sebaliknya, toko baru itu semakin jaya. Meskipun masih memiliki kebun kelapa dan cengkih belasan hektar, kekalahan itu tetap membuat ayahnya tertekan. Dalam beberapa bulan, perasaan itu berkembang biak menjadi dendam. Padahal, pemilik toko baru itu masih terhitung teman masa kecilnya.

Sejak itulah, ayahnya sering menggerundel. Ayahnya juga menjadi sangat gampang menjelek-jelekkan latar belakang suku pemilik toko baru itu. Beragam istilah diciptakannya. Mulai serigala bisnis yang licik, tidak mau berbaur dengan warga sekitar, egois, pelit, sampai tudingan hanya peduli pada sesama sukunya sendiri. Kebencian itu terus menerus ditularkan kepada anggota keluarganya. Tak terkecuali, Arya.

Inilah yang membuat Arya tumbuh dengan membawa stigma negatif terhadap orang-orang yang berlatar belakang suku pemilik toko itu. Dia seperti dicuci otak. Stigma itu terus mengendap di dalam dirinya sampai kelak dewasa. Gambaran buruk yang merayap dalam banyak karyanya. Karya-karya celaka yang sebenarnya ingin dikubur Arya bersama dirinya.

Ilustrator: Bernadeta Valentina
Ilustrasi: Bernadeta Valentina.

***

Arya menyalakan laptop di ruang kerja. Ribuan buku memenuhi rak-rak tinggi yang berdiri merapat ke dinding. Salah satu rak tampak berbeda. Susunan 20-an buku, seperti novel dan kumpulan cerpen, itu lebih tertata rapi. Itulah buku-buku karyanya. Beberapa buku sudah dicetak lebih dari 20 kali. Ada juga yang  diterjemahkan ke bahasa asing. Banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri yang diterima. Dengan semua itu, tentunya Arya sangat berkecukupan. Secara finansial dia tergolong mapan. Tapi, itu tidak pernah cukup untuk menenangkan hatinya.

Tangannya kini menggerakkan mouse. Setelah beberapa kali klik, dia akhirnya menemukan tiga folder. Masing-masing bertulisan cerpen 1996, cerpen 1997, dan cerpen 1998. Di dalamnya, tersimpan file lengkap cerpen-cerpen Arya. Inilah tahun-tahun kegembiraan saat puluhan cerpennya mulai rutin dimuat media massa. Namanya melambung sebagai penulis muda berbakat. Banyak yang mengagumi karya-karyanya. Mereka tidak sadar deretan tulisan itu sebenarnya ikut menyuarakan dendam kesumat ayah Arya kepada pemilik toko baru di kampungnya dulu. Pemilik toko dari etnis yang sering distigmakan sebagai pelaku bisnis yang culas, tidak punya jiwa sosial, dan berperilaku eksklusif.

Arya baru tersentak, sadar sesadar-sadarnya, saat kerusuhan melanda ibukota negara dan beberapa kota besar lainnya pada 1998. Dia seperti melihat kebencian ayahnya yang beranak pinak bersama monster-monster beraneka rupa. Ribuan monster itu keluar dari tempat-tempat persembunyian dengan pandangan mata yang nanar dan mulut yang terus berteriak kasar. Arya merasa beberapa dari monster itu juga meloncat dari cerpen-cerpennya. Mereka bergerombol menjarah dan membakar banyak rumah, toko, dan berbagai aset milik warga dari etnis yang sama dengan pemilik toko baru di kampungnya dulu. Termasuk, memperkosa, menganiaya, dan membunuh ratusan perempuannya. Dari layar televisi, dia melihat beberapa orang sedang menatap mal yang terbakar. Arya bergidik. Wajah mereka mirip dirinya.

Bertahun-tahun Arya tenggelam dalam rasa bersalah. Dia merasa menjadi bagian dari kelompok pengobar kebencian. Bahkan, dia pernah menyerah dan mencoba bunuh diri. Namun, kematian batal menjemput. Orang-orang berkata Arya mengalami depresi berat dalam proses berkarya. Banyak teman yang datang, menemaninya ngobrol berjam-jam dengan penuh tawa. Arya tahu mereka mencoba meringankan hatinya. Tapi, tidak ada perkataan yang betul-betul tepat sasaran. Mereka tidak pernah tahu beban yang disimpannya. Saat itulah, istrinya datang sampai menunjukkan test pack. “Aku hamil. Kamu tidak boleh mati,” katanya, sambil menangis.

Arya tertegun. Dia harus bertahan. Setelah hari itu, beberapa kali pikirannya masih tergoda untuk bunuh diri. Tapi, semua rencana itu selalu mengendap setiap dia berkumpul bersama istri dan anak-anaknya. Sampai tiba-tiba pagi tadi dia dihubungi seorang mahasiswa sastra yang ingin meneliti puluhan cerpennya dalam periode 1996–1998. Arya kalut. Dia takut orang akhirnya sadar pernah ada karyanya yang diam-diam ikut menyemai benih permusuhan.

Tesis itu juga pasti akan menghancurkan citranya. Padahal, dia baru saja terpilih menjadi anggota dewan dari partai politik yang selalu menjual jargon nasionalisme dan tegaknya konstitusi. Pertengahan minggu lalu, dia juga baru berbicara di hadapan ratusan mahasiswa tentang tujuh tahun pelaksanaan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun, jauh di dasar palung hatinya, Arya tahu dirinya tetap harus ikut menanggung beban kekejian yang mengiringi perubahan politik tahun 1998.

Mata Arya berkilat saat melihat pisau dapur yang tajam. Dia meraba-raba urat nadi lehernya. Tapi, dia membayangkan sesuatu yang lebih cepat dan tak tercegah. Seperti menceburkan diri ke kawah gunung berapi, terjun dari kapal Pelni yang sedang berlayar menembus malam buta, atau membiarkan tubuhnya dihantam kereta api eksekutif yang melaju kencang.

Arya masih terus menimbang-nimbang cara apa yang paling efektif untuk bunuh diri saat istrinya datang dengan semringah. Dia membawa oleh-oleh sate hati kambing favorit Arya lengkap dengan lontongnya. Seperempat jam kemudian menyusul anak mereka pulang setelah mengikuti kegiatan sore di sekolahnya. Wajahnya mengkilat disepuh keringat. Sambil melepas jaket, dia bercerita. “Ada kejadian di lintasan rel dekat pasar. Orang tertabrak kereta. Kelihatannya bunuh diri. Badannya hancur. Ngeri, Yah.”

 

 

Catatan Redaksi:

Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *