Rektor Bicara Soal Aksi Hingga Transparansi

Oleh: Intan Rifiwanti

Rektor memperlihatkan Surat Edaran BEM Unsoed yang meliburkan semua aktivitas perkuliahan dalam rangka mengajak mahasiswa untuk beraksi bersama dalam Aliansi Soedirman Melawan. Foto: Mustiyani
Rektor memperlihatkan Surat Edaran BEM Unsoed yang meliburkan semua aktivitas perkuliahan dalam rangka mengajak mahasiswa untuk beraksi bersama dalam Aliansi Soedirman Melawan. Foto: Mustiyani

Seminggu setelah geger aksi Aliansi Soedirman Melawan, Sketsa berkesempatan  mewawancarai orang paling penting di Unsoed secara eksklusif, Kamis (23/6). Ialah Dr. Ir. Achmad Iqbal, M.Si. Orang nomor satu di Unsoed itu sempat dicari oleh segenap aktivis Aliansi Soedirman Melawan (16/6). Pria kelahiran Gresik, 31 Maret 1958 silam itu menyambut ramah kehadiran Sketsa di ruang kerjanya. Sambil menekankan kesibukan, dia menyilakan Sketsa untuk segera mewawancarainya. Ya, memang, berkas pekerjaan memadati meja kerjanya.

Wawancara eksklusif pun terjadi. Bagaimana tanggapan Rektor mengenai aksi Aliansi Soedirman Melawan? Apa alasan Rektor tidak mendatangi Gedung Rektorat (GR)  saat aliansi Soedirman Melawan melakukan aksi? Berikut cuplikan dialog antara Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi Sketsa Mustiyani Dewi Kurniasih dan  Wartawan Sketsa Intan Rifiwanti  dengan Rektor Unsoed:

Bagaimana tanggapan Bapak mengenai tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa Aliansi Soedirman Melawan?

Pada intinya rasional. Tidak ada masalah.

Ada tiga pokok pertanyaan, yang pertama tentang UKT yang tidak jadi naik,  kedua, uang pangkal, dan ketetapan ada atau tidaknya level 8 UKT.

Biar jelas begini, masalah UKT 2015, 7 level. Kami ini bawahan Menteri, artinya mengikuti perintah Menteri. Nah, khusus untuk 2016, sebelum ada penerimaan mahasiswa baru, ada surat edaran dari Menristekdikti bahwa untuk UKT 2016 harus 8 level, surat edaran loh, di situ kan saya diperintah tidak boleh berubah, harus sama dengan yang di sana.

Saya pertama bingung juga, BEM yang lama katanya sudah menemui Pak Presiden, katanya 4 level. Kami juga sudah siapsiap 4 level. Eh, ujug-ujug 8 level. Ya sudah, dua hari selanjutnya (rancangan) harus  sudah sampai di sana. Jelas? Ya sudah, kirim.

Sudah dikirim 8 level, berarti kan harus disusun di sini, 8 level. Nah, disusunlah. UKT itu kan dari bawah, dari prodi ke fakultas, fakultas ke Rektor baru dikirim ke sana. Rektor tidak tahu, tapi yang tanda tangan Rektor.

Nah, sudah dikirim ke sana, akhirnya ada penerimaan mahasiswa baru, SNMPTN. Setelah diterima, mau tidak mau kan harus registrasi, di registrasi kan ada informasi harus membayar UKT. Nah, yang diterapkan yang dimunculkan di sana UKT sampai 8 level.

Level 1 sampai 7 besarnya tetap sama dengan UKT 2015?

Sebenarnya untuk UKT itu dari SK Menteri. Formalnya, loh.  Setelah SK Menteri, rektor membuat surat keputusan. Tapi karena berhubung SK Menteri belum ada, ada yang melapor, “Ini sudah dibuka, yang regis online itu.” Saya sampaikan, “Tutup! Hentikan! Jangan diteruskan!” Kenapa tidak diteruskan? Karena SK Menteri belum ada. “Lalu bagaimana, Pak, yang sudah kadung?” Saya jawab, “Ya nggak apaapa, kalau uangnya kelebihan untuk di tahun berikutnya. Ya kan seperti itu, ditabung.”

Untuk SBMPTN itu gimana? Kan saya lagi nunggu SK Menteri, kalau ndak turun, ya kembali ke yang dulu itu 2015, 7 level. Ya seperti itu, nggak ruwet. Kalau memang sampai waktunya SK Menteri nggak turun, saya keluarkan SK, harus seperti 2015.

Kalau untuk yang lainnya, seperti tinjauan ulang UKT…

(Rektor memotong) Tinjauan UKT bagaimana? UKT itu dari menteri.

Kalau mengenai transparansi? Sejauh ini kan mahasiswa ingin tahu bagaimana rincian penggunaan dana dari penarikan UKT, mungkin tinjauannya dari segi itu…

Lah iya kalau soal transparansi itu transparansi yang mana? Kalau RBA (Rancangan Bisnis Anggaran), itu termasuk rahasia negara, dan RBA pun sering berubahubah, nggak mungkin mahasiswa bisa dilibatkan, bukan tempatnya….

(memotong) Kalau terkait UKT itu bisa ditransparansikan tidak?

Transparansinya bagaimana coba saya ingin tau. Kayak apa coba? Wong itu ada di RBA, kok. Kan dikirim ke sana toh, ke Jakarta, dari Jakarta ke Panwil, pokoknya prosesnya panjang. Ini loh, (dengan nada santai) yakinlah bahwa saya tidak mau uang itu, nggak, nggak mau (sambil menggelengkan kepala). Saya sepeser pun (tidak mau). Betul itu! Saya sudah (membuat pakta integritas). Semua pimpinan, sejak saya rektor, pimpinan, semua WR, semua dekan, ketua lembaga, ketua deputi pascasarjana, membuat pakta integritas tidak akan pernah melakukan korupsi. Pernah dengar? Intinya, UKT tidak jadi naik, mudah-mudahan. Doakan SK menteri tidak turun. Sekarang masalah sumbangan….

Nah iya itu, perbedaan antara sumbangan dan uang pangkal apa sih?

Ya sama, wong di situ SK menterinya mencantumkan ‘dapat’ menarik uang pangkal, atau sumbangan, atau bentuk apapun. Kata-katanya ‘dapat’. Ngasih kan boleh. Karena ‘dapat’, dibuatlah SK Rektor. Sukarela. Anda mau menyumbang, mau ngasih apa namanya uang pangkal, ngasih silakan, nggak ngasih nggak apaapa. Yang penting ikhlas. Kan begitu (definisi) sukarela?

Kami juga ingin menanyakan, saat aksi Soedirman Melawan itu kan mahasiswa menantikan kehadiran Bapak, nah itu….

(memotong) Loh! Bagaimana menantikan kehadiran saya, wong saya nggak pernah diundang.

Dan pada saat itu Bapak di Fakultas Pertanian?

Saya di rumah. Sedang kerja. Ini kan dibawa pulang, Mbak (menunjuk berkasberkas). Saya mengerjakan ini. Karena kalau nggak dikerjakan di rumah, nggak akan selesai.

Jadi sejak subuh di rumah ya Pak?

Di rumah. Ini kalau nggak dikerjakan di rumah, nggak jadi. Waktu 24 jam kurang. Nah mau berangkat ke kantor, tiba-tiba ada pesan, dari anak saya. Ini, “Yah, ada ini.” (Rektor menunjukkan gambar surat edaran dari BEM yang meliburkan mahasiswa) Saya baca ini, nah setelah itu saya manggil WR 3. Terus saya panggil lagi staf ahli hukum, ditinjau dari kajian hukum bagaimana surat ini. Kita bertindak berdasarkan aturan.

Kemarin bapak diberitahu soal aksi sekitar pukul berapa?

(dengan cepat menjawab) Enggak, saya nggak diberitahu.

Jadi sama sekali tidak ada pemberitahuan? Kan kemarin sempat ada mahasiswa juga yang menemui Bapak ke rumah, itu posisi Bapak di rumah juga?

Iya di rumah, sama WR 3, sama staf ahli hukum, membahas ini (Surat Edaran BEM) dari kajian hukumnya. Boleh nggak, BEM meliburkan mahasiswa? Hayo, nah makanya itu, gimana kok dituruti? Bagaimana sanksi hukumnya, nah itu yang saya tanyakan. Setelah kumpul sebentar, anarkis katanya. Ricuh, sehingga sama polisi saya nggak boleh (pergi ke GR). Bahkan dari informasi mau (ada mahasiswa) datang ke rumah, sama intel saya keluar dari rumah.

Terkait mahasiswa menolak adanya pemberlakuan UKT untuk di atas semester 6? Ini ada cerita dari UGM. Di UGM, mahasiswa semester akhir UKT-nya hanya 50%. Tanggapan dari Bapak seperti apa? Mungkin nggak kalau di Unsoed diberlakukan seperti itu….

(Rektor memotong) Hmm, jadi gini, kenapa itu minta diberlakukan untuk semester 6? Saya tanya dulu.

Itu karena kalau mahasiswa semester akhir kan biasanya ada skripsian, itupun biasanya mereka pakai dana mereka sendiri. Terus, kebanyakan kan sudah tidak mengambil mata kuliah, jadi keberatan kalau membayar UKT.

Nah, filosofisnya dulu. Biar dipahami, UKT itu apa sih? Uang Kuliah Tunggal per semester, bukan uang kuliah tunggal per kredit. Kalau di semester I ngambil satu kredit pun, sama uang kuliahnya. Semester II pun misalkan lebih banyak, sama. Filosofisnya tidak ada istilah ‘tinggal tugas akhir’. Namun, dalam praktiknya, sama saja (disebut) dengan keringanan UKT.

SK Rektor sudah ada yang mengatur keringanan UKT. Melalui dekan, fakultas. Jadi, dari bawah mengajukan ke sini, Rektor mengeluarkan SKnya, gitu, karena sudah ada prosedurnya. Jadi bisa melalui jalur itu. Kalau saya ya nggak berani (membuat kebijakan terpisah). Kalau saya memberikan keringanan, saya melanggar peraturan Rektor. Ikuti aturan saja, gampang. Nggak ada masalah bagi saya.

Bagaimana dengan tuntutan penolakan adanya represifitas Rektorat?

Saya bukan menolak. Seluruh pimpinan, dosen, dan fakultas, tidak boleh represif terhadap mahasiswa. Ngapain hanya Rektor yang ditanya? Rektor sih apa? Pimpinan. Rektor, WR, dekan, dosen tidak boleh represif kepada mahasiswa. Ada untung ruginya? Tapi yang jelas sekarang, setiap individu harus bertanggung jawab secara individu. Kan gitu?

Bapak terlalu percaya kepada ahli hukum Bapak. Apakah Bapak tidak takut bilamana suatu saat ahli hukum melakukan kekeliruan?

Oh, enggak, tapi memang manusia ada salah dan khilaf, tapi saya kan nggak ngerti hukum, orang pertanian. Jadi harus percaya, dan orang yang saya pilih betul-betul orang terpilih. Bagaimana saya nggak percaya, hampir setiap hari Pak Noor Aziz jadi staf ahli kasus-kasus di kantor polisi, kasus-kasus di pengadilan, lah wong ahlinya. Saya bersyukur punya itu. Dia pensiun pun saya tarik, kalau saya masih Rektor. Harus percaya, Mbak. Sama siapa lagi kalau nggak percaya, ya kan? Makanya, kalau bicara hukum saya nggak berani, suruh dia saja, saya nanti salah.

Terkait transparansi, dalam pidato-pidato bapak selalu menyampaikan soal birokrasi yang bersih, apakah menurut bapak Unsoed sudah bersih dan transparan?

Mbak, orang di sini belum tentu bersih, namanya manusia pasti ada salah dan khilaf, tapi paling tidak kita memiliki cita-cita harus bersih. Jangan sekali-kali mengambil kalau bukan haknya walaupun kecil, dan silakan ambil hakmu walaupun itu besar. Mau kerja mau apa silakan, saya hanya mengerjakan tugas saya.

Kalau saya gini Mbak, kalau soal transparansi kan ada undangundangnya, mana yang boleh dikeluarkan mana yang tidak. Kan nggak semua informasi boleh dikeluarkan, daripada saya salah, saya pasti diskusi dulu dengan ahli hukum. Makanya kalau ditanya transparansi saya nggak berani langsung menjawab.

Banyak keluhan kalau birokrasi unsoed seringkali berbelit-belit, menurut Bapak bagaimana?

Saya juga tahu, saya denger juga (keluhan mengenai birokrasi Unsoed berbelit-belit). Rektor kan di atas, birokrasi kan di bawah. Saya kan pimpinan, ndak mungkin ngurus-ngurus birokrasi, saya kan tinggal tanda tangan saja. Itu yang birokrasi kan administrasi, saya minta ke Pak WR 2, “Tolong setiap hari senin adakan apel pagi, seluruhnya. Baik fakultas sampai universitas, bergilir yang memberikan ceramah. Dari Rektor, WR, semuanya, harus,” dalam rangka apa? Ya itu, saya sering menyampaikan, “Robah, birokrasi yang sekarang. Reformasi (mungkin revolusired) mental.”

Kalau dulu bapak dan ibu anda sering bilang, ngapain dipermudah selama masih bisa dipersulit, kan gitu? Robah! Ngapain dipersulit selagi bisa dipermudah.

Catatan Redaksi:

Hasil wawancara tidak seluruhnya termuat dalam Buletin dengan alasan  keterbatasan ruang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *