
Oleh : Ari Mai Masturoh
Lagi dan lagi, kredibilitas Jokowi diuji. Kali ini terkait masalah pertikaian antara dua lembaga hukum yang seharusnya saling bersinergi menertibkan syariat penggunaan uang negara. Namun, sepertinya kedua lembaga tersebut malah terlihat ingin menjatuhkan satu sama lain. Semoga tidak seperti demikian, dan semoga itu hanya ada di pikiran saya yang sedang keruh ini. Masalah klasik yang saya-dan beberapa orang-kira tetap menarik bila ditelisik. Karena ini bukan kali pertama pertikaian itu terjadi. Sebelumnya pernah terjadi perang “Cicak Versus Buaya”yang berujung pada sikap presiden yang menyudahi pertikaian dengan membela KPK-kala itu presiden masih dijabat oleh SBY.
Konflik yang sama dengan penyelesaian yang berbeda. Butuh waktu yang lama bagi Jokowi untuk mengambil keputusan. Tekanan yang dilakukan koalisi partai pengusung Jokowi-terutama PDI-P, tampaknya membuat presiden ke-7 ini dilema. Antara rakyatnya yang jelas-jelas mendukung KPK atau koalisi partai pengusungnya yang bukan lain adalah aktor yang mencalonkan BG menjadi calon tunggal Kapolri dan “ngotot” agar BG segera dilantik. Kalau kata Emrus Sihombing, Direktur Emrus Corner, pada Kompas.com,Selasa (27/1/2015), mereka adalah King Maker.
Jika atmosfer seperti ini terus dijagabukan tidak mungkin jiwa KPK akan menjadi lemah dan bahkan tak mampu lagi menggigit para koruptor. Dan sudah pasti praktik korupsi di Indonesia akan semakin merajalela, koruptor pastilah sangat gembira. Sudah ada KPK pun masih ada praktik KKN apalagi kalau sudah tidak ada.
Dan ternyata terjadilah, hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan. Jelas, ini adalah keputusan yang memojokkan KPK dan terutama Jokowi. Menurutnya, tidak semestinya BG disidik karena pada saat itu posisinya bukan sebagai penegak hukum dan penyelenggara negara. Lelucon macam apa ini? Kalau seperti itu, gampang sajabagi koruptor untuk mengelak. Semisal calon presiden kita terbukti korupsisemasa menjabat menjadi pemimpin suatu lembaga, bisa saja dia mengelak dengan alasan pada saat itu dia bukanlah penegak hukum dan penyelenggara negara. Menyenangkansekali tampaknya bermain dengan uang. Setiap koruptor akan aman hanya dengan mengganti profesi.
Seperti kata Refly Harun dalam Kompas edisi Selasa, 17 Februari 2015, “Putusan hakim Sarpin akan menjadi lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi jika tidak diajukan perlawanan dengan mengajukan peninjauan kemabali (PK) ke Mahkama Agung(MA).” Seharusnya kita kembali berpikir pada apa yang dicita-citakan rakyat Indonesia, mereka tidak hanya membutuhkan orang yang kompeten di bidangnya,tetapi juga bersih dari KKN dan kriminalitas lain. Akan tetapi, dapat dipastikan, sekali orang dengan begitu mudah mendapatkan apa yang diinginkan,dia pasti akan menggunakan hal yang sama untuk kepentingan yang serupa. Jadi,tidak menutup kemungkinan setelah BG dilantik menjadi Kapolri-jika benar dilantik, tidak akan melakukan hal serupa-KKN. Malah itu akan semakin melancarkan aksinya dengan jabatan yang dikantonginya.
Seketika saya berpikir apakah mungkin polisi cemas atau bisa jadi takut jika posisinya sebagai lembaga hukum yang disegani rakyat tergantikan oleh KPK, atau mungkin polisi takut kalau belangnya akan terlihat-seperti yang terjadi pada BG saat ini, begitu pun dengan PDI-P dan anteknya. Entahlah, yang pasti peran KPK sangatlah penting, meski bukan berarti polisi sama sekali tidak berjasa, tapi ada simpati tersendiri yang membuat rakyat lebih mendukung KPK.
Ya, kepercayaan rakyat terhadap polisi memang mulai mengikis atau memang sudah terkikis sejak lama. Bukan rahasia umum lagi kalau polisi memang salah satu lembaga terkorup. Saya teringat pada penggalan Cerpen milik Zukhrufah D.A. tentang polisi, judulnya “Panggil Aku Polisi”Dalam Cerpen itu tertulis “Menyebalkan itu polisi. Bukannya, menolong orangmalah menyengsarakan orang. Dasar bukan manusia.” Penggalan itu menunjukkan bahwa selama ini rakyat telah muak dengan ulah polisi.
Siapa yang belum pernah mendengar kalau ingin masuk Akpol atau sejenisnya harus ada uang pencaharnya?Semakin besar nilainya maka semakin besar pula kesempatannya lulus. Begitu pun di desa, setiap akan mengurus apa,pasti ada saja uang tambahan, alasannya untuk ini lah itu lah, namun tidak rasional. Rakyat sebagai orang yang tak berdaya ya menurut saja yang penting urusannya kelar dan tidak harus menunggu proses yang panjang. Tak berbeda jika ingin mempertinggi jabatan, siapa berduit dia yang jadi. KKN memang sudah mendarah daging di Indonesia.
Tanpa sadar sejak kecil pun kita sudah diajarkan untuk itu, dimulai dari ruang kelas, dan saya sangat merasakan itu. Semasa sayadi bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Kepala Sekolah yang menjabat saat itu terindikasi melakukan tindak korupsi, setelah diprotes oleh siswanya kedudukannya dimutasi secara tiba-tiba, dan tidak tahu pasti kejelasan kasusu tersebut. Dan sekarang, di perguruan tinggi yang dihuni oleh kaum terdidik hal serupa pun terjadi,bahkan sekarang mantan rektorku masih mendekam di balik jeruji.
Lantas, apa lagi alasanmu untuk tidak mendukung KPK? Jokowi, inilah saatnya. Buktikanlah kalau isu presiden boneka hanyalah sekedar isu belaka. Kami menunggu Langkahmu.
*Penulis adalah Redaktur Pelaksana LPM Sketsa,tulisan bersifat pribadi.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.