
Oleh : Supriono
Ketika saya masih berseragam sekolah menengah, saya pernah bercakap-cakap dengan Pak Prap dikantornya. Beliau hanyalah seorang staf TU sekolah yang bukan guru tak tetap, apalagi civil servant. Beliau nampak sedikit menggerutu waktu itu, disambi menyeruput kopi hitamnya yang nampak pekat sekali, ia mengeluhkan upah jerih keringatnya yang payah tak mundhak, sedangkan pegaweane seng saya manak. Ia hanya menandaskan “Lha wong kabeh mau kebutuhan, kebutuhan uripya werna-werna,” jelasnya dalam bahasa jawa atau bisa diartikan “Lha semua itu kan kebutuhan, kebutuhan hidup ya macam-macam.”
Kebutuhanlah yang mendorong manusia untuk mencukupi hidup dengan jalan apapun untuk masalah itu. Kebutuhan pula yang mendorong manusia menjadi homo homini lupus, mendorong manusia menjadi serigala satu sama lain, saling menggunting dalam lipatan, singkatnya. Namanya juga serigala, selalu rakus, sering menyamar menyalurkan hasrat naluri kebuasan.
Secara pengertian memang politik di Indonesia mengadopsi kata politic (kepentingan) dan policy (kebijakan). Politik sejatinya adalah alat untuk mendapat kekuasaan, sesuai ungkapan Marx, orang yang nyaman akan cenderung konservatif, itu juga yang menjadikan individu ingin tetap berkuasa. Mereka membagi-bagi bolu kepentingan dan menjadikan kebijakan sebagai alat untuk mempertahankan kepentingannya.
Lagi-lagi KPK vis-a-vis POLRI menjadi tontonan masyarakat yang jelas secara kasat mata bukan sekadar saling tuduh belaka. PDI-P menjadi perbincangan (lagi), dulu mereka sering walkout saat pembahasan RAPBN, sekarang pun tak kalah sensasional. Di era Mega KPK didirikan, namun di era koalisinya menang di eksekutif, KPK mau dilemahkan perannya. Memang begitulah infrastruktur politik, ketika menang ya coba masuk ke suprastrukturnya biar lebih leluasa main belakang. Kelompok kepentingan pengusung Jokowi memasang begundalnya, Pak Jenderal BG, sebagai benteng. Takut terendus, KPK pun dikriminalisasi. Di daerah juga tiba-tiba muncul massa pendukung penahanan para Pimpinan KPK.
PakJokowi harusnya lebih melindungi KPK, sudah jelas KPK tak sebanding secara pengaruh, jika dibiarkan KPK pun lumpuh, nantinya. Kalau begitu ya jelas rakyat bakalan lebih nestapa. Kalau dipikir-pikir secara substansial, sama dengan jaman barbar, namun secara historikal jelas jauh berbeda. Jika era Aristoteles, demokrasi hanya milik orang orang kaya, singkatnya budak-budak tak punya suara.
Padahal, di negeri dimana demokrasi itu sendiri lahir sudah seperti itu, takheran, apalagi jaman sekarang. Katanya demokrasi “Dari rakyat oleh rakyat danuntuk rakyat,” tapi ya tetap yang di maksud rakyat adalah yang berduit saja,tentunya. Misal lagi di negeri Paman Sam, di sana demokrasi pun dulunya hanya milik orang berduit. Para niggers punya hak suara sah secara hukum sangat jauh tenggat waktunya dengan awal mereka merdeka. Itu gambaran di negara yang konon sangat menjunjung tinggi kebebasan. Sementara, di bumi Nusantara, rakyat hanya punya hak suara di Pemilu, tapi dalam penentuan kebijakan yang tentunya tidak akan pro terhadap rakyat,rakyat sama sekali tak dilibatkan. Seklumit realita lainnya, konon di negeri yang menganut demokrasi equality harga mati ini, fakta kesetaraan pun jadi ironi.
Yang terbaru di Amerika, kasus Darren Wilson yang bebas setelah aksinya membantai Michael Brown. Apalagi di negeri Ibu Pertiwi genosida pun pernah terjadi. Eyang Aristitoteles menganggap bahwa politik akan membuat kehidupan menjadi lebih baik,namun kita tidak tahu hidup siapa yang akan menjadi lebih baik. Gus Dur pernah berujar polisi yang benar ya cuma dua, polisi Hoegeng dan Polisi tidur. Kriminalisasi KPK adalah pembrangusan terhadap hak rakyat, semoga tutur Gusdur tak benar akan ada polisi yang bijak yang bertindak benar secara fungsional maupun moral, kelak.
*Penulis adalahRedaktur Pelaksana Cetak LPM Sketsa, Mahasiswa Sastra Inggris Unsoed, tulisan
pribadi
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.