
Oleh: Kania Nurma Gupita
Sejumlah mahasiswa dan masyarakat Banyumas menggelar aksi mimbar bebas pada Jumat (21/3) sebagai respons terhadap pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Massa aksi memulai pergerakan dari Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), menuju Markas Kodim 0701/Banyumas, lalu mereka melanjutkan aksi ke Alun-Alun Purwokerto.
Massa aksi memulai demonstrasi di depan Markas Kodim 0701/Banyumas dengan memblokade jalan sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Sebagai simbol perlawanan, mereka menebarkan kotoran sapi di depan pintu gerbang Markas Kodim 0701/Banyumas. Aksi kemudian dilanjutkan dengan orasi yang menyoroti dampak negatif dari pengesahan RUU TNI, beserta dengan pernyataan sikap.
Koordinator lapangan aksi, Pamungkas, menjelaskan bahwa sempat terjadi ketegangan dengan aparat, baik dari Kodim maupun kepolisian. Ia menyebutkan bahwa beberapa tentara tampak tidak serius saat massa menyampaikan orasi, sebuah sikap yang menurutnya tidak pantas. Selain itu, meskipun demonstran secara tegas menyatakan penolakan terhadap revisi UU TNI dan meminta tanggapan dari pihak militer, TNI tetap diam tanpa respons.
Setelah menyampaikan tuntutan di depan Kodim, massa aksi kemudian bergerak menuju Alun-Alun Purwokerto untuk berorasi. Sepanjang aksi, massa secara bergantian menyuarakan tuntutan mereka, mendesak pemerintah untuk segera mencabut revisi UU TNI dan membakar ban karet sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap mengancam demokrasi.
Tuntutan dalam aksi ini diajukan kepada pemerintah, terutama jajaran eksekutif dan legislatif yang dinilai telah tergesa-gesa dalam mengesahkan revisi UU TNI tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas. Mahasiswa menilai regulasi ini membuka ruang lebih besar bagi militerisme dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.
Elfreda, mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed yang turut dalam aksi, menyoroti bahwa pengesahan revisi UU TNI adalah bentuk kemunduran demokrasi dan reformasi.
Selain mahasiswa, masyarakat umum juga turut menyuarakan keresahan terhadap UU TNI. Munsifah, menyatakan kekhawatirannya terhadap masa depan anak-anaknya yang baru saja lulus kuliah. Menurutnya, UU TNI sangat merugikan, terutama karena masih membuka peluang bagi TNI untuk menjabat sebagai ASN. Hal ini, katanya, akan semakin mempersempit lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda. Ia juga mengungkapkan bahwa tiga anaknya baru saja lulus dalam beberapa bulan terakhir. Namun, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan di tengah kondisi yang semakin sulit. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa aksi penolakan terhadap revisi UU TNI harus terus berlanjut hingga tuntutan dipenuhi.
“Lanjut sampai menang. Lanjut sampai dibatalkan. Gimana gak panas anak saya tuh masa depannya curam sih gimana,” ujar Munsifah, dalam wawancaranya pada Jumat (21/3).
Pamungkas, berharap agar aksi ini dapat mencerdaskan masyarakat mengenai dampak pengesahan revisi UU TNI, terutama terkait potensi pembatasan terhadap ranah sipil. Menurutnya, kehadiran militer dalam urusan sipil bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya untuk membuka mata aparat negara, seperti polisi, tentara, dan pemerintah, agar mereka menyadari bahwa keresahan yang disuarakan dalam aksi ini merupakan kritik nyata terhadap kebijakan yang dinilai tergesa-gesa. Pamungkas menyoroti bahwa revisi UU TNI disahkan dalam satu malam dengan 28 halaman tanpa melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa perlawanan akan terus dilakukan, dan jika suara mereka dibungkam, maka aksi serupa akan digelar dengan massa yang lebih besar untuk menekan pemerintah.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan, peserta aksi berkomitmen untuk terus menyuarakan penolakan mereka. Aksi ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan kritik, tetapi juga untuk membangun kesadaran publik mengenai dampak revisi UU TNI. Aksi ditutup dengan pernyataan sikap bersama yang menegaskan penolakan terhadap revisi UU TNI dan tuntutan pencabutannya. Setelah pernyataan sikap, massa membubarkan diri dengan tertib.
Editor: Khofifah Nur Maizaroh
Reporter: Zaki Zulfian, Miqda Al Auza’i, Khofifah Nur Maizaroh, Helmalia Putri, Linggar Putri Pambajeng, Ferry Aditya, Kania Nurma Gupita, Fadila Nuraini, Manda Damayanti, Amanda Putri Gunawan, Muhammad Fatkhun Nafiq, Tegar Pri Antony, Muhamad Ade Ravi, Lintang Fitriana, Gita Amalia Suherlan, Rizqy Noorawalia Febryanni, Nazwa Syifa Nasution