Oleh: Emerald Magma Audha
(Baca tulisan pengantar “Citra“)
Pada awal semester gasal lalu, ada sebuah selentingan yang ramai diperbincangkan. Selentingan mulai tersebar sejak Agustus 2017. Foto screenshot percakapan salah satu dosen Fakultas Hukum (FH) dengan seorang yang diduga “wanita panggilan” via direct message di Instagram mulai beredar di kalangan mahasiswa Unsoed, terlebih di FH. Wanita tersebut mengunggah foto screenshot itu di akun Instagramnya sambil menandai akun Instagram Unsoed, lokasi Fakultas Hukum Unsoed, serta memakai bermacam tagar yang berlabel Unsoed. Ia juga menandai akun Instagram dosen bersangkutan.
Selentingan itu sudah mulai terdengar di lingkaran dosen kampus FH, bahkan sudah sampai di telinga para dekanat dan jajaran rektorat. Tak pelak, kendati belum ada bukti kebenaran dari selentingan tadi, sudah mulai bermunculan berbagai kritik dan pernyataan sikap dari para mahasiswa.
Saya mulai tahu selentingan itu pada medio Agustus 2017. Lantas, saya pun langsung menilik akun Instagram wanita tadi. Unggahan foto screenshot tersebut masih ada, tertanggal 6 Agustus 2017. Dalam screenshot percakapan antara dosen berinisial A dengan wanita tersebut, berisi transaksi berahi seperti jumlah harga yang harus dibayar dan “servis” yang diberikan, juga lokasi “main”-nya. Pada akhir Agustus, saya mencoba mengecek unggahan itu lagi di Instagram. Namun, ternyata unggahan itu sudah dihapus. Akun Instagram wanita tersebut tak dapat lagi dilacak.

Kemudian, Skëtsa pun meminta klarifikasi perihal selentingan tadi kepada dosen A. Dengan santai, ia menyangkal bahwa ia terlibat percakapan dalam screenshot tadi, “Ya enggak mungkin sama sekali, saya juga orang Purwokerto,” begitu katanya saat ditemui di kampus FH pada Senin (4/9/2017).
Ia pun mengaku jika percakapan yang termuat dalam screenshot itu bukanlah dirinya. “Ya itu keliru, logikanya kan enggak mungkin seperti itu,” sambungnya lagi, “kalau saya bodoh amat ada isu seperti itu.”
Syahdan, wartawan Skëtsa menjumpai Dekan FH pada Senin (11/9/2017) siang di ruang kerjanya di kampus FH. Ialah Prof. Ade Maman Suherman, Dekan FH yang baru dilantik pada 14 Juli 2017. Terkait selentingan tadi, Prof. Maman sudah mengetahuinya. Bahkan dosen-dosen lain pun sering menanyakan itu kepadanya. Ternyata, ia pun sudah menerima laporan tertulis dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH. “Laporan itu dari Fathur (Presiden BEM FH 2017),” katanya. Laporan itu berisi bukti screenshot percakapan.
Prof. Maman juga sudah mengobrol dengan Rektor Achmad Iqbal soal dugaan transaksi berahi yang dilakukan salah satu dosen di Fakultasnya. Mengenai tindak lanjut dari laporan tadi, ia masih perlu berkonsultasi lagi dengan Rektor. Mahasiswa pun sudah menanyakan terkait tindak lanjut dari laporan itu.
Sebagai dekan, ia keberatan dengan kelakuan wanita yang memviralkan screenshot percakapan tersebut. “Masalah siapa yang terlapor (dosen A) ya masalah lain,” lanjut Maman, “cuman yang memunculkan nama FH Unsoed itu kan perempuan itu.”
Soal sanksi, dosen terkait akan mendapat sanksi minimal sedang jika kasusnya terbukti benar. “Kalau (sanksi) ringan ini tidak mungkin. Saya sendiri mengatakan (kasus) ini (berupa sanksi) berat,” tegas Maman.
“Sudah membenarkan. Apa yang ada di dalam viral itu memang beliau yang melakukannya, bukan orang lain.”
Adakah laporan lagi selain dari BEM FH? Ia mengatakan belum ada, “Cuma satu itu (dari BEM FH).” Jika ingin kasus tersebut cepat ditindaklanjuti, ia menyarankan kepada mahasiswa atau pihak lain agar ikut mengajukan laporan tertulis. Organisasi mahasiswa dari fakultas lain atau di tingkat universitas juga bisa mengajukan laporan. Sebab, kata Maman, kasus itu tidak hanya berpotensi mencemarkan nama baik FH, tetapi juga nama Unsoed. “Kalau ada satu lagi (laporan), kan lebih kuat lagi. Itu akan saya tunjukkan pada yang bersangkutan (dosen A).”
Isi laporan dari BEM FH, sebagaimana diungkapkan Presiden BEM FH Arrizal Fathurrohman, pada intinya juga berupa nota keberatan BEM FH. Inisiasi laporan tadi bermula dari keresahan sebagian mahasiswa FH—bahkan mahasiswa fakultas lain—yang BEM FH terima.
Bukan cuma dari desakan mahasiswa, keberatan dari “… beberapa dosen (FH) terutama dosen yang selama ini vokal terhadap masalah gender,” kata Fathur (14/9/2017), juga BEM FH tampung. Atas pertimbangan itu, pada akhir Agustus 2017, BEM FH melayangkan laporan tersebut langsung kepada Dekan FH.
Skëtsa kembali menemui Dekan pada Jumat (15/9/2017) guna menanyakan progres tindak lanjut dari kasus dosen A. Prof. Maman berniat memanggil dosen terkait secara formal melalui surat pemanggilan. “Kita manggilnya secara mediasi aja,” katanya.
Kode Etik Dosen dan Dewan Etik
Ada aturan kode etik dosen berlaku di Unsoed: Peraturan Rektor Nomor 09 Tahun 2013 tentang Kode Etik Dosen (PR). Bentuk pelanggaran kode etik dalam aturan tadi, di antara hal lain: bersikap dan bertindak mencemarkan nama baik Universitas dan melakukan pelanggaran susila dalam bentuk perkataan, tulisan, gambar, ataupun tindakan.
Kode Etik tadi mewajibkan dosen untuk memberi teladan kepada mahasiswa. Salah satu amanat lain: menjaga kehormatan diri dengan berkata dan bertindak tidak melanggar norma susila, kesopanan, dan kepatutan dalam masyarakat. Mengenai hubungan dosen dengan mahasiswa hingga dosen dengan Universitas pun diatur dalam Kode Etik.

Dalam PR, ada sebuah lembaga independen untuk mengawasi pelaksanaan kode etik dosen: Dewan Etik. Anggota Dewan Etik berjumlah lima dosen tetap dengan jabatan guru besar atau minimal lektor kepala. Keanggotaan Dewan Etik dipilih oleh rektor. Terang Prof. Maman, rektor yang membentuk Dewan Etik. Bentuk kelembagaannya bersifat ad hoc, “Komisi (Dewan-red) Etik baru dibentuk ketika ada kasus pelanggaran kode etik atau bersifat ad hoc,” jelas Prof. Maman yang juga menjabat sebagai Sekretaris Senat Unsoed.
Kewenangan Dewan Etik hanya sebatas pada menerima, memeriksa, memproses dan/atau memutuskan dugaan pelanggaran kode etik dosen Unsoed. Adapun kewenangan menjatuhkan sanksi terhadap dosen pelanggar etik ada di tangan rektor. Sebagaimana penjelasan Prof. Maman, “Komisi (Dewan-red) etik (hanya) merekomendasikan (soal penjatuhan sanksi) kepada rektor.”
Dalam PR, sanksi bisa berupa teguran lisan atau tertulis, peringatan keras, pengurangan dan/atau pencabutan hak-hak akademik, hingga penundaan kenaikan pangkat. Atau, jika dosen bersangkutan sudah pernah melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi, Dewan Etik bisa mengusulkan sanksi penurunan pangkat, percepatan pensiun, bahkan pemecatan. Sebaliknya, Dewan Etik juga bisa merekomendasikan rehabilitasi nama baik dosen bersangkutan kepada rektor, apabila Dewan Etik berkeyakinan tidak terjadi pelanggaran kode etik.
Sikap Mahasiswa
Sebagian mahasiswa mengecam kelakuan dosen A, kendati masih berupa dugaan. Sikap kecaman itu disuarakan salah satunya dalam bentuk aksi simbolik pada Selasa (19/9/2017) sore. Aksi singkat tersebut diinisiasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansi dari BEM FH, beberapa UKM FH dan organisasi kampus, juga sebagian mahasiswa FH. Mereka menilai kelakuan dosen A sebagai tindakan dosen cabul sekaligus salah satu bentuk pelecehan seksual dan tindakan asusila.
Selain soal itu, mereka pun menyebut bahwa masih kerap terjadi pelecehan lain dalam bentuk verbal saat perkuliahan maupun bimbingan skripsi. Klaim tersebut didasarkan atas laporan mahasiswa yang kerap mereka terima.
Dua puluh lebih mahasiswa berkumpul di lapangan Gedung Justitia 1, lalu menyerukan penolakan segala bentuk pelecehan seksual dan tindakan asusila di kampus. Mereka menuntut Rektor Unsoed atau Dekan FH untuk menindak tegas dosen yang melakukan pelecehan dan tindakan asusila, juga penjatuhan sanksi bila terbukti.
Tuntutan lain, mereka meminta dibuatkan MoU atau nota kesepahaman antara mahasiswa dan dosen yang isinya untuk tidak melakukan pelecehan seksual, tindakan asusila, dan segala upaya merendahkan derajat perempuan.

Usai aksi, kertas-kertas bertuliskan simbol penolakan ditempel di papan-papan informasi kampus FH. Esoknya, ketika saya ke kampus, semua tempelan kertas simbolik sudah hilang.
Sikap serupa muncul dari Presiden BEM FH. Fathur lebih menekankan agar FH bisa memberi jaminan rasa aman terhadap relasi antara mahasiswa dan dosen. Dari kabar miring dosen A yang sudah kadung viral, dalam bahasa Fathur, “Menandakan bahwa kampus sudah dalam tataran bahaya pada umumnya.”
Kalau kabar miring itu memang terbukti, menurut Fathur, “Jelas bahwa hukum secara kode etik yang ada, agar ‘si person’ dihukum berat.”
Terlepas dari terbukti tidaknya kasus dosen A, kata Fathur, kampus harus tetap bebas dari segala bentuk pelecehan seksual baik yang dilakukan antarmahasiswa, dosen dengan mahasiswa, antardosen, maupun stakeholder terkait.
Kemudian pada Jumat (22/9/2017), Skëtsa menanyakan lagi progres tindak lanjut kasus kepada Prof. Maman. Pemanggilan dosen terkait sudah dilakukan, kata Maman, “Ini sudah konfirmasi. Bisa ketemu hari Senin besok, berdua (dengan dosen A).”
Dalam pertemuan tersebut nanti, ia akan meminta klarifikasi dari dosen bersangkutan terlebih dulu sebelum menaikkan kasus ini ke tingkat universitas. Terlepas dari penyangkalan ataupun pengakuan dosen terkait, kata Maman, ia lebih fokus pada institusi FH yang menurutnya, “sudah tercemar, ternodai dengan viral. Dan terlapor utamanya si perempuan itu karena dia yang memviralkan (dosen) bersangkutan.”
Soal aksi simbolik mahasiswa, Maman menilai itu hanya sebatas pengungkapan ekspresi seperti kekecewaan atas peristiwa-peristiwa yang barangkali pernah dialami mahasiswa. Hal itu tidak ditanggapi sebagai bentuk pengaduan ataupun pelaporan.
Ketika muncul ekspresi seperti itu, menurutnya, akan menimbulkan hal-hal yang tidak kondusif, “Dalam artian dosen-dosen lain pun merasa terhakimi.” Ia menilai dalam aksi itu ada semacam generalisasi bahwa perilaku dosen FH sama seperti dosen terkait kasus, “Padahal kan ya mungkin satu atau dua orang,” katanya. Ia mengimbau kepada mahasiswa FH untuk tidak ada lagi penyampaian ekspresi semacam itu.
Kami pun menanyakan, apakah dekanat mencopot semua tempelan kertas simbolik atau tidak? Jawaban Dekan, “Saya sih enggak merintah, tapi yang memasang dan mencopot juga saya enggak tahu.”
Namun, bagi Maman, pesan dalam kertas simbolik itu bukan hanya ditujukan kepada dirinya saja, melainkan juga kepada semua dosen. “Khususnya dosen yang punya kecenderungan punya perilaku seperti itu. Jadi biar pesan itu sempat dibaca,” sambung Maman, “itu yang makanya saya tidak mengambil sesuatu yang represif.”
Mendapat Teguran Lisan
Dekan FH menyampaikan bahwa dosen A sudah memenuhi panggilan dan klarifikasi. Dalam klarifikasi tersebut, Maman menyebutkan bahwa dosen A telah membuat pengakuan: ia membenarkan chat dalam screenshot yang viral.
“Sudah membenarkan. Apa yang ada di dalam viral itu memang beliau yang melakukannya, bukan orang lain,” tutur Maman kepada Skëtsa, Rabu (22/11/2017).
Kemudian, jelas Maman, dari arahan pimpinan Universitas agar permasalahan tersebut cukup diselesaikan di tingkat Fakultas saja. Rektor pun tidak membentuk Dewan Etik untuk menyelesaikan kasus ini. Alasannya, jelas Maman, “Karena dari sini (FH) juga enggak mengajukan.”

Dari pimpinan FH sendiri sudah memberi teguran lisan secara formal kepada dosen terkait, sebagai halnya penjelasan Maman, “Jadi kita (memberikan) teguran paling teguran-teguran lisan dulu lah, karena itu kan berjenjang. Ada yang lisan, tertulis, sampai bentuk yang paling berat.”
Ketimbang itu, Maman menilai sanksi sosial lebih memberatkan bagi dosen bersangkutan. “Sanksi ini kan sudah terjadi secara sosial. Dan secara teman sejawat, mahasiswa, itu sudah paham semua. Dan mereka mempunyai assessment atau penilaian yang relatif sama lah,” katanya.
Dalam screenshot percakapan yang viral terlihat ketikan balasan “MO” sesaat setelah si Wanita menawarkan jenis servis plus biaya. Terkait balasan itu juga diklarifikasi oleh dosen A kepada Maman. Dosen A mengaku salah ketik saat mengetik “MO”. Niatnya menolak “penawaran” si Wanita dengan mengetik “NO”, bukan “MO”. Dalihnya, pada keyboard gawainya, huruf “M” dan “N” berdekatan.
“Niatnya ‘NO’ tapi jadi ‘M’,” kata Maman terlihat menahan tawa.
“Dan itu visualnya sangat jelas. Ketika dia meng-closing itu dengan kata ‘MO’ kan diartikan ‘mau’, yang terakhir. Tapi, menurut klarifikasi yang bersangkutan, katanya ‘NO’ atau ‘tidak’,” kata Maman, “Ya wallahualam, saya enggak tahu.”
Dari kasus tersebut, Maman menekankan betapa pentingnya citra moral bagi setiap dosen. Menjadi suatu ironi, menurut Maman, ketika perihal kode etik mahasiswa begitu ditekankan kampus sampai mengatur bagaimana mahasiswa harus berkode etik. Namun, malah menjadi tidak fair ketika dosen yang tidak berkode etik.
“Justru malah harusnya yang memberi contoh kan dosennya,” tandasnya.
Reporter: Intan Rifiwanti, Marita Dwi Asriyani, dan Emerald Magma Audha.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 36 | Agustus 2018 pada Rubrik Laporan Utama.