
Oleh: Nurhidayat*
“Persentase konsumsi rokok di Indonesia dinyatakan terbesar se-Asia Tenggara. Peneliti sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, RA Yayi Suryo Prabandari, mengungkapkan jumlah perokok di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.” (tempo.co).
Era ini, perokok semakin gencar untuk ‘dimusuhi’ dan ‘dikucilkan’, hal itu sangat terasa sekali dalam kehidupan, terutama di kampus. Mereka, mahasiswa yang cupu dan ‘baik-baik’ tidak merokok, anak-anak rohis juga jarang yang merokok. Bahkan sempat ada fatwa haram untuk rokok, tapi perlu diingat, merokok bukan tindakan kriminal. Dan rokok itu tidak sehat, bukan tidak sopan. Mereka yang merokok secara bertanggung jawab, harus dilindungi hak asasinya untuk merokok.
Nah, ukuran merokok yang ‘bertanggung jawab’ itu seperti apa pun sukar untuk dideskripsikan. Intinya, menurut saya, merokoklah di tempat yang tidak ada orang terganggu dengan aktivitas bermain asap itu. Lalu, lebih detail lagi, tidak mengganggu lingkungan secara umum, termasuk kebersihan. ‘Latu’ dan puntung adalah produk samping dari proses pembakaran rokok, setelah produk utama asap nikmat yang juga bisa menjadi polusi.
Polusi asap disiasati dengan cara merokok di tempat yang ‘aman’ untuk merokok, jangan di dekat orang yang asma akut, juga jangan di dekat orang sedang penyakitan jantung koroner. Masalah abu rokok, bisa ditempatkan di asbak atau dibuang di tanah agar menjadi pupuk. Nah, puntung, menurut saya adalah hal kecil yang harus ditelaah lebih jauh solusinya agar tak terlalu berdampak. Kenapa? Karena ini akan jadi masalah yang serius jika tidak dikelola dengan bijak.

Lukas 16:10 menjelaskan bahwa mereka yang setia pada hal kecil akan setia pada hal besar, mereka yang tidak adil dalam hal-hal kecil tidak akan adil pada hal-hal besar. Bahwasanya jika adil dimaknai sebagai berpegang teguh akan suatu hal yang dianggap benar, dan adil dimaknai sebagai “Menempatkan suatu hal pada tempatnya”, maka akan ada hubungan yang sangat relevan dengan hal ini.
Meski saya seorang muslim, dalil Al-Kitab ini menurut saya tepat dan patut untuk mengingatkan mereka yang beriman terhadapnya, untuk segera kembali pada hal-hal kecil yang mungkin telah diingkari.
Juga, Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Otomatis, orang yang tidak menjaga kebersihan lingkungan maka dianggap bahwa orang tersebut tidak utuh imannya.
Jika kita bicara dengan data, tentunya hal sekecil apapun akan menjadi masalah serius jika diabaikan. Jika ada lebih tiga ratus miliar batang rokok lebih per tahun yang dihirup, otomatis jumlah puntungnya tak bisa dikatakan sedikit. Apalagi, di keseharian, setiap hari, di manapun, kita dapat dengan jelas melihat puntung berserakan. Di tepi jalan, di tanah lapang, di taman, di pasar, di sekitar warung, di kampus, bahkan di manapun-jika boleh menggeneralisasi.
Ini tentu mengganggu pemandangan kita. Ruang terbuka kita tidak bisa dikatakan asri lagi.
Puntung rokok juga cukup sulit saat dibersihkan, sulit disapu. Hal itu mengakibatkan petugas kebersihan harus bekerja ekstra untuk dapat membersihkannya. Sebagai tambahan, puntung rokok butuh waktu bertahun-tahun untuk terurai. Bahkan, konon di dalamnya terkandung zat kimia yang jika terurai dalam air maka berpotensi membunuh biota air, termasuk ikan.
Lalu, kita pun sering mendengar kasus kebakaran hutan yang awalnya dimulai dari puntung rokok, tentu saja bukan hanya hutan, banyak juga kasus lain, seperti kebakaran rumah, kantor, bahkan SPBU pun pernah terkait kebakaran yang disebabkan puntung rokok yang dibuang sembarangan. Dilansir dari republika.co.id (4/3), pada Maret lalu pemadam kebakaran Layanan Kebakaran Metropolitan Australia (MFS) menerbitkan peringatan terbuka bagi para perokok, melihat terus meningkatnya kasus kebakaran rumah yang disebabkan oleh puntung rokok. Komandan bidang Keamanan dan Ketahanan Publik di MFS, Greg Howard, dalam news.detik.com, Rabu (4/3) memperingatkan untuk tidak pernah meninggalkan rokok dalam keadaan masih menyala, dan jauhkan penyulut atau korek api dari jangkauan anak-anak.
Solusi
Jalan keluar yang paling konyol adalah dengan melarang merokok. Jelas, cara ini adalah hal mustahil dilakukan. Bahkan, usaha yang ditawarkan oleh pemerintah untuk itu–dengan menaikkan harga rokok melalui cukai–pun tidak akan berhasil. Kenapa? Karena rokok dalam segi ekonomi adalah barang yang inelastis. Permintaan rokok tak akan turun drastis hanya dengan sekadar menaikkan harga, meski dengan sangat drastis sekalipun kenaikannya. Ini soal adiksi, soal kecintaan dan soal selera, atau bahkan budaya, tidak mungkin hanya tergantung pada biaya. Termasuk dengan pemasangan gambar seram di bungkus rokok? Ya, konsumen hanya sebentar saja merasa ngeri, setelah itu ya biasa saja.
Jalan keluar yang paling masuk akal adalah dengan kampanye pembuangan puntung di tempatnya. Bisa di asbak, di tempat sampah, atau kalau jika tidak ada, mereka harus menggunakan penampung sementara. Salah satunya adalah dengan bungkus rokok itu sendiri.

Cara mengajak mereka pun tidak bisa dengan serta merta. Minimal, perokok yang dekat dengan kita diberi tahu, semoga dia mengerti lalu berubah. Setelah dia berubah, mereka akan mencontohkan kepada yang lain. Begitu seterusnya. Kita lawan budaya buruk dengan cara viral. Namun, jika memang didanai, promosi-promosi melalui segala jenis media pun akan sangat siginifikan, sepertinya. Tidak perlu sayang dana, karena puntung sangat membahayakan. Dalam kondisi normal, puntung merusak keindahan. Dalam musim hujan, bisa jadi penyumbat drainase. Terlebih pada musim kemarau, daun dan rumput kering yang tersentuh ujung merah puntung yang menyala, bisa menghabiskan hutan yang tersisa.
Intinya, bagi yang tidak merokok, pertimbangkan untuk terus tidak merokok, merokok itu tidak sehat. Bagi yang belum bisa berhenti merokok, mari merokok dengan bertanggung jawab. Rokok berasal dari alam, kita harus baik kepada alam. Mari kita adil meski pada hal kecil.
*Penikmat sigaret kretek