Pasar Tradisional di Tengah Gempuran Modernisasi

ilustrasi: Rachma Amalia

Oleh: Susilo Fathurrokhman

Saat ini modernisasi telah menjalar ke seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Mulai dari sosial, politik, tetatanegaraan, budaya, hingga ekonomi tak lepas dari proses modernisasi. Modernisasi dalam bidang ekonomi salah satunya dapat dilihat dari bergesernya tren masyarakat dalam berbelanja. Pertumbuhan pasar modern berbanding lurus dengan pangsa pasarnya, sedangkan untuk pasar tradisional terus mengalami pelemahan.

Menurut data AC Nielsen yang dirilis kompas.com, pada tahun 2007 jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.550, kemudian menyusut menjadi 13.450 pada 2009 dan menyusut lagi menjadi 9.950 pada 2011.Dapat dilihat dengan gamblang bahwa pertumbuhan pasar tradisional mengalami tren penurunan sebesar 8,1%. Hal sebaliknya terjadi pada pasar modern.

Berdasarkan data Nielsen Retail Esthablisment, pasar modern mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni 11.927 pada 2009 menjadi 16.922 setahun setelahnya atau mengalami pertumbuhan sebesar 38%. Sedangkan pangsa pasarnya pun mengalami perubahan, pasar tradisional yang pada tahun 2009 menguasai 80% pasar, setahun setelahnya hanya menguasai sekitar 70% pangsa pasar. Sedangkan pasar modern yang sebelumnya menguasai pasar 20% meningkat menjadi sekitar 30% pada tahun 2010. Keadaan ini merupakan keadaan darurat bagi pelaku ekonomi tradisional. Para pelaku ekonomi tradisional harus menghadapi pebisnis retail modern yang padat modal secara head to head di tengah modernisasi yang gencar,

Modernisasi melalui Self Service

Pasar modern pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep pasar tradisional. Bila dalam pasar tradisional transaksi dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli, maka dalam pasar modern menggunakan sistem self service, yakni pelayanan mandiri atau swalayan. Dalam sistem tersebut pelanggan dibebaskan memilih barang yang akan mereka beli, kemudian setelah mereka mendapatkan barang yang diinginkan, mereka hanya tinggal membayarnya di kasir.

Perkembangan self service sendiri diawali pada tahun 1916 di sebuah sebuah toko bernama “Piggly Wiggly”. Toko milik Clarence Saunders tersebut dapat menimimalisir jumlah tenaga kerja dengan menerapkan self service, sehingga perusahaan semakin efisien dan keuntungan lebih maksimal.

Penetrasi Pasar Modern

Pengamat perbankan dan ekonomi, Marina L. Pandin (dalam Economic Review, 2009) menjelaskan bahwa Toserba Sarinah merupakan ritel modern pertama yang didirikan di Indonesia, tepatnya pada tahun 1962. Pada periode 1970 sampai 1980-an, sistem bisnis retail modern terus mengalami perkerkembangan. Perkembangan pasar retail modern juga dilirik oleh perusaan asing, ditandai dengan masuknya Sogo, perusahaan retail Jepang pada awal 1990-an. Dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 99 Tahun 1998, membuat pebisnis retail berbondong-bondong masuk Indonesia contohnya Carrefour, Giant, Hero, dan lainnya.

Seperti dipaparkan pada data diatas, pertumbuhan pasar modern mengalami pertumbuhan diatas 30% sedangkan pasar tradisional pertumbuhannya -8,1%. Dapat disimpulkan bahwa ekspansi yang dilakukan oleh pebisnis pasar modern tidak dapat diimbangi oleh pelaku ekonomi tradisional. Head to head secara langsung dan terbuka ini tidak dapat dihindari. Ketegasan pemerintah dalam melindungi pelaku ekonomi tradisional masih setengah hati. Misalnya, jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional hanya dibatasi minimal 500 meter. Hasilnya, dapat dilihat banyak pasar modern yang mengepung pasar tradisional.

Disisi lain, pemerintah juga melakukan modernisasi terhadap pasar tradisional dengan melakukan revitalisasi. Revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Dari pengertian tersebut, sebenenarnya pemerintah sadar akan potensi ekonomi pasar tradisional akan mati bila tidak ada payung hukum yang mengatur tentang pasar modern dan pasar tradisional.

Kebijakan “penyelamatan” Pasar Tradisional

Pada tahun 2013, diundangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam aturan tersebut, telah diatur mengenai zonasi, persyaratan pembangunan pasar modern, hingga revitalisasi pasar tradisional. Kebijakan revitalisasi dinilai tidak begitu membantu pelaku ekonomi kecil karena pada implementasinya hanya menekankan perubahan fisik, Seperti pasar harus bersih, rapi, nyaman, dan tidak kumuh.

Apa dan siapa yang ada di pasar seperti tidak diperhatikan. Apakah para pedagang yang ada disana murni pedagang kecil atau justru pemilik modal yang melakukan ekspansi ke pasar tradisional. Itu baru dari segi pedagangnya. Bila dilihat barang yang diperdagangkan, tidak sedikit barang-barang impor yang menjadi komoditas jual-beli di pasar tradisional. Hal ini patut disayangkan, bila semakin banyak barang impor yang diperdagangkan, dan pedagang yang bukan “pedagang” mendominasi pasar modern.

Esensi pasar tradisional itu akan luntur karena tidak diatur apa dan siapa yang harus hidup di pasar tradisional. Kaum pedagang sebenarnya akan sirna karena selain harus berhadapan dengan pasar modern, mereka juga harus berhadapan dengan pemilik modal yang melakukan ekspansi ke lahan mereka. Perlu adanya deregulasi, atau setidaknya payung hukum yang lebih rinci untuk melindungi pelaku ekonomi tradisional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *