Rubiyanto Misman: Universitas sebagai Pusat Orang Berpendapat, juga Pintar Berpendapatan

Dari kiri ke kanan: Darmaningtyas (Pengamat Pendidikan), Joko Santoso (Wakil Dekan FISIP Unsoed), Rubiyanto Misman (Mantan Rektor Unsoed), dan Nanang Martono (Akademisi Unsoed) hadir dalam diskusi publik di FISIP Unsoed  (13/4). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad.

PURWOKERTO–Mantan Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) 1997-2005, Rubiyanto Misman memandang bahwa universitas sepatutnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum agar bisa mandiri. Menurut Rubi, universitas sebagai “pabrik ilmu pengetahuan” harus bisa berinovasi dan berproduksi. “Unsoed pun harus berani melakukan eksperimen-eksperimen yang bisa dijual,” ungkap rektor ke-6 Unsoed tersebut pada Jumat (13/4).

Universitas sebagai pabrik ilmu pengetahuan, lanjut dia, harus bisa menciptakan sesuatu yang bisa dijual dan menjadi pemasukan bagi universitas itu sendiri. “Universitas sebagai pusat orang berpendapat, juga pintar berpendapatan,” jelasnya dalam diskusi publik yang diselenggarakan BEM FISIP di ruang sidang FISIP Unsoed.

Terakhir, Rubi menyampaikan kelemahan perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu kelemahannya yakni kurang adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dengan industri. Terkadang, menurut Rubi, jika hal tersebut ada hanya sekadar formalitas sehingga temuan-temuan yang ada tidak bisa dikembangkan. “Riset itu bisa terjadi karena ada korporasi dengan industri, karena hasil dari riset itu bisa dikembangkan,” begitu pungkasnya.

Dalam diskusi yang bertema “Meneropong Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia” ini, turut hadir dua pembicara lain. Mereka adalah Darmaningtyas dan Nanang Martono.

Sebagai pengamat pendidikan nasional, menurut Darmaningtyas bentuk pendidikan tinggi di Indonesia saat ini seharusnya tidak lagi bersifat klasikal. Namun, menurutnya perlu upaya yang mulai mengarah pada model digital. “Masa depan pendidikan tinggi letaknya pada teknologi digital semacam e-learning,” ucapnya.

Model pembelajaran e-learning memungkinkan pengajar mentransfer ilmu kepada mahasiswa tanpa bertemu secara langsung. Model ini menurut Darmaningtyas dinilai lebih praktis.

Sedangkan, Nanang Martono sendiri lebih menyoroti kualifikasi dosen di Indonesia. Menurutnya, dosen hanya berkutat pada formalitas presensi dan publikasi jurnal saja.

Selain itu, Nanang pun membandingkan praktik pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Prancis, “Biaya pendidikan S1 di sini (Indonesia-red) setara dengan S3 di Prancis,” ujar akademisi Unsoed yang pernah kuliah di Prancis tersebut. (Sandra Banowati Amarthatiwi)

Editor: Yoga Iswara Rudita Muhammad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *