Pasca Reformasi, kebebasan bukan lagi menjadi barang yang “mahal”, dibanding saat Orde Baru. Pers umum tidak lagi terbatasi untuk content pemberitaan. Pers mahasiswa yang sebelumnya menjadi pers alternatif saatpers umum tak dapat berkutik dari hegemoni pemerintahan saat itu, kini seperti kehilangan arahnya. Berita yang aktual hingga control terhadap kebijakan Pemerintah, kini telah ‘direbut’ pers umum. Secara aktualitas hingga kualitas dan kuantitas SDM, persma tentu kalah dari pers umum. Berangkat dari kondisi inilah Sketsa mengadakan seminar nasional bertajuk “Mencari Format Pers Mahasiswa Alternatif Masa Kini”. Acara yang digelar pada Sabtu, 27 November kemarin ini diselenggarakan di Gedung Justisia 3. Untuk melihat persma dari berbagai sudut, Sketsa menghadirkan empat orang pembicara yang berasal dari media yang berbeda.Ada Purwani Dyah Prabandari, redaktur majalah Tempo; Sastrasuryawan sebagai managing editor Jurnal Prisma; Teguh Andrianto, editor online majalah Hai serta tak ketinggalan Triyono Lukmantoro, pegiat persma di era Orde Baru.
Kelahiran Persma
Persma lahir di zaman kolonial. Indische Vereeneging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang diketuai oleh Mohammad Hatta mendirikan “Indonesia Merdeka” pada 1924. Media mereka dijadikan sebaga alat perjuangan politik dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia di benua Eropa.
Era 1950-an saat pemerintahan demokrasi liberal dan awal masa demokrasi terpimpin, pers mahasiswa kembali tumbuh subur. Isi tulisan yang bersudut pandang ilmiah dan kualitas berita yang didasari oleh berbagai penelitian, membuat persma menjadi media yang dipertimbangkan oleh masyarakat maupun penguasa.
Akan tetapi setelah itu, di tahun 1960-an, persma justru mengalami kematian saat mereka mulai mampu bersaing dengan pers komersial. Namun begitu, masih ada benih-benih persma yang terus hidup. Harian KAMI, Mimbar Demokrasi dan beberapa media lain yang dikelola mahasiswa meneruskan perjuangannyadengan mengemukakan gagasan tentang pembangunan.
Persma di Era Orde Baru
RezimOrde Baru (Orba) mulai berkuasa sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret. Saat itu persma kembali berjaya seiring memanasnya suhu politik, bahkan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) diakui sejajar dengan organisasi pers lain oleh Departemen Penerangan RI. Namun hal ini tidak berlangsung lama, rezim Orba mulai mengontrol aktivitas kemahasiswaan, akhirnya banyak persma yang mulai berguguran. Tahun 1971-1974 menjadi persma kembali mengalami masa kemunduran.
Puncaknya, pada saat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), pers mahasiswa dituduh memprovokasi kerusuhan sehingga pada akhirnya persma dilarang terbit oleh pemerintah. Media kampus yang ikut dibredel pada saat itu antara lain: Koran Salemba (UI), Tridharma (IKIP Jakarta), Berita ITB, Integritas, Muhibah (UII Yogyakarta) dan Aspirasi. Tidak berselang lama dari peristiwa tersebut, pemerintah pun membredel beberapa media yang dinilai berpengaruh di Indonesia, seperti Indonesia Times, Merdeka, dan Pelita.
Melalui Menteri Pendidikannya saat itu, Dr. Daoed Djoesoef, pemerintah memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kemahasiswaan dan Badan Koordinasi Kemahsiswaan (NKK/BKK). Salah satu poinnya adalah pelarangan penggunaan istilah pers mahasiswa. Persma dipaksa berganti nama menjadi Unit Kegiatan Penerbitan Kampus, seperti halnya unit-unit kegiatan lainnya di bidang minat dan bakat.
Berbagaibatasan yang berlakukan oleh rezim, tak membuat pers mahasiswa mati langkah. Ia malah menjadi pers alternatif. “Pers mahasiswa mampu mengalirkan informasi yang selama tidak mampu disajikan oleh pers umum karena saat itu pers umum dikontrol ketat oleh Departemen Penerangan,” papar Triyono Lukmantoro.
Ketiadaan kode etik dalam pers mahasiswajuga memberikan peluang bagi aktivis pers mahasiswa untuk leluasa melakukan peliputan terhadap persoalan yang dianggap tabu oleh Orde Baru. “Ketiadaan aturan organisasi, etika dan perusahaan yang mengekang para aktivis pers mahasiswa, maka pers dari kampus ini mempunyai kebebasan untuk mengoperasikan politik redaksionalnya,” tutur Triyono.
Dalammakalahnya, dosen FISIP UNDIP ini juga menjelaskan tentang pola politikredaksional yang dijalankan oleh pers mahasiswa. Pertama, persma melakukan perlawanan (resistensi) terhadap politik yang diterapkan Orde Baru. Ketika pers umum digunakan oleh Orba sebagai media hegemoni, maka pers mahasiswa menciptakan perlawanan untuk menggugat hegemoni tersebut.Bahkan, persma mampu menghasilkan hegemoni tandingan.
Kedua, persmahasiswa tidak menempatkan diri sebagai subjek yang dengan mudah terpanggil untuk sekedar menyajikan informasi yang khusus tentang dunia kemahasiswaan. Persma menjadikan wilayah politik yang jauh dari gapaian mahasiswa sendiri sebagai pokok persoalan utama yang dibicarakan.
Ketiga,menyajikan pengetahuan yang tertindas. Persma beranggapan bahwa Orba tidak hanya mengerahkan kekerasan tetapi juga menggunakan pengetahuan-pengetahuan tertentu untuk melegalkan kekuasaan, misalnya pelarangan membicarakan ide-ide marxisme. Tapi oleh persma, pemikiran dan sosok yang sengaja ditabukan oleh pemerintah ini sengaja ditonjolkan. Marxisme ditampilkan sebagai pemikiran yang layak dipelajari dan didiskusikan, termasuk tokoh-tokoh nasional yang pada saat itu diberi label sebagai pembangkang atau komunis.
Format Pers Mahasiswa Masa Kini
Bergesernyaiklim pers pasca reformasi dari sistem yang secara ketat dikontrol olehpemerintah menuju kebebasan pers, tentu telah mengubah wajah persma secara langsung. Menurut Triyono, persma tidak usah melanjutkan agenda mahasiswa dari era Orde Baru. “Kita tidak usah meneruskan romantisme masa lalu,” ujarnya.
Menurutnya, dari aspek jurnalisme, pers mahasiswa pasti kalah jika berkompetisi dengan pers yang dihasilkan korporasi-korporasi media. Pers mahasiswa harus kembali pada komunitasnya sendiri untuk menyampaikan informasi yang menjadi kebutuhankhalayaknya. Hal senada juga diungkapkan Prabandari, redaktur majalah Tempo. Menurutnya, pers mahasiswa harus menyuarakan kepentingan mahasiswa karena merekalah pangsa pasarnya. “Persma harus menentukan segment marketnya, kalo mahasiswa ya kepentingan mahasiswa yang dipikirkan,” jelasnya.
Prabandari menambahkan, yang terpenting adalah disiplin dan fokus pada segment market. Menurutnya, ini akan lebih mempermudah sebuah media, termasuk media kampus untuk menjalankan organisasinya.
Sastrasuryawan, atau yang biasa disapa Iwan, mengingatkan tentang fungsi persma. Menurutnya pers mahasiswa memiliki beberapa fungsi, yakni sebagai agen perubahan, jembatan komunikasi antara kampus dengan masyarakat luas, wadah komunitas mahasiswa/kampus dan sebagai alternatif bacaan dengan corak yang khas. “Namun, fungsi sebenarnya dari pers mahasiswa adalah untuk memberikan pelatihan sebelummemasuki dunia pekerjaan yang sesungguhnya,” tambahnya.
Menurut Iwan, ada dua alternatif yang bisa dipilih oleh persma: mengikuti arus pasar, yakni berisi tentang ide-ide atau kepentingan masyarakat luas separti memperjuangkan nilai-nilai keadilan. “Pilihan ini beresiko sulitnya menanamkan nilai-nilai idealisme kemahasiswaan sebagai mainstream gerakan mahasiswa,” terangnya. Atau pilihan lainnya, yaitu membentuk pasar. Menurutnya, pilihan ini akan menghasilkan corak pers kampus yang sarat dengan idealisme dan nilai-nilai intelektualitas.
Pers Mahasiswa sebagai Pers Alternatif
MenurutTriyono, setidaknya ada empat agenda pokok yang harus dilakukan pers mahasiswa sebagai pers altenatif saat ini. Pertama, menggeser persoalan-persoalan makro-politik ke mikro-politik. Permasalahan makro-politik seperti pemilihan umum, kebijakan pemerintah, dll telah diberitakan oleh pers umum. Persma seharusnya menggarap permasalahan mikro-politik, seperti masalah demokrasi kampus, kualitas dosen dalam mengajar, kualitas perpustakaan dan fasilitas kampus lainnya, dll. “Bukan berarti pers kampus harus bersikap layaknya “katak dalam tempurung”, justru sifat dasar pers mahasiswa adalah memberikan informasi yang layak dikonsumsi oleh anggota-anggota komunitasnya,” tambahnya.
Kedua, mengkontektualisasi nilai-nilai berita atau bagaimana memandang nilai-nilai berita (news values) yang relevan dengankhalayaknya. Jika pers umum menempatkan nilai-nilai berita atas dasar pertimbangan komersial, maka pers mahasiswa harus memperlakukannya dengan memperhitungkan untuk menyajikan pengetahuan yang dibutuhkan civitas akademika. Semakin dekat pers mahasiswa dengan khalayaknya, makasemakin baik pula kedudukan pers mahasiswa sebagai bacaan alternatif bagi komunitasnya. Jadi, ukuran keberhasilan persma tidak lagi ditakar dengan keberaniannya untuk menyerang pihak penguasa negara, melainkan menyoroti problem kampus sehari-hari.
Ketiga, pers mahasiswa harusbisa menyajikan bahasa jurnalisme yang lebih komunikatif. Jika dulu persma banyak memunculkan jargon untuk melawan pemerintah namun teryata banyak mahasiswa sendiri yang tidak memahami maknanya. Persma selayaknyabisa menggunakan bahasa jurnalisme yang lebih membumi karena posisi persma merupakan tempat untuk berdiskusi, bukan untuk menggurui.
Keempat,penggunaan teknologi online (internet). Salah satu bentuk kemajuan teknologi ini harus dimanfaatkan karena memiliki berbagai macam keunggulan jika dibandingkan dengan media cetak seperti majalah dan tabloid yang selama ini menjadi produk persma. Selain bisa diakses secara luas oleh khalayak kampus, dilihat dari sisi jurnalisme pun internet memiliki kelebihan, seperti kecepatan untuk mengejar aspek aktualitas dan bersikap responsif terhadap tanggapan-tanggapan yang diberikan oleh khalayaknya. Media internet juga memungkin diskusi yang lebih cepat dan terbuka. “Dengan media online maka interaksi akan lebih cepat,” tambahnya.
Selain itu, melalui internet, para pembaca pun bisa menjadi produsen dari berita tidak hanya sekedar menjadi konsumen. Melalui citizen jurnalism memungkinkan civitas academica yang tidak tergabung dalam keanggotaan pers mahasiswa tetap bisa membagi informasi yang berkaitan dengan kehidupan kampus.
Sebagai penutup, Triyono mengatakan “Pers alternatif pada saat ini, yaitu pers yang melayani mahasiswa, di mana di dalamnya akan saling memberikan tukar pikiran. Danapa yang menjadi agenda utama pers mahasiswa sekarang ini adalah untuk memberikan layanan sebaik-baiknya bagi komunitasnya sendiri, bukan lagi berteriak lantang untuk memamerkan perlawanan seperti pada masa silam yang gaungnya gampang diredam.”
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.