Oleh: Nadia Aminarti Yusup
“Ya, sampai bertemu nanti!”
Percakapan telah usai, meninggalkan dia seorang diri dengan senyuman hangat yang mendesak memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ditatapnya pantulan dalam cermin itu. Dengan puas dia puji kesempurnaan yang sudah terencana dengan sangat matang. Tidak ada satu pun persiapan yang luput dari perhatiannya. Semua dia lakukan untuk terlihat sempurna pada pertemuan ini.
Semburat langit senja menyambut tatkala pintu terbuka, menyapu wajah sang empunya yang tampak begitu menawan. Embusan angin pun seperti tak ingin melewatkan kesempatan akan kebahagiaan di hari pertemuan ini. Dibuatnya dedaunan di sepanjang jalan itu bergemerisik, mencoba menggantikan kebisingan kota dengan alunan irama alam.
Sepanjang perjalanan, tak terhitung berapa banyak tatap mata yang memandangnya heran, mencoba menerka apakah dia masih berada dalam kondisi kejiwaan yang baik atau malah sebaliknya. Akan tetapi, pemikiran dari orang-orang tak dikenal itu tidak sedikitpun berhasil mengurangi perasaan gembira dalam jiwanya. Pria itu membiarkan orang-orang berpikir sesuka hati, membiarkan pemikiran liar mereka terhadap dirinya. Bahkan, lihatlah, hiruk-pikuk kota yang meraja di kala senja ini seolah menyerah untuk menggodanya. Tidak ada lagi ledakan amarah yang biasa ditunjukkan pria itu ketika berhadapan dengan keramaian kota dan seisinya.
Pria dengan balutan kemeja hitam itu berbelok di ujung jalan, menyempatkan sedikit waktu untuk singgah di sebuah toko bunga. Indra penciumannya seolah dimanjakan oleh bunga-bunga cantik yang menyapa dengan semerbak harumnya. Tidak membutuhkan banyak waktu, matanya seketika tertuju pada puluhan tangkai bunga mawar dengan warna merah yang luar biasa memesona.
Dari atas sini, aku hanya bisa menyunggingkan sedikit senyuman melihat semangatnya yang begitu membara. Aku tidak tahu-menahu bagaimana rasanya memiliki perasaan belas kasih yang begitu besar terhadap seseorang. Pria itu dengan tanpa rasa terbebani sedikit pun memberikan tenaga, pikiran, bahkan waktunya untuk tampil memukau di hadapan kekasihnya.
“Belum saatnya.” Aku mengedarkan pandangan, memandangi lautan manusia dari tempatku terduduk. Di atas dahan pohon ini, tidak ada satu pun manusia yang menyadari kehadiranku, atau hanya sekedar melirik sepintas. Ya, karena tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesanggupan untuk melihatku sebelum datang waktunya.
Ratusan atau bahkan ribuan manusia itu sibuk berjalan ditemani pemikirannya sendiri. Mereka berlalu-lalang di lintasan yang sama dengan tujuan yang berbeda. Akan tetapi, terdapat satu hal yang dapat aku pastikan menjadi kesamaan dari setiap insan itu. Kesamaan bahwa suatu hari mereka akan mengalami suatu pertemuan, sama halnya seperti yang akan terjadi pada pria yang baru saja keluar dari toko bunga itu.
Aku mengikutinya berjalan membelah keramaian. Kehadiranku sama sekali tidak dihiraukannya. Beberapa hitungan langkah lagi, pria di depanku ini akan bertemu dengan kekasihnya yang sudah lama dia tidak temui—atau, ya, begitulah yang dia rencanakan. Sampai pada akhirnya waktu memberikan restu, dan aku menjemputnya.
Perlahan langkahnya mulai melambat. Senyuman yang sepanjang hari dia banggakan itu tak lagi kuasa ditunjukkan. Salah satu tangannya bergerak naik menyentuh leher yang seolah menyempit, enggan membiarkan udara hadir menghidupi. Bersamaan dengan itu kedua netranya mulai kehilangan kekuatan untuk tetap memandang indahnya langit sore. Wajahnya sarat akan ketakutan. Hingga pada akhirnya, dia terjatuh dengan bunga mawar merah yang masih setia dalam genggaman.
Kali ini kepanikan tampak nyata terhias di setiap wajah yang mulai menyadari bahwa terdapat seorang pria sedang terbaring lemah. Seketika jalanan itu ramai oleh keresahan. Seorang wanita tua bergegas menghampiri, melepaskan tas ransel hitamnya dan mulai melakukan pertolongan pertama kepada pria yang sudah kehilangan kesadaran. Tidak jauh dari sana, pria tua dengan rambut yang mulai memutih berusaha sekeras mungkin untuk tetap tenang dan menekan beberapa digit angka di layar gawainya, menghubungi petugas rumah sakit terdekat untuk segera menolong seorang pria muda yang tak dia kenal.
Yang tak diketahui manusia-manusia di sekitarku adalah bahwa pria itu sudah kembali bangkit. Hanya saja kali ini hanya aku yang dapat melihatnya. Dia berdiri menatap tubuhnya sendiri dikelilingi oleh beberapa tenaga kesehatan yang baru saja datang. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak sama sekali dia mengerti. Kali ini dia berusaha mencuri perhatian setiap orang yang ada, dihampirinya orang-orang itu, tetapi sia-sia saja usahanya.
“Kau sudah berpulang, Tuan.”
Perkataanku berhasil mengambil alih perhatiannya. Dia dengan tergesa menghampiriku, amarahnya terlihat siap meledak kapan pun dia membiarkannya. Kedua matanya berusaha mencari kebohongan dari diriku yang sudah pasti tidak akan dia temukan.
“Omong kosong! Apakah kau sudah gila? Berhenti bermain-main, aku memiliki pertemuan penting, kau tahu!” Pria itu berbalik arah, hanya untuk melihat tubuhnya sendiri tertutupi kain putih. Orang-orang di sekitar menatap raganya dengan kesedihan yang tidak berusaha mereka sembunyikan. Aku dapat melihat kedua pundaknya terjatuh, tidak ada lagi tenaga yang tersisa dalam dirinya. Beribu penyangkalan yang dia pikirkan pupus begitu saja bersamaan dengan tubuhnya yang diangkut ke dalam ambulans.
“Pertemuan penting mana yang kau maksud, Tuan? Apakah manusia tidak pernah mengerti bahwa kematian juga termasuk ke dalam daftar pertemuan dalam kehidupan ini? Kalian selalu menjunjung tinggi suatu pertemuan. Pertemuan dengan keluarga, teman, bahkan kekasih selalu kalian nantikan. Bahkan kalian menyambut pertemuan itu dengan sangat baik. Lihatlah dirimu, Tuan! Kau rela menghabiskan uang untuk membeli pakaian terbaik untuk bertemu dengan kekasihmu. Tidak hanya itu, kau juga rela menghabiskan waktu menggulir layar ponsel mencari restoran terbaik di kota sebagai tempat pertemuan kalian. Kau mengerahkan segalanya agar pertemuan itu berjalan dengan sempurna.”
Aku dapat melihatnya menangis di balik kedua tangan yang menutupi wajahnya. Kini kedua pundaknya mulai bergetar, menunjukkan betapa rapuhnya pria itu. Dia membutuhkan waktu untuk menerima ini—menerima kenyataan bahwa pertemuan yang terjadi bukanlah pertemuan yang dia nantikan.
“Jika kau mengetahui bahwa kematian adalah pertemuan yang sebenarnya, apakah kau akan tetap mengerahkan segalanya?”
Editor: Miqda Al Auza’i