Oleh: Nurul Irmah Agustina
Hatiku menyesap renyang, rasa-rasanya ia akan tertikam praduga-praduga aneh. Tanganku agaknya terjerat ribuan semut, ia bergeming dan setia di samping tubuh—sesekali usil menarik rok biruku. Kakiku tetap berdiri kaku meski jeritannya membuat telingaku tetap utuh ‘aku ingin runtuh’ begitu jeritnya. Sementara kepalaku justru menunduk, entah malu atau pegal bila kudu menghadap lurus—bertemu puluhan tatapan rasa ingin tahu. Menilik sejenak— terpandang alis-alis mengerut hingga ada seorang yang menenggelamkan rasa malu, lalu ia berceletuk, “Apa kau bisu?”
Jantungku bereaksi cepat, tubuhbu tercekat, seolah terkena dentuman hebat. Namun sungguh, dia amat lihai bermain teka-teki. Sudah tentu apabila diam saja seperti batu, itu berarti gadis sepertiku memang bisu. Pasti mereka hanya bersandiwara mengunci mulut, padahal hati mereka ribut. Lagi pula mengapa sang guru tak lempeng hati saja bahwa ia memboyong gadis bisu untuk menjadi teman baru anak muridnya. Aku sudah membenamkan rasa percaya diri untuk berharap menjadi teman mereka.
Mujurnya, aku masih bisa mengerti lontaran orang lain. Meski suaraku terjerat jutaan dosa, tetapi kupingku masih bisa bernapas bebas. Dahulu, aku tidak begitu menikmati suara yang kuluncurkan dari mulut. Kini, agaknya karma menamparku dengan merantas pita suara yang dulu kuanggap sekadar debu. Usai sekejap bergumul dengan pikiran, mataku kembali menatap kenyataan.
“Aro! Jangan begitu,” tegur Bu Rania.
“Ini Piya. Meskipun ia tunawicara, kalian jangan anggap berbeda ya. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya,” lontar Bu Rania.
“Oh ya Piya, kau bisa duduk bersama Riest,” lanjutnya lalu menunjuk bangku di baris kedua pojok kanan.
“Tidak bisa Bu, ini tempat duduk Amanda,” ketus murid lelaki bernama Riest.
Namun pada akhirnya aku sudah mendaratkan pantatku di bangku sebelahnya. Bu Rania dengan akal bulusnya mengancam nilai Riest. Lelaki itu kicep dengan wajah tertekuk seperti kertas kusut ketika mengerlingku. Kakinya tak bisa bergeming satu detik pun—sekala mendorong kursiku agar menjauh, seolah aku adalah kuman, bakteri, jamur, atau semacamnya.
Memang dia dan temannya tak secara gamblang menyeru, “Hei, kau gadis bisu! Menjauhlah dari jarak pandangku, kau itu tidak seru, tak bisa bicara apapun. Kau tak seharusnya sekolah di sini, kau salah tempat, kau seharusnya berada di sekolah anak cacat!”
Namun, tatapan dan tingkah manusia penghuni kelas sangat mencerminkan itu. Tidak ada satu pun yang mau berinteraksi denganku. Apa mereka merasa bisu jika berbicara dengan si bisu? Pahit memang dianggap benalu. Rasa sakitnya sampai menusuk tulang-tulang—ini terlampau ngilu.
Alasanku memutuskan terjun ke sekolah umum itu simpel, aku hanya ingin memiliki teman. Teman yang setia, yang kelak akan kuberi gelar istimewa—sahabat.
***
Sudah sebulan aku menghuni sekolah ini, tetapi tak ada perubahan sama sekali—aku masih gadis bisu yang tak memiliki teman. Pulang sendiri ditemani riuhan pikiran sudah jadi rutinitas. Kala tungkai belum jemu melangkah, mataku tanpa sengaja bersirobok dengan netra elegan sosok di depanku. Ia lebih pendek dariku dan terlihat sangat lucu—seekor kucing abuabu. Kakiku tanpa sadar menjelma ekor kucing itu, mengikutinya sampai di tempat terlarang (kata Ibu). Siapa pun yang menapak di sini kendati cuma sedetik, ia akan lenyap. Entah aku harus percaya atau tidak. Namun kala mataku menyisir ke segala arah, memang tampak mengerikan—terlampau kotor, usang, dan banyak tanaman menjalar.
Baru berniat kabur, suara kucing abu-abu menghipnotisku. Aku membeku dan tungkai menolak untuk maju. Ekor mataku mengerling ke kanan. “Kau indah sekali, kau tak punya majikan? Mengapa berkeliaran sampai ke tempat keramat? Apa kau mau menjadi budakku dan aku majikanmu? Tidak, bercanda. Apa kau mau jadi temanku?” Hatiku bersuara sembari memandang lekat netra kucing itu.
“Meong ….”
“Wow, kau tahu gaya bicara hatiku? Kau sungguh mau menjadi temanku?”
Kucing itu bersuara lagi lalu sekonyong-konyong melompat ke arahku yang tengah berjongkok, aku terjungkal tanpa rencana. Setelahnya lekas meraih tubuh kucing itu ke dalam pelukan dan menjitaknya pelan. Tenang saja kucing cantik, aku akan memungutmu, aku akan jadi majikanmu, temanmu, dan orang tuamu. Aku tertawa dalam hati. Biar kuberi nama untukmu—bagaimana dengan Ello?
***
Semenjak bertemu Ello, aku sungguhan merasa memiliki teman. Meski ia bukanlah manusia, tetapi ia nampak setia. Aku selalu bermain dengannya layaknya bermain dengan manusia. Aneh, tingkahnya memang tak seperti kucing biasa, Ello tak pernah menolak atau menghindar jika kuajak bermain. Bahkan sebagai tempat curhat ia mau—cukup dengan menatap matanya lekat lalu berbicara lewat hati, Ello seolah mengerti.
“Ello, aku sangat kesepian di sekolah. Semua manusia seperti menganggapku makhluk halus. Padahal aku hanya bertanya sesuatu, tetapi mereka langsung pergi meninggalkanku. Andai aku punya teman sepertimu ….” Aku merenung sekejap. “Hei, bagaimana jika kau ikut bersekolah denganku, kau pasti akan senang di sana,” lanjutku dengan mata berbinar.
“Apa kau setuju Ello? Kau pasti tak tega membiarkan sahabatmu cemberut terus.” Aku menampilkan wajah kusut sekusut tisu.
“Aku setuju, Piya harus bahagia.”
Tunggu, suara siapa itu. Mengapa terasa dekat sekali dengan telingaku. Tidak mungkin itu Ello ‘kan? Aku pasti sudah terbuai halusinasi karena ingin sekali mengajak Ello ke sekolah. Aku menatap Ello intens, ia masih sama semenjak tatapan pertama dulu—cantik, bersih, dan memiliki mata elegan. Satu lagi, auranya amat kuat ketimbang kucing-kucing yang kerap kujumpai di jalan ataupun sekolah. Ia seolah memiliki sihir.
“Meong ….” Aku bernapas lega mendengarnya, benar ‘kan itu hanya halusinasiku saja. ***
Sama seperti dahulu, tatapan menistakan nyalar membidik ke arahku. Ya, aku memang terkenal karena bergelar gadis bisu—yang jalannya selalu sendiri melulu, yang masih membisu meski kepahitan terus membelenggu, yang terus berjalan meski tak ada yang menganggapku ada. Aku hanyalah manusia biasa yang agaknya tak pantas bicara.
“Lihat Ello, tatapan mereka seperti ingin membunuhku. Apa mereka iri aku bisa memeluk kucing yang amat manis sepertimu?” Kutatap Ello lekap. Entah harus marah atau senang, ia justru terlelap—tampak nyaman dalam keranjang tidurnya.
“Wah si bisu pasti tak waras, untuk apa membawa kucing ke sekolah?”
“Dia kan ga punya teman, mungkin cuma kucing yang mau jadi temannya haha.”
“Si bisu udah depresi kali, makanya hewan dijadiin teman.”
“Ya gimana ya, ngomong aja gagu. Kita juga malu kali punya temen kayak dia.”
Mendengar suara-suara kejam itu, aku hanya bisa menekan rasa perihku. Aku berusaha membendung air mataku. Kulirik Ello yang suah terbangun, ia kembali menatap mataku lekat—seperti biasa. Ello seolah berbicara, “Kau pasti kuat Piya, ada aku di sini”. Lantaran itu, aku tersenyum amat lebar dan menyeka air mata yang nyaris lingsir lalu dengan langkah pasti melewati gerombolan manusia kejam untuk mendarat ke kelas.
Di pintu kelas, semua mata menjurus ke arahku. Tungkai tak peduli, ia tak sudi mematung hanya karena tatapan itu. Ia tetap melangkah ke bangku pojok belakang. Aku sudah tidak sebangku dengan manusia songong, alias Riest. Ketika aku melintas tepat di sampingnya, ia berseru, “Hei, kau sangat ingin memiliki sahabat ya. Kucing abu itu bahkan kau beri kalung dengan tulisan ‘Sahabat Piya’?”
Semua isi kelas tertawa dan ada yang berkata bahwa aku ini sudah tidak waras sebab bersahabat dengan hewan. Tidak hanya murid kelas yang tampak tak rela aku bahagia, Bu Rania pun ikut serta menyayat relung hatiku. Aku sangat benci di sekolah ini, memang aku yang salah terlalu bermimpi bisa hidup normal dan memiliki teman normal. Kupikir hewan lebih memiliki hati daripada manusia.
“Piya, untuk apa kau bawa kucingmu ke kelas?” tanya Bu Rania.
Aku memberikan secarik kertas yang sudah kububuhi tulisan sebelum Bu Rania masuk. Sebab aku sudah menduga ini. Kertas itu menjelma perantaraku dalam berkata, “Aku hanya ingin merasa nyaman di kelas, meski hanya sehari. Ello sahabatku, aku ingin ia menemaniku. Sebab di sini aku tak memiliki teman apalagi sahabat seperti Ello—kucingku. Hanya ia yang mengerti. Terserah Ibu menganggapku tak waras, demi Ello aku rela jika harus keluar dari sekolah ini. Aku akan pindah ke sekolah yang lebih pantas untukku.”
Tubuhku lantas beranjak keluar—usai sebelumnya menghunuskan tatapan super datar kepada semua penghuni kelas. Teman-teman Riest pasti bertanya-tanya tulisan apa yang kuberikan kepada Bu Rania hingga membuat tubuhnya kelu.
***
Ello kini suah memakai harness, aku tau Ello ingin berjalan-jalan. Hari-hari lalu ia terlihat ingin keluar rumah dan mengajakku ke suatu tempat. Tak disangka usai kakiku berhenti bergerak, Ello membawaku ke tempat terlarang lagi—tempat dulu aku mengikutinya. Apa yang istimewa di sini?
Aku menatap Ello dan berbicara dalam hati. “Ello, kenapa kau justru membawaku ke sini?” Ello juga menatapku pula—tampak tak berniat pergi dari sini. Ia masih membisu, tak mengeong seperti biasa. Padahal aku sudah menatapnya amat lama hingga tiba-tiba sesuatu terjadi pada mata Ello, mata itu berubah menjadi biru lalu perlahan bersinar amat terang— membuatku refleks mengatup mata. Kala merasa pancaran sinar itu telah hilang, aku membuka mata. Mengapa tempatnya berubah, di mana ini?
Aku menengok ke kanan-kiri sembari memanggil-manggil Ello dalam hati.
“Aku ada di sini, di belakangmu.”
Otomatis aku langsung berbalik, bukan seekor kucing yang kutemukan, tetapi remaja lelaki asing. Ia tersenyum ke arahku. Eh, yang bicara tadi itu dia? Lalu Ello di mana?
“Keluarkan suaramu, Piya. Kau sudah bisa bicara di sini,” kata anak lelaki itu. Eh apa iya? Bagaimana bisa ia tahu namaku? Baik, akan kucoba bicara. Namun sungguh, ini sangat tak masuk akal.
“Hmm ….” Benar, aku bisa bicara. Hatiku berteriak kegirangan. Sial, aku hampir lupa menanyakan siapa remaja lelaki di depanku ini.
“Kau sebenarnya siapa? Apa kau melihat seekor kucing di sekitar sini?” tanyaku.
“Aku Ello, aku sebenarnya manusia yang berasal dari negeri ini,” jelasnya.
Apa? Jiwaku pasti sedang berpetualang dan tubuhku tengah terbaring di kasur. Aku pasti bermimpi. Aku bisa berbicara saja sudah tak masuk logika dan ini Ello berubah jadi manusia?
“Kau pasti menipuku, di mana Ello hah?! Dan ini negeri apa?” tanyaku lagi.
Lelaki yang mengaku Ello memintaku bersirobok dengan netranya. Kedua jemarinya bertengger di bahuku dan mulai menjelaskan perlahan agar aku mengerti. Dimulai dari dirinya yang semula merupakan penyihir terkutuk yang melakukan kesalahan amat besar—meminum ramuan terlarang. Semua penduduk negeri tahu bahwa ia penyihir terkutuk, termasuk temantemannya. Sejak itu ia merasa terasing, tak memiliki teman satu pun. Hingga ia bertemu dengan seorang kakek tua yang juga penyihir, ia menawarkan untuk mengirim Ello ke dunia manusia. Kakek itu berkata bahwa di dunia manusia Ello akan menemukan teman. Ia bisa kembali ke negeri ini apabila telah menemukan satu teman di sana. Teman itu nantinya bisa menghilangkan kutukanmu, tetapi kau harus rela kehilangannya. Sebab setelah kutukanmu tercabut, kau tidak bisa bertemu lagi dengan temanmu di dunia manusia.
“Jadi aku tak bisa bertemu denganmu lagi, Ello?” tanyaku yang nyaris menangis.
Ello tiba-tiba memelukku begitu erat, aku membeku—seperti ada sesuatu aneh yang menjalar tubuhku. Baru kali ini aku dipeluk oleh seorang teman. Dia teman pertamaku dan mungkin terakhirku. Tiba-tiba tubuh Ello seolah mengurai menjadi debu, melayang entah ke mana hingga lenyap dari pandangan.
“ELLO!” pekikku.
***
Tubuhku beranjak cepat dari kasur, buliran keringat suah memenuhi pelipis. Napasku tersengal-sengal. Aku mengucap beribu syukur dalam hati, itu hanyalah mimpi. Pasti Ello masih di sini. Kepalaku menoleh ke kanan-kiri, tetapi tak ada wujudnya. Aku mulai panik dan dengan segera menyusuri sekeliling kamar dan seluruh titik rumahku. Namun hasilnya nihil, tak ada jejak kucing abu-abuku itu. Aku pun terduduk lemas memeluk lutut. Bagaimana jika mimpi itu nyata, Ello akan meninggalkanku?
“Piya! Piya!” Terdengar suara ibu menusuk gendang telingaku. Secepat kilat aku berdiri dan mencari keberadaannya.
Ketika mataku menangkap wujud ibu di depan pintu yang sudah terbuka, tubuhku kelu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Untuk sekadar melangkah saja kakiku tak mampu. Ia seperti terkunci mantra bisu. Sementara Ibu sudah dipenuhi bulir air mata. Di sana, dalam gendongan ibu—seekor kucing abu-abu terbaring rengsa tak berdaya dengan darah yang membungkus tubuhnya. Matanya mengatup—tampak amat damai. Apa kau sungguh tega meninggalkanku, Ello?
Detik ini aku merasakan sakit luar biasa untuk kedua kalinya. Aku lebih rela bisu selamanya daripada kehilangan satu sahabat setia. Wajahku tak mampu kupahat, ia mungkin sudah terlampau pucat layaknya mayat. Mataku sekadar kuasa menyedot suram. Jemari ringkihku mengusap-usap gundukan tanah yang tertabur banyak bunga—kedua tanganku berusaha mendekapnya. Apa aku harus mati?
“Piya, aku tidak benar-benar pergi, aku hanya kembali ke duaniaku. Aku tak tega meninggalkanmu, aku tahu rasanya tak memiliki teman satu pun. Maka aku akan memberikan suara untukmu, agar kau memiliki teman atau bahkan sahabat di duniamu. Tentu yang jauh lebih baik dariku. Maafkan aku, Piya.”
“Tetapi kau adalah sahabat yang paling baik untukku, Ello.”
Editor: Helmalia Putri