Tag: Puisi

PERAWAN
SAJAK, SASTRA

PERAWAN

Oleh: Mukti Palupi Ilustrasi: Nur Komariah Untukmu Serigala Penyerang Andai kau tak merayu Andai kau tak memaksa Andai rasa penasaran tak semena mena menggebu Mungkin khayalan tentangmu masih menjadi khayal Batin hendak menentang Gejolaknya benar-benar menjengkelkan Diamku tak menakrifkan setuju Tahu diri ini terlarang Tapi hasrat dewasa tak sudi berbohong Tidak Harusnya bisa menyelamatkanku Tapi atas nama kebodohan, aku pasrah Aset yang tak pernah ada cadangannya Untukmu Serigala Penyerang
TERELIMINASI
SASTRA

TERELIMINASI

Oleh : Afifah Dwi Marhaeni Ilustrasi: Nur Komariah Kuceritakan sebuah kisah pelikYang berotasi, bergulir, tak tersadarkanKita melihat, kita merasa, kita hadirkanKian waktu, kian terpuruk, sungguh malang Demi mengorek-orek nafkahJerih payah mengais upahCucuran keringat tak terbantahkanMengalir deras tak terpedulikan Terik sang surya menyengat kulit coklatnyaKepulan asap yang tak terhitung hadirnyaBerkali-kali menerobos hidungnyaTerkuras emosinya pada akhirnya Berapa kali makian yang ia lontarkanBerapa kali keributan yang ia ciptakanBerebut penumpang dengan sesamaDemi terisi, penyambung hidupnya Jalanan kota di luar kepalanyaTak akan tersesat kita dibawa roda empat iniAsal katakan mau ke manaAsal berikan saja upah tambahannya Namun, kian hari ia kian terpurukKian hari ki...
Pria Berkerah Biru
SAJAK, SASTRA

Pria Berkerah Biru

Oleh: Mushanif Ramdany* Kala sore berjalan menyusuri alun kota binar kesunyian kian melambai Ia datang sampai ketika jalan dipenuhi duri tajam seraya bertanya: “Tahukah kamu pria berkerah biru itu?” seketika mengerut dahi sang pawang UU   Lama dalam jeruji Asal ketuk jadi   Sang pawang angkat bicara: “Aku tak kenal dia, tapi aku kenal orang yang bersepatu pantofel hitam itu.”   *Mahasiswa Hubungan Internasional Unsoed angkatan 2016.   Catatan Redaksi: Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 36 | Agustus 2018 pada Rubrik Puisi.
Koboi-koboi Setelah Perang
SAJAK, SASTRA

Koboi-koboi Setelah Perang

Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad* Satu pelor menancap di kepala lawan Tess! Masih kuat jua dia berdiri Sayang, dia roboh di sekon keempat Asik betul bisnis penghilangan nyawa ini Mencopot nyawa orang Habis itu dibayar pula Keadilan mesti ditegakkan Panji-panji itu melindungimu Mata dibalas mata Nyawa dibalas mata Sekali kita berurusan, sekali pula diselesaikan Deru pendek mesiu Mengubah serbuk menjadi asap kelabu Dalam masalah yang tak selesaikan Kita tak kenal hitung-hitungan Tak ada abu-abu dalam takaran hidup dan mati Pilihan hanya satu Menumpas atau ditumpas   *Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2016, penulis cerpen dan puisi.  
Pintu Besi
SAJAK, SASTRA

Pintu Besi

Oleh: Nurhidayat* Pintu besi baru saja terinstal pada sudut presisi Penuh kalkulasi, semua dikerjakan tukang las terakreditasi Pak tua yang sudah seharusnya dikremasi justru mencaci hasil produksi Kala menyiapkan lidah untuk mengkritisi Dadanya sesak terisi frustasi   Pergulatan sengit dalam isi pangkal uban, meski tak ada serapah tumpah Si Bangka protes perihal warna terlalu cerah “Warnanya terlalu menyala. Tak seperti besi tua,” keluhnya dengan sisa nafas orang tua yang payah   Mata pengelas mencelik, persis penis anak SD belum disunat yang dimain-mainkan Urat-urat merah di bagian putih mata mencekik orang tua yang renta beruban   Si pengelas enggan merevisi, dia hanya mau membuat yang terlihat gres Pengelas yang idealis berpikir dua menit lalu memb...
Ikat Kepala Merah
SAJAK, SASTRA

Ikat Kepala Merah

Oleh: Nurhidayat* Sambil berorasi meruntuhkan kursi Sambil beronani mengejakulasikan makna Mengencangkan ikat kepala yang hendak jatuh Berkaca agar kain itu tepat menutupi jidat Meraba agar ikatan tepat di kuncir belakang kepala   Kebenaran dan keadilan menumpuk punggungnya Seberat teriakan petani membeli sepatu anaknya Setinggi cita-cita pendiri negaranya Setebal rindu seorang aktivis kepada kelulusannya   Idealisme yang meruntuhkan namun segera rubuh Keberanian yang menggetarkan namun segera luruh Kesucian yang menyucikan namun segera lusuh Keilmiahan yang mencerdaskan namun segera rusuh   Besi-besi muda yang tak sempat tersepuh Batu-batu mulia yang tak sempat terasah Harta karun melimpah yang tak sempat terjamah Juga kipas-kipas yang salah arah...
Kemajuan yang Mundur
SAJAK, SASTRA

Kemajuan yang Mundur

  Oleh: Emerald Magma Audha Seribu teman punya Saling berbicara Kenal pun tak Kemajuan yang katanya segalanya Celotehnya terbaik Perasaan tak nyata Sosial katanya Padahal terasing Keheningan angkutan jejal sesak Sekadar obrol,  takut aneh ujarnya Layaknya robot, normal ujarnya iPad hibur anak Orang tua hebat katanya Sepatu tak pernah sobek Ayunan tak pernah bergerak Semua menunduk Tanpa mata dan mata Sebab layar Telepon pintar dan manusia bodoh Tuk tuk tuk Hei, sedang apa kau? Lagi sibuk Ngeklik! Catatan Redaksi: Tulisan ini pernah dimuat di BU tanggal 19 April 2016. Namun beberapa waktu lalu BU pernah terserang badware, mengakibatkan beberapa tulisan yang telah terbit pun hilang. Oleh karena itu, tulisan ini dimuat ulang agar bisa terbaca oleh Anda yang...
Alam-Malam
SAJAK, SASTRA

Alam-Malam

Oleh: Ari Mai Masturoh   Renyah riuh tawa segerombol anak muda Bersenjata dawai bernada hingga beraroma Berserah, pasrah Menjemput asa tebungkus ruang angkasa memagutkan diri, mencari jati diri Meski hanya duri yang didapati Tapi, tawa tak mungkin rela berhenti Tanah mengintip, tak lupa merintih Mencoba memadu kasih dengan kerikil mungil Menahan aspal panas yang menindih Menopang bangun ruang yang semakin meninggi Air pun tak mampu menahan diri berganti komposisi Hingga malu menyajikan diri pada akar pohon untuk mempercantik diri Agar batang dan daun berselimut cahaya lampu mampu memikat hati Dan orang-orang tak segan mengabadikan diri dengannya melalui bidikan fotografi Di seberang muka tampak ibu bertenaga mencoba bermain Bermodal jarik dan nyala l...
Malam Istimewa
SAJAK, SASTRA

Malam Istimewa

Oleh: Nurhidayat Jumat malam sabtu, sehari lagi minggu ribuan manusia memadati alun-alun tak berumput itu konon, mereka berkumpul untuk menatap sinden idaman. Aku, bukan. Jumat malam Sabtu, ada tiga pintu ribuan kaki melewati lubang itu balkon, jadi tempat baik dan nyaman. Aku, enggan. Jumat malam sabtu, bukan tanggal satu ribuan mata tertipu, sungguh, di tempat itu menonton, lalu berteriak laiknya kesurupan. Aku, mulai bosan Jumat malam sabtu, yang kuingat cuma satu mataku benar terpaku, di belahan itu balon, seperti melingkar semu aku, berlatih pernafasan Jumat malam Sabtu, ternyata tak cuma satu mataku makin terpaku, di bawah yang itu akson, membuat desir deru. Aku, aku tertahan Jumat malam sabtu, aku mulai beku kawanku kusenggol lalu setuju alon, pergi ke buritan...
Elak
SAJAK, SASTRA

Elak

Oleh: Yenny Fitri Kumalasari I. Kutulis surat untuk laut Angin menghembusnya Kutulis pula pada pasir Ombak menggulungnya Lalu, kutulis padamu II. Denting jam dinding kurasaberhenti Angin malam laksana engganmenghampiri Dan dirimu, di balikPintu itu, memunggungi III. Baru saja kulihat pria menangisdi balik kopiahnya Dengan air kendi dan asap batangsembilan senti IV. Air tak pernah sekeruh ini,katanya Beriak kecil namun kontinu Ini aurora, meski berharapfatamorgana V. Hei, apakah kau melihat perempuan mati sore tadi? *Penulis adalah sedang mempelajari fisika di FMIPA Unsoed,Pemimpin Perusahaan LPM Sketsa. Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses oleh pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi ber...