Oleh: Helmalia Putri
Di tangan Rumsah kerinduan itu tercekik, berkelindan dengan darah yang semerbak melukai lalat. Enam tahun sudah berlalu, Ia ikhlas bahwa kehidupan akan terus berlanjut meski Wanto tak bersamanya. Ia lega saat mencuci tangan di Stasiun Tapitra untuk membersihkan ceceran kenistaan ketika asmara kala itu membuatnya seperti sedang dikoyak kebodohan. Bagaimana tidak, Wanto menjadikannya pilihan hanya untuk mencari kebahagiaan bersama dengan wanita-wanita lain, sedangkan Rumsah menjadikan Wanto satu-satunya yang selalu bersemayam di ruang bahagia miliknya.
Perjalanan yang cukup jauh untuk Rumsah yang cepat kehabisan energi. Ia memandang ke luar, rumput-rumput melambaikan kegembiraan turut merayakan akhir kegilaannya terhadap Wanto. Saat mesin terus menderu, Ia hilang fokus pada kursi yang berada di sebelah kirinya. Ia terkejut saat mendapati seorang lelaki duduk dengan menyilangkan kaki, lelaki itu mengenakan luaran baju berwarna hijau tua. Ia terkejut pasalnya sejak Rumsah masuk lalu duduk dan kereta mulai berjalan, tak ada sama sekali orang lain selain Rumsah yang duduk di kolom kursi itu. Pertanyaan liar mulai keluar dari benak dan pikirannya, “Apakah dia benar-benar manusia, ataukah manusia seperti Wanto yang bisa datang dan pergi seenak hati?” Rumsah membatin.
Tak begitu lama membuatnya terus bertanya-tanya, Ia kembali memandang ke luar. Rintik mulai berjatuhan mendarat di seluruh bagian luar kereta saat hari berganti gelap, di kejauhan lampu terlihat berkedip, Kota Orana sudah dekat. Tak sabar Rumsah ingin merebahkan tubuhnya, tulang belakangnya pun sudah mual ingin mengeluarkan keresahan.
Setelah enam jam duduk menopang tubuh kecilnya, sambil menghela napas panjang dan sedikit melamun, Rumsah sampai di Kota Orana. Orang-orang sering menyebutnya Toerana Tena. Ia tidak begitu mengerti mengapa bisa disebut seperti itu, mungkin kota ini nyaman untuk hidup, termasuk untuk menyembuhkan kegilaan seperti yang dialami Rumsah.
Ketika tak lama akan beranjak, ada suara yang mengajaknya berbicara. Namun, Rumsah tak langsung mengalihkan perhatiannya, mungkin seseorang itu melihat Rumsah seperti kebingungan akan turun atau terus lanjut ke stasiun terakhir. “Eh, iya,” Rumsah menjawabnya dengan sedikit terkejut. “Turun di sini juga?” Lelaki itu bertanya, tetapi Rumsah malah semakin terdiam saat melihat wajahnya. Alis sedikit tebal dengan kacamata bulat. Tak lama, Rumsah kembali tersadar bahwa di depannya ada seseorang yang mengajak berbicara. “Oh, iya iya. Saya turun di sini.” Tanpa kelanjutan, Rumsah hanya tersenyum lalu lebih dahulu pergi menuju pintu keluar. Kacamata bulat, alis sedikit tebal dan rambutnya yang ikal mengingatkan Rumsah pada seseorang. Seseorang yang Ia cari tahu apakah dirinya memang benar ada di dunia ini. Tanpa lama, Rumsah pun bergegas turun menyusulnya.
Pertanyaan liar tadi sudah kembali ke sarangnya. Namun, sekarang bukan hanya sekadar rasa penasaran, Ia sangat ingin mengetahui siapa laki-laki itu. Rumsah turun dengan tergesa, Ia yakin dapat menyusulnya. Setelah berada di luar, dengan cepat Rumsah memperhatikan sekelilingnya, di antara jiwa-jiwa yang berlalu-lalang dengan jeli matanya terus mencari lelaki dengan blazer warna hijau tua dan berkacamata bulat itu. Degup jantungnya kembali normal, tetapi Ia tak menemukan sedikit pun bagian dari lelaki itu. Rumsah mulai kesal, “Memang, semua lelaki sama saja. Datang dan pergi seenaknya.” Dengan hatinya yang masih sangat ingin tahu, Ia sampai lupa bahwa dirinya sudah menginjakkan kaki di Kota Orana. Ia terus berjalan menuju tempat tinggalnya yang baru, Ia akan memulai semuanya di kota ini. Kota Orana.
Hidupnya terus berlanjut. Ia tenang walau masih diikuti rasa penasaran tentang lelaki itu. Sampai pada saat Ia menulis, tiba-tiba Rumsah terkejut dan menghentikan napasnya. Ia teringat pada masa ketika dirinya berada dalam suatu kegiatan. Saat itu Rumsah menjadi peserta dalam acara pelatihan kepenulisan. Peserta yang mengikuti acara tersebut cukup banyak, Rumsah ada di salah satu kelompok dengan jumlah anggota sama seperti kelompok yang lainnya. Rumsah bertemu dengan seorang lelaki, Ia tertarik dengannya. Badri, lelaki dengan rambut ikal dan kacamata bulatnya. Hanya itu yang dapat Rumsah ketahui dari dirinya dan setelah kegiatan selesai Ia tak pernah lagi bertemu dengannya. Rumsah hanya dibekali lima huruf dengan ciri rambut ikal dan kacamata bulat untuk menanggung rasa penasaran yang begitu hebatnya.
Rumsah yang tahu betul wajahnya saat itu, kini tak sanggup lagi jika harus mengingatnya, yang Rumsah tahu, Ia mempunyai rambut ikal yang khas. Namun seketika, hanya dengan rambut atau kacamata yang dikenakan saja tak mungkin lelaki itu adalah dirinya yang ditemui di masa lalu, lelaki dengan segala misterinya. Rumsah tidak ingin terlalu jauh. Namun, ada sedikit harapan bahwa dia adalah orangnya karena selama ini Rumsah selalu berharap untuk bisa dipertemukan kembali dengannya.
Sekarang, Rumsah dan Badri berada di kota yang sama. Namun, kota yang dijuluki Toerana Tena menjadi suatu hal yang besar, kota yang nyaman, kesayangan, penyembuhan. Rumsah tidak tahu Ia datang dengan tujuan apa.
Editor: Khofifah Nur Maizaroh