Hingar Bingar Kebijakan Remunerasi di Unsoed

Oleh: Faiz Maulida

Gambar: Logo Siremun Unsoed. Sumber: https://siremun.unsoed.ac.id/

“Saya minta kalian lihat dengan objektif siapa saja dosen yang sekarang masih sering membimbing skripsi buat mahasiswanya dan masih nerima kalian di tengah kesibukan kita,” ujar seorang dosen Fakultas Hukum yang enggan disebut namanya saat diwawancarai awak Sketsa pada Sabtu (28/10).

Remunerasi universitas merupakan kebijakan yang terkait dengan pembayaran insentif kinerja sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) berupa gaji dan tunjangan yang diberikan kepada dosen atau tenaga kependidikan PNS, tidak hanya di Unsoed tapi di seluruh PTN. Sumber dananya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti UKT mahasiswa, uang pangkal, dan sebagainya. Di lapangan, remunerasi adalah perkara yang serius, kompleks, dan sensitif untuk dibahas karena sering terjadi ketegangan dalam pembuatan kebijakannya. 

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) sendiri merupakan salah satu lembaga yang mengalami kesulitan tersebut. Pada bulan September 2023 lalu, diinformasikan terjadi sosialisasi terkait perubahan penerimaan remunerasi. “Dosen-dosen yang kinerja yang tinggi itu dipanggil terus diinformasikan. Dijelaskan bahwa intinya pihak universitas tidak mampu membayar kita secara pantas. Ada pengurangan. Kenapa? Karena katanya anggarannya berkurang,” ujar dosen tersebut saat memberi keterangannya terkait dengan pemanggilan tersebut.

Dalam pemanggilan tersebut, dijelaskan bahwa ada penurunan anggaran yang cukup signifikan. “Semester ini harusnya Unsoed itu punya uang kurang lebih idealnya Rp15 sampai Rp18 miliar untuk biaya remunerasi P2-nya semua dosen. Tapi ternyata uang riilnya cuma ada Rp8,9 miliar. Pertanyaannya, ke mana sih uang yang lain?” Sebutnya.

Dosen-dosen di beberapa fakultas seperti Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (Fikes), Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sudah membuat petisi terkait dengan hal ini. Fakultas lain seperti Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Teknik (FT) sudah menyampaikan keluhan mereka melalui senat perwakilan masing-masing. Fakulas Kedokteran (FK) bahkan sampai pernyataan tertulis dan membuat video Instagram dengan maksud yang menyindir, walaupun akhirnya dihapus setelah pihak Rektorat melakukan tindakan responsif untuk datang langsung menyosialisasikan keputusan ini.

Seperti diketahui, setiap staf pendidik dan kependidikan mempunyai kinerja yang dapat diperhitungkan. Contohnya dosen dengan pengisian kelas, melakukan bimbingan, menjadi panitia di suatu konferensi, dan lain-lain. Kinerja tersebut nantinya dibuktikan dengan Surat Keputusan (SK) yang dijadikan poin. Kemudian poin tersebut akan dikumpulkan di situs Siremun dan dikalikan dengan indeks standar yang sudah ditetapkan. Hasil dari penghitungan tersebut akan menghasilkan insentif yang dibayarkan per enam bulan sekali. 

Dalam penjelasannya dosen tersebut juga berpendapat jika ketegangan tersebut diduga juga berasal dari rumus baru dalam penghitungan poin yang dibuat oleh Tim Komisi Remunerasi (Korem). “Tiba-tiba, mulai dua tahunan terakhir ini muncul rumus baru. Diperhitungkan dan dibikin aturan baru yang menyesuaikan tiap golongan.”

Dosen yang menerima remunerasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu dosen dengan tugas tambah (DT) dan dosen biasa (DS). Yang membedakan DT dengan DS itu ada pada syarat menerima insentif. Untuk DT basisnya adalah kontrak kinerja, dihitung menggunakan peringkat kinerja yaitu sangat baik, baik 1, baik 2, dan baik 3. Sedangkan untuk DS basisnya adalah pekerjaan sebagai dosen yaitu tridarma seperti mengajar, penelitian, dan pengabdian, dihitung berdasarkan poin yang didapatkan. Cara mengukur insentifnya adalah berdasarkan pengelompokan kelas jabatan. 

Dengan adanya pengurangan anggaran signifikan seperti yang dijelaskan dalam pemanggilan di atas, setiap golongan akan dibatasi maksimal penerimaannya sesuai dengan kelas jabatan masing-masing. Itu artinya, semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi pula jumlah insentif yang akan didapatkan. 

“Padahal kenyataannya yang kerja keras itu biasanya dosen-dosen muda. Karena aturan rumus ini hanya mengizinkan orang kerja sesuai grade-nya saja, mendingan bos-bos aja yang ‘cangkir’nya gede-gede, ‘baskom’nya gede-gede, ‘kolam’nya gede-gede, bos semua aja yang kerjain. Sekarang secara organisasi blunder enggak bikin aturan begitu? Kalau dosennya malas, demotivasi, kalian mau diajarin ilmu apa sama dosennya?” Sindir dosen tersebut.

Tanggapan Tim Korem

Ketua Tim Remunerasi, Lutfhi Makhasin, saat diwawancarai oleh awak Sketsa pada Jumat (17/11) mengatakan jika penyesuaian rumus tersebut dibuat berdasarkan keputusan pimpinan yang membayar sesuai dengan skema tukin (tunjangan kinerja). Sebelum remunerasi diterapkan, pada saat belum menjadi PTN-BLU, Unsoed menerapkan kebijakan tunjangan kinerja (tukin). Dulu tukin dibayar menggunakan APBN. Setelah beralih menjadi PTN-BLU, anggaran dari APBN tersebut dihentikan dan kemudian dialihkan ke anggaran remunerasi. 

Terkait dengan dugaan penyelewengan dana, menurut Lutfhi itu hanya soal kesalahan pimpinan dalam menjelaskan adanya kesalahan angka dalam menggunakan aplikasi excel saat sosialisasi soal kebijakan remunerasi terbaru ini melalui ZOOM. “Terkait realisasi, clear. Tidak ada masalah. Itu kalau beneran, Unsoed bisa masuk kasus nasional lagi. Saya pastikan tidak ada,” tegasnya.

Lebih lanjut, faktor work life balance juga menjadi pertimbangan dalam pembuatan rumus tersebut. Itu dikarenakan dosen seharusnya berkinerja 32 sks atau hitungannya adalah 90 jam perminggu. Sementara data menunjukkan ada 24% dosen unsoed yang kinerjanya melampaui angka 90 jam perminggu. Lebih jauh, secara objektif, karena jumlah mahasiswa naik dari tahun ke tahun, beban kerja juga otomatis akan terus bertambah. Kemudian, rumus tersebut juga dapat menjadikan Unsoed sebagai lembaga yang memastikan kesehatan para dosennya. 

“Di Unsoed itu ada dosen yang abnormal, SK-nya sehari bisa dua. Organisasi buruh internasional saja menyebut kerja itu cuma 40 jam perminggu,” ungkap dosen Program Studi Ilmu Politik tersebut. 

Tak lupa Lutfhi juga membandingkan kebijakan remunerasi di Unsoed ini dengan universitas lain yang menurutnya kurang memperhatikan faktor-faktor work life balance tersebut. Ia menyebut jika di Universitas Brawijaya (UB), ada dosen yang bisa mengajar dari jam tujuh pagi sampai jam sepuluh malam. Ini dikarenakan UB memiliki rata-rata sekitar delapan kelas dalam satu angkatan sebuah jurusan, hampir tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah yang ada di Unsoed. “Dosen UB itu saya pikir-pikir bakal senang karena remunnya gede banget, bisa lima kali lipat. Tapi pas saya tanya bahagia apa enggak? Oh enggak.”

Faktor lainnya yang paling berpengaruh dalam pembuatan rumus tersebut adalah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini membuka kesempatan bagi dosen maupun mahasiswa untuk melaksanakan berbagai kegiatan perkuliahan di luar kampus. Oleh sebab itu, program yang dijalankan bertambah banyak dan dibarengi dengan SK yang banyak pula. Sehingga beban kerja dan uang remunerasi yang diklaim tidak seimbang. 

“Remunerasi itu dibayarkan sesuai dengan kemampuan keuangan universitas, bukan dibayarkan sesuai dengan banyaknya kinerja dosen atau tendik atau pejabat,” jelas Luthfi soal ketentuan kebijakan remunerasi. 

Berbicara soal kemampuan bayar, Lutfhi mengatakan jika pagu dari remunerasi Unsoed ini sebenarnya selalu naik setiap tahun sejak 2017, walau secara eksplisit tak mau menyebutkan angkanya. Namun, ia juga tidak menampik jika ada keterbatasan dana untuk membayar semua SK atau poin yang sudah terkumpul. “Kalau mau dibayar semua, ibaratnya gini, duit yang disediakan pimpinan itu satu ‘ember’, sementara kinerja yang dilaporkan dan harus dibayarkan itu dua ‘ember’,” jelasnya.

Tanggapan Dari Rektorat

Mengenai peraturan pendanaan remunerasi, seharusnya Unsoed mematuhi ketentuan alokasi maksimum sebesar 40% dari PNBP, mengikuti aturan yang telah disetujui oleh semua PTN-BLU di seluruh Indonesia. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menjaga agar PNBP dapat dialokasikan secara efisien untuk mendukung berbagai program, termasuk pelayanan dan kegiatan mahasiswa.

Aturan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang terjadi di Unsoed sehingga dikeluarkanlah kebijakan baru terkait dengan rumus penghitungannya. Seperti yang dijelaskan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat, Waluyo Handoko saat ditemui awak Sketsa pada Senin (20/11). “Dalam praktiknya adalah, usulan dari unit itu selalu melebihi pagu yang Unsoed punya, sehingga waktu itu ada penyesuaian.”

Terkait dengan ketegangan yang terjadi pada bulan September kemarin, sebenarnya tidak ada masalah terkait dengan pagu yang ditetapkan. Hanya saja dalam proses pembayaran ada pembobotan yang berbeda. Untuk tahun ini sendiri, sudah direncanakan untuk mengalokasikan Rp 95,3 miliar. Seperti diketahui, remunerasi dibayarkan dua kali dalam satu tahun. Yang terjadi adalah, pembayaran untuk enam bulan pertama memakan hampir 70% dari total anggaran, sedangkan sisanya hanya 30%. Ini yang membuat adanya keterbatasan dana untuk membayar SK dan poin yang sudah terkumpul pada 6 bulan berikutnya. 

“Memang, diakui oleh tim remun, ada sedikit kekeliruan dalam jumlah pembayaran di 6 bulan pertama,” ujar Waluyo.

Gambaran Pendapatan Unsoed 

Salah satu faktor permasalahan terbesar dari remunerasi yang terjadi di Unsoed adalah kecilnya dana PNBP. Pendapatan Unsoed pada 2023 ini ada di angka Rp 266 miliar, angka ini sebenarnya turun sekitar Rp 20 miliar. Padahal Unsoed sudah menaikkan jumlah kuota mahasiswa baru. Tahun 2023 ini Unsoed ini Unsoed menerima 7296 mahasiswa baru, naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 6061. 

Ada beberapa hal yang mengakibatkan penurunan tersebut, salah satunya adalah peningkatan tajam terkait jumlah mahasiswa baru Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yang diterima melalui beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) dibanding tahun sebelumnya. Dalam aturan yang dibuat pemerintah, kuota yang dibiayai pemerintah yang diterima Unsoed hanya 330 mahasiswa, sementara mahasiswa baru yang diterima dengan beasiswa KIPK sudah mencapai 1100 lebih. 

“Berkahnya nih kita bisa menolong banyak orang untuk sekolah, kata pak rektor. Tapi kita di bidang perencanaan yang pusing setengah mati,” candanya.

Reporter: Faiz Maulida, Desi Fitriani, Balqist Maghfira Xielfa, Isnaini Akmal Marfu’ah, Chynthia Maharani Sulistyowati, Fitria Ademia Rachma

Editor: Desi Fitriani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *