Oleh: Arie Satria
Tanpa ia sadari kerlapan bintang dimatanya semakin memenuhi ekspektasi mengenai dunia luar. Asap dari cerutu yang masih hangat terbakar menghiasi kamar dan delusi yang semakin berandai tentang bagaimana alam menata kehidupan manusia yang penuh dengan kekacauan.
“Sampai detik ini dia masih saja menyerukan nama petinggi yang bahkan tak menggubris dirinya sama sekali di kondisi ini,” ucap sang pengepul besi yang menyeka keringatnya didepan tungku perapian. Besi karatan menjadi saksi bisu menyaksikan sang pengepul di jarah oleh ketidakmampuan dalam meraih cerita hidup yang bahagia.
Semua keringat dan darah yang mengucur di antara pelipisnya menandakan hal besar telah terjadi, seruan yang tadinya membara semangat berakhir dengan suara senapan dan desakan pelarian. “PENGECUT!” ujarnya.
Ia berjalan dengan luntang dan terpingkal menuju barikade dengan segenap harapan yang di pikul pundak rentanya, seketika kilasan memori Takumi kembali tepat sebelum pengeboman yang baru saja membumihanguskan kota Hiroshima pada saat itu.
Takumi masih berseteru dengan tetangganya karena hasil pertanian, disusul dengan tawa kecil anak-anak yang menghiasi hari. Silih berganti orang-orang berjalan melewati depan rumah Takumi, dengan segenap harapan dan semangat pagi ia mulai menjalankan gerobaknya, berusaha untuk menjalankan aktivitas seperti biasa. Takumi menyimpulkan senyumnya sambil menatap langit yang sedikit berawan, kelabu ditambah hitam adalah perpaduan yang menutupi sang surya, bahkan cahaya matahari tidak dapat menembus awan yang tebal.
Seolah alam dengan kepekaannya mengisyaratkan bahwa mara bahaya akan datang, tak hanya sendiri deruan sirene yang memekikkan telinga mengakibatkan lautan manusia berhamburan berusaha menyelamatkan diri seolah mengetahui hal buruk akan terjadi karena suara tersebut. Dua kapal yang bertandakan paman sam menjatuhkan amunisi yang selama ini disiapkan untuk balas dendam.
Takumi sambil menutupi kepalanya berlindung di bawah gerobak kayu, seketika gedung-gedung dan rumah sudah luluh lantak sepersekian detik dengan daya ledak beradius 10 km, Takumi terdorong oleh daya ledak maha dahsyat yang meratakan kota tempat kelahirannya dengan sekali kedipan. Abu yang beterbangan menyapu mukanya dengan cepat sampai mengaburkan pandangan.
“Ibu…Ayah… Aku takut.” Tangan yang bergetar dan napas yang sesak adalah
kondisi Takumi saat itu, ia bahkan tidak mengetahui bahwa peperangan dingin ini harus merenggut semua yang dimilikinya. Kaki yang terhimpit batu sisa reruntuhan bangunan yang baru ia sadari bahwa itu adalah tempat tinggalnya yang atapnya dilapisi dengan chat berwarna biru yang menandakan langit yang indah dan tenang.
Kias-kias memori baru yang terjadi beberapa menit lalu membuat Takumi senantiasa berdoa agar adanya kedamaian di dunia tempat ia tinggal, kepalanya miring merelakan semua yang ada di dunia ini sebab kesendirian yang mendera kalbu. Kini pemandangan yang semula rindang dan penuh kebahagiaan, menyisakan debu keputusasaan dan kesedihan. Sunyi, adalah hal yang memenuhi kepala Takumi sampai rasa hidup yang dijalaninya tanpa disadari menjadi tak bermakna. Ia kemudian memandang sekumpulan tanah rata yang membuat air matanya menetes membasahi kekosongan itu, rintihan penuh ketidakmampuan hanya dapat menemaninya saat itu.
Indra pendengarannya meluas mendengar bahwa akan adanya gencatan senjata dari pihak militer, semangatnya yang telah pupus hanya dapat menyaksikan akhir dari peran yang ia mainkan selama ini, badannya yang sudah rusak akibat serangan bom tersebut terduduk diatas kursi reyot sambil terdiam melihat sekitar gubuk kotornya.
Mata yang terlihat sayu dan napas yang berat ditambah dengan kondisi suara tembakan yang sudah mulai muncul, ia menatap langit sambil merasakan guncangan demi guncangan dari mesin petarung yang telah dikerahkan. Suara hentakan kaki langsung memenuhi lingkungan dan sekitarnya.
“LARI!” deruan suara matang yang memekikkan telinga dan membuat seketika ledakan yang bukan hanya menewaskan sekumpulan kesatria, menghancurkan secerca harapan yang telah ia genggam.
“Bahkan sampai saat ini, kedamaian tidak dapat diciptakan oleh mereka.”
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2021