Oleh : Afifah Dwi Marhaeni
Kuceritakan sebuah kisah pelik
Yang berotasi, bergulir, tak tersadarkan
Kita melihat, kita merasa, kita hadirkan
Kian waktu, kian terpuruk, sungguh malang
Demi mengorek-orek nafkah
Jerih payah mengais upah
Cucuran keringat tak terbantahkan
Mengalir deras tak terpedulikan
Terik sang surya menyengat kulit coklatnya
Kepulan asap yang tak terhitung hadirnya
Berkali-kali menerobos hidungnya
Terkuras emosinya pada akhirnya
Berapa kali makian yang ia lontarkan
Berapa kali keributan yang ia ciptakan
Berebut penumpang dengan sesama
Demi terisi, penyambung hidupnya
Jalanan kota di luar kepalanya
Tak akan tersesat kita dibawa roda empat ini
Asal katakan mau ke mana
Asal berikan saja upah tambahannya
Namun, kian hari ia kian terpuruk
Kian hari kian terlibas
Kian hari berkuranglah satu persatu
Peminat pemberinya upah
Menggantunglah nasibnya
Antara menyudahi atau disudahi
Mau bagaimana lagi?
Jika keadaan sudah begini
Kita membuatnya terpuruk
Kita membuatnya tersingkir
Kita yang tak setia
Kita yang sudah berpaling
Dulu, setia kita menunggu hadirnya
Tak kunjung datang, sabarlah kita
Senyum sumringah, merekah
Merasakan jemputannya
Desakan manusia tak dipedulikan
Bau menyengat tak terhiraukan
Bau badan yang amat bacin pun masa bodoh
Yang penting kita dijemputnya
Lalu, gawai merajalela
Perkembangan pun semena-mena
Utak-atik sedikit, hadirlah ia
Yang lebih keren darinya
Pada akhirnya ia ditinggalkan
Berpegang pada kesetiaan
Tetap bertahan, tak berubah
Walau kenyataan sungguhlah kejam
Ia tak sedang bersaing
Namun kenyataan menyainginya
Membuatnya merasa tersingkir, tereliminasi
Oleh teknologi masa kini