Semangat Kemerdekaan Temporal

Dedhes Anggara/Antara Foto dalam Majalah Detik
Dedhes Anggara/Antara Foto dalam Majalah Detik

Oleh: Muhammad Aditya Firdaus*

Pasal pemilu pemilu yang belum terselesaikan mewarnai 17 Agustus tahun ini. Menilik 69 tahun yang lalu dimana sang proklamator dwitunggal memproklamasikan berakhirnya koersi terhadap bangsa ini dari penjajah di tanah air, atmosfer sukacita dan kebanggan mewarnai rakyat Indonesia sembari menghaturkan rasa syukur kepada Sang Pencipta, Sang Pembebas dalam balutan bulan suci. Meskipun demikian sekian tahun kemudian setelah para pionir menyingkir dari dunia, perayaan kemerdekaan yang sakral meminta keyakinan, hati, dan darah pahlawan nampak sedikit ternoda adanya permasalahan prinsipil terkait suara rakyat.

Tanggal 17 Agustus tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya kedua capres berebut bendera. Berusaha untuk saling mengungguli dalam hal jumlah suara. Sengketa pilpres yang belum juga usai hingga kini memberikan gambaran jelas bahwa politik negeri ini masih kekanak-kanakan. Terlepas dari motif dibelakangnya, pihak yang kalah terkesan tidak terima. Mereka seperti berusaha mencari-cari alasan, berdalih dengan berbagai cara seperti adanya penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penyelenggara dan sebagainya. Sedangkan pihak yang menang nampak santai dan menyerahkan kasus sengketa kepada pihak-pihak terkait dalam “gedung sembilan pilar”.

Carut-marut kondisi politik saat ini diperparah dengan berbagai macam kondisi degradasi moral para penguasa. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang tak terhitung jumlahnya. Pelanggaran aturan dan norma-norma kini mewarnai layar kaca. Dimanakah sakralitas kemerdekaan Indonesia? Dimanakah sakralitas demokrasi?

Perayaan kemerdekaan Indonesia seharusnya dijadikan sebagai momen untuk introspeksi dan evaluasi, sebagai momen untuk berkaca, apakah negara ini masih berjalan pada rel yang benar seperti tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945 atau tidak? Apakah roda politik, ekonomi, sosial, demokrasi masih bergulir on the right track?

Jika kita semua mengamati secara saksama perayaan kemerdekaan dari tahun ke tahun seperti halnya fenomena bulan Ramadhan bagi sebagian kaum muslim yang beriman tipis. Perhatikanlah apa yang terjadi pada bulan Ramadhan. Wanita-wanita yang sebelumnya menggeraikan mahkota pada bulan Ramadhan menghijabnya. Masjid-masjid yang sebelumnya sepi, tiba-tiba menjadi ramai. Semua orang menjadi bersemangat untuk beribadah dan melakukan kebajikan. Namun sayang, hal itu hanya bertahan hingga perayaan hari raya. Setelah itu apa yang terjadi? Semuanya kembali seperti semula.

Para wanita kembali memamerkan mahkota dan perhiasan mereka dan masjid-masjid kembali sepi pengunjung. Bulan Ramadhan hanya menjadi sekedar perayaan seremonial belaka tanpa makna dan arti. Tidak memberikan perubahan lebih baik.

Hal pun terjadi dalam kasus perayaan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dahulu para pahlawan bangsa menitikkan air mata, dengan darah bercucuran. Luka perang dan perban merias sekujur tubuh. Mereka memaknai bahwa apa yang telah mereka korbankan selama perjuangan menghancurkan koersi telah mendapat balasan setimpal: kemerdekaan. Lalu, mereka mengharu biru berteriak girang dan bertekad akan mengisinya dengan berbagai usaha untuk mewujudkan cita-cita agung bangsa Indonesia. Tetapi itu dahulu, bagaimana kondisi sekarang? Tak pelak lagi bahwa semangat juang para pahlawan memudar seiring memudarnya dentuman bom dan desingan peluru dari generasi ke generasi pewaris tanah air.

Generasi kontemporer kini tak lagi bertanya-tanya tentang esensi kemerdekaan, tak mempertanyakan mengapa setiap tanggal 17 Agustus mereka harus berupacara. Berdiri berpanas-panasan mendengar kicauan pembicara di depan. Mengapa memasang umbul-umbul wajib hukumnya? Bahkan banyak sekali jalan-jalan gang yang sama sekali penuh dengan atribut tujuhbelasan, namun tanpa esensi

Perayaan kemerdekaan kini hanya sekedar perayaan, mungkin karena tak ada lagi tetesan air mata apalagi cucuran darah. Esensinya memudar, yang tersisa hanyalah rasa bangga dan nasionalisme bersifat temporal. Hal ini tak hanya terjadi pada generasi muda bangsa ini saja, tetapi juga para pemangku pemerintahan. Esensi kemerdekaan tak lagi mereka rasakan apalagi resapi mendalam pada jiwa sanubari. Hanya sehari saja mereka mengenang perjuangan pahlawan dalam 365 hari dalam setahun.

Hal ini berimbas pada berjalannya roda pemerintahan yang tidak lagi pada rel yang seharusnya. Pancasila dan demokrasi hanya sebagai wacana, menghilangnya unsur waktu dalam proyek pembangunan menghasilkan proyek-proyek abadi yang tidak pernah selesai.

Nasionalisme, hal yang mendasari dan mendorong terjadinya kemerdekaan Indonesia pun memiliki nasib serupa dengan perayaan kemerdekaan. Nasionalisme mencerminkan kita sebagai bangsa Indonesia mulai menghilang perlahan. Tergantikan oleh semangat-semangat primordialisme ataupun dengan berbagai macam bentuk paham, aliran, dan keyakinan luar yang tidak sejalan dengan nasionalisme Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya aliran luar yang gencar disiarkan oleh media seperti ISIS, hedonisme, kapitalisme, separatisme, dan hippie. Nasionalisme mengisi hati dan pikiran bangsa Indonesia hanya pada saat perayaan kemerdekaan.

Segala usaha negara dalam menumbuhkan rasa nasionalisme pada masyarakat dianggap gagal. Hal ini bisa kita lihat dalam perilaku para wakil rakyat dan pemangku pemerintahan yang sebagian besar berbagai macam pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, sikap sebagian besar masyarakat yang apatis dan pasif terhadap berjalannya roda pemerintahan. Terjadi krisis rasa memiliki negara wakil rakyat, pemangku pemerintah, dan masyarakat. Sebagian besar dari mereka tidak peduli dengan negara ini. Mereka hanya memikirkan nasib diri sendiri, yang miskin memikirkan bagaimana caranya agar tetap bisa survive, yang kaya berusaha memperbanyak kekayaannya. Sedangkan para wakil rakyat dan pemangku jabatan berusaha mendapatkan keuntungan sebagai ganti modal yang telah mereka keluarkan dalam proses pencalonan dan kampanye.

Kutipan kata-kata Soe Hok Gie, “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat” bisa menjadi cara dalam menumbuhkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Cobalah kita keluar, kita perhatikan bagaimana keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya. Bukan melalui angka-angka statistik. Perhatikanlah secara langsung. Siapa kita? Siapa mereka? Siapa bangsa Indonesia sebenarnya? Apa yang menyatukan kita? Bagaimana dunia melihat kita? Apakah kita dianggap sebagai bangsa yang memiliki kehormatan atau hanya sebuah bangsa yang bersuka cita berbangga ria dalam lumpur kenistaan dan kehinaan oleh bangsa lain?

Jika kita masih memiliki hati nurani, jiwa yang bening, perasaan yang lembut apakah kita masih akan melakukan berbagai macam hal yang menurunkan kehormatan kita sebagai bangsa Indonesia? Kehormatan kita sebagai bangsa Indonesia kini telah hancur. Dunia menatap kita hanya sebatas sebagai tempat pemasaran produk-produk mereka, Indonesia adalah lumbung emas bagi perusahaan asing. Dimana harga diri kita? Apakah kita hanya mampu mengonsumsi tanpa mampu memproduksi? Apakah kita akan membiarkan bangsa asing memanipulasi dan membuat kita tetap docile

Terlepas dari krisis semangat kemerdekaan dan nasionalisme, mungkin kita masih bisa berbangga hati bahwa negara kita memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Salah satunya adalah minyak dan gas bumi seperti yang dipaparkan oleh BP Statistical Review of World Energy ada Juni 2013 Indonesia menempati posisi kedua setelah Cina se-Asia Pasifik. Produksi minyak Indonesia selama sebelas tahun dari 2002 hingga 2012 rata-rata sebesar 1042,18 ribu barel per hari. Seharusnya potensi sumber daya alam yang besar dapat digunakan sebagai <em>leverage</em> atau daya ungkit dalam meraih tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Negara-negara lain yang miskin dari segi potensi alam mampu bersaing dengan negara-negara besar dan Indonesia justru terlunta-lunta dalam hingar-bingar persaingan antar negara di dunia. Bagaikan tikus kelaparan dalam lumbung padi.

Mari kita berhenti sejenak dan merenung. Coba kita bercermin pada Jepang. Jepang bisa dibilang memulai proyek pembangunannya bersamaan dengan Indonesia dengan catatan kondisi Jepang saat itu hancur-lebur setelah dua kota penting mereka di bom atom oleh sekutu. Namun, Jepang mampu kembali bangkit dari kondisi yang memprihatinkan menjadi mengagumkan. Jepang pun menempuh proyek pembangunannya dengan waktu yang sama dengan Indonesia, yaitu sejak 69 tahun yang lalu dimana bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Begitu juga Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia tahun 2014 tercatat sejak tahun 2010 Jepang telah menanamkan modal di Indonesia sebesar US$ 0,71 M dan sampai tahun 2013 telah mencapai US$ 4,7 M. Berdasarkan data dari Bank Dunia, untuk PNB per kapita pada tahun 2013 Jepang sebesar $ 46.140 sedangkan Indonesia $ 3.580, untuk PDB tahun 2013 Jepang sebesar $ 4,902 triliun sedangkan untuk Indonesia sebesar $ 868,3 miliar, dan untuk tingkat harapan hidup tahun 2012 Jepang pada usia 83 tahun sedangkan Indonesia pada usia 71 tahun

Jalan keluar dari semua permasalahan ini adalah dengan menumbuhkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan melalui pengamatan dan observasi langsung kondisi rakyat Indonesia dari dekat sehingga momentum perayaan kemerdekaan tidak hanya seremonial semata. Perayaan kemerdekaan menjadi pemicu dan penyulut api semangat dalam usaha pembangunan Indonesia, sehingga setiap kali lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan dapat menorehkan kembali luka-luka masa lalu para pahlawan yang telah mengorbankan darah mereka sehingga semangat pembangunan selalu membara dalam setiap hati bangsa Indonesia baik para wakil rakyat, pemangku jabatan, dan masyarakat luas

Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pendekatan dan kunjungan ke masyarakat miskin yang merupakan mayoritas oleh para pemangku jabatan dan para wakil rakyat. Menyaksikan penderitaan mereka, mendengar keluhan mereka, menghibur mereka. Mengingatkan kita bahwa mereka juga adalah bangsa Indonesia dan mereka mayoritas. Apakah para wakil rakyat dan pemangku jabatan cukup sadis untuk mengabaikan mereka? Jika iya, mengapa mereka menjadi wakil rakyat dan pejabat yang notabene dipilih oleh rakyat?

Rakyat mungkin kini tak berdaya, tapi tetap para penguasa tak berhak berjumawa. Rakyat laksana bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Rakyat akan menggilas siapa pun yang tidak becus melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya rakyat akan bergerak dan semua pejabat yang tidak bertanggung jawab akan disingkirkan jika mereka apatis terhadap kepentingan rakyat

*Penulis adalah Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsoed 2013, Anggota baru LPM Sketsa

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmsketsa.com, dimuat ulang di BU (beritaunsoed.com) agar tetap bisa diakses pembaca. Portal berita lpmsketsa.com resmi beralih ke beritaunsoed.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *