Tag: jurnalisme

“Jurnalisme” Barang Hilang
ARTIKEL, KESKETSAAN

“Jurnalisme” Barang Hilang

Oleh: Emerald Magma Audha* Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani Contoh ilustrasi konten persma. “Telah hilang dompet sawo matang. Berisi KTM, duit, milik Si Anu. Hilang di sekitar jalan raya pada siang bolong, hubungi nomor ...”. Biasanya barang hilang karena dua hal: kelalaian pemilik (seperti tertinggal, terlupa, terjatuh) atau dimaling. Barang hilang yang saya maksud dalam tulisan ini barang pribadi serupa KTP, KTM, dompet, gawai, dan lainnya. Dulu, sejak saya masih baru dalam kehidupan pers kampus, konten-konten semacam itu acap menjejali linimasa media persma di Unsoed. Persma fakultas. Hampir aben pekan, ada. Ramai. Dan laku. Kalaupun menyajikan berita, kadang beritanya tak layak konsumsi−menurut standar kami. Berita yang tendensius, bukan menjernihkan. Atau, kontennya masih pars...
[RESENSI FILM] Dosa Sang Kuli Tinta
ARTIKEL

[RESENSI FILM] Dosa Sang Kuli Tinta

Oleh: Aziz Dwi Apriyanto* Judul film : Shattered Glass Sutradara : Billy Ray Penulis : Buzz Bissinger, Billy Ray Bahasa : Bahasa Inggris Durasi : 94 Menit Tanggal Rilis : 26 November 2003 Film Shattered Glass berasal dari kisah nyata tentang Ste­phen Glass, seorang jurnalis dari salah satu majalah terkenal New York, The New Republic. Kariernya yang semula bersinar terang, meredup seke­tika tatkala dia dikabarkan menulis berita hoaks. Bukan fakta yang ditulis, tapi fiksi belaka. Kebusukan Stephen mulai terbong­kar ketika artikel “Hack Heaven” terbit. Mengetahui artikel tersebut, editor ma­jalah online The Forbes Digital kesal kare­na wartawannya tidak bisa mengangkat kasus serupa, sedangkan medianya kon­sen pada pemberitaan terkait hal digital. Salah satu jurnalis The Forbes pun pe­nasaran...
Melawan “Kepandiran” Pers Mahasiswa
KESKETSAAN, OPINI

Melawan “Kepandiran” Pers Mahasiswa

Oleh: Emerald Magma Audha* Kala membaca sebuah berita—yang katanya produk jurnalistik, kening saya langsung mengernyit, akal mumet. Tulisan itu tertampung dalam dua lembar kertas A4, ditautkan dengan staples di garis tengah. Lalu, kertas dilepit dua bagian, jadilah semacam leaflet delapan halaman. Terbitan itu bernuansa hitam putih. Saya menemukannya beberapa waktu lalu—menjelang permulaan semester gasal, tergeletak di lobi kampus sebuah fakultas. Lantas, saya membawanya ke kantor redaksi Skëtsa, memamerkannya ke editor senior saya, mengajak dia “corat-coret” leaflet. Saya masih ingat, sekitar lima bulan yang lalu. Ada banyak sekali coretan (baca: kesalahan) dijumpai, hampir di seluruh laman, bahkan di setiap paragraf tulisan. Itu baru dari tanda baca, salah ketik, atau huruf yang kuran...