Berita Lama yang Tak Usang

Oleh: Miqda Al Auza’i

Ilustrasi: Tsabita Ismahananda P.

Di langit yang menaungi kotaku, rembulan agaknya enggan bertukar peran dengan matahari sebab ia masih menampakkan diri walau samar. Matahari juga malu-malu muncul, mungkin ia sungkan karena harus menggeser posisi bulan sebagai penerang. Kendati malu-malu, hangatnya sinar matahari sudah menyapa daun-daun sebelah rumah, seolah-olah membisikkan sinyal bahwa hari ini langit akan biru dan semua akan menyenangkan. Aku mengaminkan di dalam hati. Mengudarakan amin untuk hal-hal baik yang mungkin hanya Tuhan yang mau dengar, selebihnya aku tidak berharap banyak tentang apa yang akan kuhadapi di hari yang menanti ini.

Kujalani rutinitas yang sama saja setiap harinya. Bangun pagi-pagi, pergi sekolah dan mampir ke pasar untuk menitipkan keripik-keripik peyek milik ibu, sorenya pulang, belajar, dan membantu ibu. Tidak ada jadwal untuk pergi bermain dengan teman-teman dalam keseharianku. Pertama, uang saku dari ibu hanya cukup untuk makan siang. Aku bersyukur sebab jarak sekolah dan rumah bisa ditempuh dengan jalan kaki. Meski di rumah tidak ada motor, aku tak perlu pusing-pusing memikirkan bagaimana pergi ke sekolah mengingat transportasi umum di sini sangat minim. Alasan kedua adalah aku harus belajar, setidaknya aku harus menyelesaikan jenjang SMA ini dengan baik. Keluargaku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, tetapi selama aku masih bisa bersekolah, kata ibu keluarga ini masih punya sisi yang enak dipandang.

Oleh karena itu, aku tidak berani untuk tidak serius dengan sekolahku. Melihat ibu yang bekerja keras untuk membiayaiku, kurasa sangat tidak tahu diri jika aku banyak menuntut dan membebani pikirannya dengan hal-hal yang tidak perlu. Jenuh dan iri, aku sering merasakannya. Ketika perasaan-perasaan seperti itu mulai berontak dari hati, pulang sekolah aku mampir sebentar di taman kecil dekat rel kereta api. Tidak ada yang kulakukan selain protes kepada Tuhan lewat lamunanku. Pulang pun aku tidak membawa apa-apa sebab Tuhan juga belum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadikanku berisik dan protes kepada-Nya. Katakanlah aku hamba tidak tahu diri, tetapi kadang rasanya lelah sekali menjalani kehidupan yang entah sampai kapan akan terus bertahan di bawah.

Dari tempat itu, biasanya aku akan pulang menjelang magrib. Ibu jelas tidak akan tahu karena ibu bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) dan akan pulang setelah isya sembari menenteng bahan-bahan keripik peyek. Aku tidak tahu kapan jam istirahat ibu, mungkin di saat aku belajar, atau ketika aku sedang mempertanyakan soal kehidupan kami dalam sebuah renungan sebelum tidur. Yang kutahu, ibu akan bangun sebelum subuh untuk membuat keripik peyek, lalu pergi bekerja lagi di pagi harinya.

Beberapa kali aku ingin berhenti sekolah saja, setidaknya ibu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sekolahku, tetapi setelah kuutarakan niatku ibu tidak bicara padaku selama dua hari. Sebelum itu ibu mengatakan, “Lakukan kalau kamu rela keluarga ini diinjak seterusnya sampai mati.” Selepas itu, aku tak berani mengatakan hal serupa. Ibu hanya ingin aku belajar dengan sungguh-sungguh dan fokus, tetapi keadaan kami di rumah kadang membuatku merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa, dan malah menjadi sumber terbesar pengeluaran.

“Ya Allah, memangnya berapa ribu harga hidup tenang?”

Berdoa untuk hari yang menyenangkan, tetapi Tuhan juga punya jawaban selain “iya”. Setelah sering menuntut jawaban yang tak kunjung datang dan kadang tidak sesuai harapan, kupikir “tidak” dan “nanti” adalah jawaban juga dari Tuhan. Aku mulai membiasakan diri untuk hal itu, seperti sekarang ini ketika beberapa menit yang lalu aku berdoa untuk hari yang menyenangkan, tetapi aku lupa kalau ada hal penting yang ingin kusampaikan kepada ibu. Hal yang mengganggu kepalaku, hal yang membuatku gelisah, hal yang batal membuat hari ini menyenangkan.

Kulihat dengan hampa tangan ibu yang bergerak memasukkan satu per satu keripik peyek ke dalam tas jinjing usang itu. Haruskah kuawali pagi ibu yang sudah tampak lelah dengan mengatakan tentang secuil langkah untuk masa depanku? Tak tega hati aku melihat ibu terbebani dengan satu hal yang akan kubawa ini. Maka, kuputuskan untuk tidak memberitahunya sekarang dan menyalami ibu untuk segera berangkat ke sekolah.

Selamat pagi, Senin. Masih kudoakan kamu supaya tetap menyenangkan setelah pagimu menyapaku dengan kerisauan. Terserah Tuhan mau jawab “iya” atau sebaliknya, aku hanya bisa berdoa, selalu.

Aku tidak tahu jawaban Tuhan untuk hari yang menyenangkan itu bentuknya akan seperti apa. Namun, setelah doaku Senin pagi itu, hari demi hari semesta dengan patuh menjalankan tugasnya dalam mengatur pertemuanku dengan orang-orang yang sama sepertiku, yang punya pertanyaan sama terhadap Tuhan.

***

Sekolah saat itu selesai lebih awal karena hanya ada pembagian jadwal ujian praktik. Menjadi siswa yang sudah menginjak kelas dua belas ternyata membuatku cukup gelisah dan jadi banyak tanya pada diriku sendiri. Setelah ini apa?

Di jalan pulang, aku memikirkan hal yang sudah lama malas kupertanyakan kembali. Akan tetapi, bohong kalau aku bisa berhenti memikirkan seorang lelaki yang menjadi pengecut kehidupan karena memilih membiarkan ibu dan aku menjalani keras dan semrawutnya hari-hari tanpa ada tameng darinya. Lelaki itu pergi dengan janji kembali setelah mendapat cukup gaji, tetapi dia hilang. Dia hilang dari balik pintu pagi itu, dari meja makan, dari tempat kerja lamanya, dari kehidupan kami. Berbulan-bulan ibu menanti kabar, lama-lama ibu juga habis rasa sabar. Tidak ada nomor yang bisa kami hubungi, bapak pergi tanpa ponsel karena dulu kami hanya punya satu. Daripada mencari bapak yang entah di mana, ibu lebih memilih membuang waktu untuk menghidupi kami.

Aku tahu ibu kecewa, aku tahu ibu sedih, raut wajah dan bagaimana cara ia menjalani hidup sekarang cukup menjelaskan tanpa harus ibu katakan.

Kalau bapak masih di sini, apa mungkin keadaan rumah sedikit lebih baik? Mungkin ibu tidak perlu bekerja dua kali? Mungkin aku tidak akan merasa iri melihat teman-teman yang diantar bapaknya ke sekolah? Aku ingin seperti itu, diantar dengan motor butut bapak yang harus digenjot berkali-kali baru bisa menyala. Aku senang, tapi tak terasa sudah tiga tahun lalu motor itu mengantarkan bapak menjemput gelar sebagai seorang pengecut.

Keadaan ekonomi keluargaku tidak pernah mencapai atas. Ibu dan bapak dulunya juga dari keluarga sederhana. Hanya saja, dulu bapak masih semangat bekerja dan keluarga kami masih manis. Dengan ijazah yang tak sampai sarjana, bapak mau melakukan pekerjaan apa pun selama itu halal dan tidak mengemis. Membicarakan keadaan ekonomi di depanku sudah seperti hal biasa bagi orang tuaku. Aku tahu, mereka ingin aku mengerti dan tidak menjadi anak yang banyak mau, prihatin. Di sisi lain aku merasa sedih, sebab siapakah yang akan membantu kami keluar dari lubang kemiskinan ini? Apa yang harus kulakukan? Yang kulihat, apa yang bisa ibu dan bapak lakukan untuk menghidupi hidup sudah mereka tempuh. Dengan latar belakang seadanya, upah bapak dan ibu tidak bisa menyetarai harga kebutuhan yang semakin hari semakin tidak masuk akal untuk orang-orang kecil seperti kami. Aku sudah melihat bapak dan ibu berusaha, dan aku bertanya kepada Tuhan yang selalu mendengar, “Siapa yang akan menjadi perpanjangan tangan-Mu untuk menolong kami?”

Pertanyaan itu ada sampai sekarang dan masih kutanyakan berulang-ulang. Aku semakin mendesak Tuhan setelah tahu orang-orang yang mungkin bisa membantu orang seperti kami untuk bertahan hidup, nyatanya mereka tak mengarahkan tangannya ke arah kami, seolah dibiarkan mati. Bapak tidak mengajarkanku untuk mengemis, atau pun menunggu bantuan. Akan tetapi, dia sendiri kabur membawa gelar pengecut yang lebih buruk. Jadi, sepertinya aku tidak salah jika merasa miris dan bertanya, “Kenapa orang-orang punya itu tidak malu mendapat uluran tangan dari pemerintah? Kenapa Bu Nani yang tiap minggu bisa makan di restoran dengan bangganya bilang di depan ibu kalau dia dapat bantuan sembako dari desa, sementara ibu masih harus mati-matian mencari receh-receh untuk dapat bertahan hidup? Kenapa mereka dapat, sementara kami tidak? Mata apa yang mereka gunakan untuk melihat manakah si kaya dan si miskin yang sesungguhnya?”

Aku tidak tahu kapan pertanyaanku akan dijawab Tuhan atau siapa pun, tetapi aku penasaran. Di jalan pulang, aku berhenti di pangkalan ojek yang sepi untuk menghabiskan cilok tiga ribuan yang kubeli di depan sekolah tadi. Lagi-lagi terbesit di kepalaku, bagaimana aku memberi tahu ibu tentang langkahku setelah selesai SMA? Hari Jumat kemarin, aku dinyatakan mendapat kuota untuk mendaftar ke universitas secara gratis melalui nilai rapor. Sebelumnya aku hampir putus asa karena setahuku mendaftar ke universitas saja sudah akan melahap upah ibu berbulan-bulan. Pengumuman kemarin seolah memberi cahaya terang untukku, tetapi sejenak saja cahaya itu meredup. Yang gratis hanya pendaftarannya saja, bagaimana dengan biaya kehidupan yang akan kujalani nantinya? Hal itu yang membuatku bimbang memberitahu ibu. Aku tak mau ibu berlipat-lipat lagi lelahnya, aku ingin segera membantunya. Mau tidak mau aku harus membicarakan ini secepatnya.

Cilok tinggal dua, salahku terlalu banyak memberikan saus dan bodohnya aku lupa membawa minum. Sisa uangku akan sayang kalau dibelikan es atau minum yang lain, jadi kutahan saja rasa pedas itu mati-matian dan membuatku terlihat seperti orang menangis.

“Weee, ada mbak-mbak di sini. Bolos ya, Mbak?”

Tubuhku memberi reaksi terkejut sebab tiba-tiba seorang manusia silver yang biasanya berada di lampu merah ada tepat di depan mataku. Sebenarnya aku cukup takut, tetapi toh mereka juga manusia yang kalau aku kabur bisa saja mereka sakit hati. Jadi, aku membiarkan siang itu berjalan tanpa perlawanan.

“Sekolah pulang awal, saya nggak mungkin bolos juga.” Aku menjawab seadanya, dan hanya berharap dia puas dengan jawabanku lalu pergi. Namun yang terjadi sebaliknya, dia malah duduk di bawah. Aku merasa sungkan karena duduk di kursi mangkal ojek itu.

“Enak ya Mbak, bisa sekolah. Aku lho dulu juga sekolah kayak Mbak gitu, pernah pakai seragam putih abu-abu, eh, sekarang malah jadi abu-abu seutuhhnya. Hehe.”

Jujur aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Dia mau melucu, atau sarkas? Kuputuskan mendengar saja apa yang dia akan ucapkan.

Dia menoleh kepadaku dengan sedikit mendongak. “Ah, nggak enak ngobrol posisinya kayak gini. Mbak, aku boleh duduk di situ?” Dia menunjuk bangku sebelahku. Aku mengangguk. Setelah dia menyamankan posisi, dia mulai berkata lagi, “Aku sekolah cuma sampai kelas sepuluh, Mbak. Ndak tega aku lihat bapakku yang udah tua itu masih cari uang sana-sini buat uang sakuku ke sekolah. Ibuku sakit-sakitan udah lama, satu bulan lalu akhirnya diangkat penyakitnya, sekalian diangkat nyawanya.”

Orang ini, kenapa bisa seringan itu menceritakan hal seperti itu? Tak ada nada kesedihan pada suaranya? Apakah dia sudah terlalu akrab dengan sedih itu sendiri? Keningku berkerut, tetapi tidak mau menyela karena sepertinya dia sangat ingin bercerita.

“Karena aku kasihan lihat bapak, aku maksa berhenti sekolah dan cari kerja seadanya. Bapak awalnya nggak setuju, tapi aku yang nekat itu akhirnya bisa buat bapak ngalah. Ya, awal-awal aku kerja di toko-toko gitu, Mbak, bantu angkat-angkat barang. Lumayanlah hasilnya meski rasanya tubuhku ini mau patah-patah. Anak bapak itu tiga, tapi nggak tahu ke mana perginya mas dan mbak yu-ku itu. Katanya mau cari uang buat bantu-bantu di rumah, tapi sampai sekarang lho Mbak, aku nungguin mereka nyatanya nggak balik-balik.” Dia sangat menggebu-gebu. Aku mengerti apa yang dia rasakan. Menunggu seseorang yang berjanji kembali, tetapi seujung kuku pun tak sampai depan rumah. Ternyata banyak sekali orang yang menjadi pengecut di kehidupannya sendiri.

“Bapakku itu cuma lulusan SMP, berarti sekarang aku juga sama kayak bapak, ding. Bapak juga kerja di toko yang sama kayak aku, justru aku dapat kabar kerjaan itu dari bapak. Tapi makin ke sini bapak kelihatan capek, jadi aku suruh bapak di rumah aja jagain ibu, aku yang kerja. Aku tahu susahnya gimana kalau seperti bapak, susah buat dapat kerja yang elit, tapi mau gimana lagi, Mbak? Mau mengubah nasib juga butuh modal. Kami udah berusaha cari, tapi susah banget ternyata dicarinya. Tuhan sembunyiin di mana ya modal itu?” Lewat kalimat-kalimatnya, aku dapat menilai kalau sebenarnya dia orang yang cerdas. Apakah kecerdasan hanya dibiarkan bertahan untuk orang-orang yang punya uang? “Mbak, nggak mau tanya-tanya gitu? Diem aja lho dari tadi!”

“Eh? Saya bingung, kayaknya kamu yang pengin banyak cerita. Saya dengerin aja, maaf nggak bisa bantu banyak, Mas. Oh iya, maaf saya ikut berbelasungkawa. Insyaa Allah, ibunya sudah tenang di atas sana,” ucapku.

Manusia silver itu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa lho, Mbak. Aku juga nggak minta bantuan apa-apa, kok. Aku cuma sedih aja kalau kadang ada yang berpikiran yang enggak-enggak sama apa yang tak lakuin, kerja kayak gini. Kebutuhan makin mahal Mbak, gajiku yang jadi pegawai angkat-angkat barang itu ndak mampu buat hidup aku, bapak, sama ibu. Untung waktu itu aku nggak sengaja ketemu sama salah satu temenku, itu orangnya.” Dia menunjuk seseorang yang tak jauh dari kami, aku tidak tahu dia masih muda atau sudah tua karena wajahnya tertutup cat. “Ya, kalau pagi aku masih angkut-angkut barang karena biasanya toko mau ngirim. Siang ke sore aku kayak gini, Mbak. Meski nggak banyak, tapi seenggaknya bisa buat isi perut sehari-hari.”

Aku semakin memahami. Aku dan dia sebenarnya tidak jauh berbeda. Kami adalah orang yang sama-sama hidup untuk sekadar bertahan hidup. Kami adalah orang yang mempertanyakan kapan dan di generasi ke berapa rantai miskin ini dapat terputus. Bisakah? Dengan apa? Bagaimana?

“Aku juga pengin dapat pekerjaan yang menurut orang-orang terhormat. Tapi siapa yang mau kerja sama lulusan SMP, Mbak? Kalau orang nyuruh aku sekolah yang tinggi biar bisa mengubah nasib, lha siapa yang cari uang buat makan?”

Aku mengerti, aku mengerti maksudnya. Ingin sekali kukatakan kalau kita adalah sama, tetapi sepertinya aku masih punya sedikit ruang untuk bernapas lega daripada dia. Aku tak ingin mengadu nasib di sini.

“Mbak, nitip doa aja ya, Mbak. Aku nggak tahu Allah denger dan lebih suka doa siapa, tapi siapa tahu doa Mbak lebih disukai Allah. Doakan semoga kami nggak harus kayak gini lagi, kami juga nggak mau, tapi kami lebih nggak mau mati. Makasih ya Mbak, udah mau denger omonganku barusan. Seenggaknya ada satu orang yang tahu, kalau aku dan temen-temenku itu sebenarnya bukan pemalas, mustahil bagi kami kerja di kantor-kantor tinggi, yang penting bagi kami adalah kami bisa makan dulu. Besok nggak lapar aja kami udah bersyukur kok, Mbak.” Dia berdiri dan mengacungkan jempol kepada teman yang memanggilnya. Sepertinya dia sudah harus bekerja.

“Aku kerja dulu, Mbak. Titip doa buat Allah ya, Mbak.”

Pertemuan dan perbincangan ini tidak pernah kuduga kalau aku akan mengalaminya. Namun, sekarang aku tahu bukan hanya keluargaku yang berjuang di putaran kemiskinan. Mereka juga sama, dan aku akan lebih mendesak Tuhan.

“Engkau tahu yang kami usahakan. Lantas, siapa yang akan menjadi perpanjangan tangan-Mu untuk menolong kami?”

***

Semalam aku belum jadi memberitahu ibu terkait pendaftaran kuliah itu. Ibu pulang lebih lama dari biasanya, katanya sedang banyak yang dikerjakan di sana. Karena ibu sudah tampak lelah, aku mengurungkan niat untuk membicarakan hal yang akan menambah pening kepalanya.

“Ini nggak usah diantar ke pasar ya, Nin. Ibu mau coba nitip ke Bu Dina juga. Ibu belum bilang, sih, ke yang di pasar, tapi nggak apa. Besok uang jualan kemarin Ibu aja yang ambil. Kemarin Ibu sudah bilang Bu Dina nitip buat dijual di warungnya, tolong ya kamu bawa sekalian sekolah,” kata Ibu.

Aku mengangguk dan mengangkat tas jinjing itu, bersiap berangkat. “Anin pamit, Bu.” Aku menyalami tangan ibu, baru hendak mengucap salam, ibu berujar, “Kemarin Ibu lihat jadwal ujian kamu di meja. Kamu belajar yang rajin aja, nggak usah bantu Ibu bikin peyek dulu nggak apa-apa. Yang penting kamu lulus dengan nilai bagus, itu sudah cukup buat Ibu.”

Mematung sebentar, aku merasa tidak enak dengan ibu kalau membiarkan ibu melakukan apa-apa sendiri. Karena berdebat dengan ibu tidak mungkin kulakukan pagi ini, kuberikan anggukan dan senyum yang kuusahakan terlihat manis, lalu berangkat.

Rumah Bu Dina tidak jauh, sewaktu masih SMP aku sering bermain ke sana karena putri Bu Dina adalah teman kelasku, Shita namanya. Namun, saat kami berada di kelas sembilan, Shita mengalami sebuah kejadian yang menghebohkan satu komplek dan satu sekolah. Sejak saat itu aku jarang melihat Shita, dia mengundurkan diri dari sekolah, dia tidak pernah keluar rumah. Terakhir kali aku lihat Shita, yaitu ketika aku ingin berangkat ke sekolah, aku melihat dia dibawa pergi oleh orang yang kutahu adalah kerabatnya dengan beberapa tas besar yang ikut serta masuk ke dalam mobil.

Sekarang aku sudah berdiri di depan rumah Bu Dina. Kendati masih cukup pagi, warung Bu Dina sudah siap menyambut kedatangan pembeli. Aku mengucap salam, kudengar sahutan dari dalam. Beberapa saat aku menunggu, seorang perempuan yang tadi kupikirkan muncul di hadapanku. Shita, dia adalah orang yang sama, tetapi aku melihat dia telah terlahir kembali.

“Anin, lama nggak ketemu, ya.” Dia tersenyum, mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan baik dan hangat.

Pertemuan pagi itu sepertinya menjadi pembuka pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Shita karena setelah hari itu, Shita beberapa kali mengajakku bertemu, tetapi aku belum punya waktu. Karena aku juga tidak enak hati terus-menerus menolak, akhirnya kusempatkan sore ini setelah pulang sekolah untuk pergi bersamanya.

Kami belum pernah terlibat obrolan panjang sejak pertama kali bertemu setelah sekian waktu. Momen pertemuan kami tidak pas, hanya saat aku mengantar keripik peyek pagi hari dan bergegas ke sekolah supaya tidak terlambat karena jalan kaki. Percakapan kami sebatas basa-basi dan ajakan Shita untuk pergi berdua yang terwujud sore ini.

“Aku baru tahu di sini ada taman kecil. Udah lama sih, aku enggak di sini.” Shita melihat-lihat tempat yang kuperkenalkan dengan wajah antusias. Habisnya, dia tanya kepadaku apakah di sini ada tempat yang bagus dan tidak terlalu ramai. Karena aku juga tidak pernah pergi-pergi, kuajak saja dia ke sini. Taman kecil, sangat kecil, di dekat rel kereta api di mana aku senang memprotes Tuhan dalam lamunanku. Tidak ada yang spesial, tetapi kalau beruntung, aku bisa melihat matahari tenggelam dari sini. “Kamu suka ke sini, Nin?”

Aku mengangguk. “Kalau lagi pengin sendiri ya, ke sini. Gratis, nggak perlu keluar uang buat beli tenang, Ta,” jawabku.

Shita terkekeh menanggapi. “Aku juga kayaknya bakal suka ke sini deh, nanti. Kamu benar, gratis, cocok buat kita yang duitnya hanya cukup buat makan.”

Lantas, kami berdua tertawa bersama. Aku dan Shita sebenarnya sudah kenal sejak SD. Dulu hanya sebatas kenal, mulai akrab ketika masuk SMP. Dia anak yang baik, aku mudah berteman dengannya karena keadaan kami yang tidak jauh beda membuat kami bisa mengerti satu sama lain. Sayangnya, waktu tidak membiarkan kami berteman lebih lama dan memberi jeda.

“Kamu tahun ini lulus ya, Nin?” Dia bertanya, aku mengangguk sebagai jawaban. “Karena kejadian dulu itu Nin, aku berhenti sekolah dulu satu tahun. Aku dibawa pakde ke rumahnya, karena di sini aku masih terus-terusan kebayang. Yah, enggak apa-apa, sih, aku nggak bareng kalian lulusnya. Tapi yang aku sayangkan Nin, di saat aku mengalami trauma waktu itu, orang yang udah melakukan hal bejat padaku masih bebas ke mana-mana. Bapak sama ibuku nggak punya kekuatan lebih buat melawan penyelesaian damai yang mereka bilang. Di saat aku berusaha mati-matian untuk nggak ingat kejadian yang aku pikir masa depanku udah nggak ada lagi, aku nggak bisa sekolah dengan tenang, aku nggak bisa tidur nyenyak, laki-laki keparat itu masih bisa menikmati semuanya seolah dia nggak menghancurkan hidup siapa-siapa.”

Shita, dia adalah temanku yang mengalami pelecehan seksual yang baru diketahui saat kami kelas sembilan. Aku ingat betul Shita yang biasanya pulang bersamaku, saat itu dia menolak dengan dalih mau mencari barang terlebih dahulu. Karena aku harus cepat-cepat pulang juga, aku tidak memastikan ulang apa yang hendak Shita cari. Esoknya, Shita datang bersama kedua orang tuanya dengan wajah tak karuan ke sekolah. Seketika sekolah ramai sebab Bapak Shita berteriak-teriak memanggil kepala sekolah. Di sela-sela teriakannya memanggil bapak kepala sekolah, bapak Shita meneriakkan nama satu guru yang kebetulan tengah mengajar di kelas kami. Aku samar-samar ingat, kami langsung ditertibkan oleh guru-guru lain, dan pak guru yang tadi mengajar di kelas kami keluar dengan wajah memerah tergesa-gesa. Aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tetapi kepingan-kepingan kejadian yang berlangsung begitu cepat itu baru bisa kubenarkan asumsiku hari ini.

“Pak Kepala Sekolah! Pecat guru kalian yang bejat! Bajingan! Lelaki cabul macam apa yang pantas disebut guru! Keluar, Pak Kepala Sekolah! Guru bangsat, sekolah neraka!”

Hanya itu teriakan-teriakan bapak Shita yang masih terekam di kepala. Setelah guru menertibkan kami, semua berjalan seperti biasa lagi. Kabarnya bapak kepala sekolah sudah menemui orang tua Shita, sebelum masuk kelas kulihat mereka masuk ke ruang kepala sekolah bersama dengan pak guru di kelas tadi. Setelahnya, senyap, kami mengikuti pembelajaran. Esok dan seterusnya, Shita tidak pernah masuk sekolah, juga dengan pak guru kemarin.

Kabar tentang Shita hanya sayup-sayup mampir di telinga. Setiap aku lewat rumahnya, rumah itu tampak sepi, dan warung Bu Dina tidak buka beberapa hari. Aku tidak berani berkunjung, dan hal itu adalah hal yang menjadi penyesalanku sebab aku tidak berusaha mencari tahu tentangnya.

“Ta, maaf aku terlalu telat untuk sadar sama apa yang kamu alami saat itu.” Aku memegang pundaknya dengan rasa bersalah di hati, seharusnya waktu itu aku bisa menemaninya dan menguatkan Shita.

Shita menoleh kepadaku, lalu tersenyum. “Enggak apa-apa, Nin. Kamu nggak salah, aku nggak tahu siapa yang harus disalahkan untuk hal itu. Orang yang kita sebut guru, yang kita hormati, dia sama sekali tidak layak dengan itu. Mungkin aku salah karena percaya dengan ucapannya. Tapi kamu tahu kan, Nin, kondisi keluargaku seperti apa saat itu? Orang itu menjanjikan aku sejumlah uang, dia tahu aku jarang jajan di sekolah karena tidak punya cukup uang saku. Dia manfaatkan itu untuk nafsu setannya. Dengan sejumlah uang yang cukup membuat mataku melek, aku yang tidak ingin merepotkan bapak dan ibu untuk meminta uang saku pun tergiur. Awalnya aku ragu, tapi selain memberi iming-iming uang, dia mengancam untuk tidak memberikan nilai bagus di sekolah. Nin, aku rasa kita sama-sama nggak mau mengecewakan orang tua kita yang sudah susah payah cari uang untuk sekolah kita, nggak sih? Waktu itu aku takut banget bikin bapak sama ibu sedih, jadi aku masuk ke perangkapnya.” Shita … aku tidak tahu kalau ada manusia sialan seperti yang diceritakan Shita saat ini. Kalau aku di posisi Shita waktu itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Aku tidak mau membuat ibu dan bapak sedih melihat nilaiku jelek, dan ancaman seperti itu bisa saja membuatku bungkam kalau di posisinya.

“Sudah beberapa kali dia melakukan hal itu, tapi aku belum berani bilang siapa-siapa. Aku takut, Nin, takut pada siapa-siapa. Sampai pada akhirnya di hari aku menolak ajakanmu pulang bersama, itu terakhir kali dia melakukan hal itu padaku. Malamnya aku sulit tidur, aku menangis ketakutan sampai ibu bangun. Saat itulah aku membuka semuanya, menyayat hati bapak, menumpahkan air mata ibu.” Shita berhenti sebentar, mengambil napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Awalnya bapak nggak percaya, dia memarahiku dan menuduhku yang tidak-tidak. Tapi aku rasanya udah nggak bisa nahan semuanya, aku ceritakan kenapa bisa seperti itu dan inti dari semuanya, sampai akhirnya bapak memelukku.”

“Aku sempat takut ketika bapak dan ibu memaksaku mengaku ke pihak sekolah. Tapi mereka memberiku kekuatan, perbuatan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Bagian inilah yang buat aku nggak tahu harus mengambil sikap gimana, Nin. Menurutmu, apakah selamanya yang di bawah akan selalu diinjak-injak dan lukanya akan sembuh setelah dibiayai berobat oleh orang yang menginjak-injak itu?” Dia bertanya padaku, aku tahu aku harus memberikan respons.

Aku menggelengkan kepala. “Kita yang kecil ini, Ta, udah capek berjuang buat kehidupan kita. Kita udah banyak ditertawakan keadaan yang dari hari ke hari mereka menuntut kita untuk selalu bisa menggapai itu. Tanpa diinjak saja kita yang di bawah ini bisa mati perlahan. Kalau diinjak-injak, kita seolah bukan manusia, Ta, padahal kita punya harga diri. Dan kalau biaya berobat yang kamu maksud adalah uang, aku nggak setuju karena harga diri nggak bisa dibeli dengan uang. Luka injakan mereka nggak bakal sembuh hanya dengan obat rumah sakit karena yang mereka lukai bukan fisik, tapi batin kita, hati kita, Ta,” ujarku.

Shita mengangguk-angguk dan tersenyum. “Sayang sekali, Nin, keluargaku saat itu nggak bisa berbuat banyak. Pak kepala sekolah minta kita selesai dengan berdamai dengan pemecatan sebagai sanksi orang itu. Untuk kerugianku, aku diberi sejumlah uang dari pihak sekolah dan orang itu. Pak kepala sekolah menyuruh kami diam dan tidak melapor lebih karena tidak ingin nama sekolah kita tercoreng. Bapakku masih bisa berpikir, Nin, bapak nggak menerima uang itu sekalipun kalau diterima sebenarnya cukup untuk menghidupi kami. Tapi kata bapak, harga diriku nggak bisa dijual seharga berapa pun, sebesar apa pun nominal uangnya. Bapak juga merasa harga dirinya dilukai karena setelah itu bapak nggak bisa melakukan apa-apa untuk membelaku.” Kulihat mata Shita mulai basah. Aku merangkulnya dari belakang untuk memberikan kekuatan. “Kasus itu selesai begitu saja, Nin. Aku yang harus melawan rasa takut setiap hari dan terpaksa berhenti sekolah, sementara orang itu hanya mendapat hukuman pemecatan.”

Dia menghela napas, aku masih bersedia mendengarkan apabila dia ingin berkata lebih panjang. “Aku lega bisa cerita akhirnya, Nin. Untuk bisa bercerita seperti ini aku butuh bertahun-tahun buat damai sama itu semua. Aku mau ada seseorang selain keluargaku yang tahu soal ini semua. Ketika uang bicara, ketika si papa terpaksa bungkam. Aku cuma bertanya-tanya, Nin, di luar sana apakah ada orang sepertiku yang tidak bisa melakukan apa-apa di saat dirinya diinjak habis-habisan? Kalau ada, bagaimana cara kita memberitahu dunia? Apakah jika mereka dapat membungkamku dengan uang, aku dapat membukanya dengan uang juga? Nin, siapa yang dapat menjawab pertanyaan itu? Sudah lama aku bertanya pada Tuhan, tapi Dia belum juga beri aku jawaban.”

Aku jadi bungkam, bahkan pertanyaan kepada Tuhan milikku juga belum dijawab. Mendengar cerita teman lamaku, Shita, aku harus semakin mendesak Tuhan.

“Ya Allah, Engkau tahu seberapa jauh kami bisa melangkah dan bertindak. Engkau tidak akan membebani kami dengan apa yang ada di luar yang kami mampu. Lantas, setelah apa yang kami mampu sudah diusahakan, siapa yang akan menjadi perpanjangan tangan-Mu untuk menolong kami?”

***

Wali kelas sudah berkali-kali menanyakan apakah kuota pendaftaran itu akan kuambil atau tidak. Beliau mengatakan bahwa pihak sekolah juga harus segera melakukan finalisasi data siswa. Aku tahu aku harus secepatnya memberitahu ibu, tetapi berat sekali rasanya untuk memulai percakapan itu. Andaikata kuota tersebut tidak kuambil, siswa lain yang dipertimbangkan pihak sekolah dapat menggunakannya. Maka dari itu aku akan mengatakannya malam nanti.

Pertemuan dengan dua orang yang tak pernah kubayangkan kemarin cukup membuatku berpikir sebelum memejamkan mata semalam. Tuhan tidak memberikan kesempatan untuk sebuah pertemuan tanpa adanya suatu maksud, bukan? Aku percaya apa yang orang bilang kalau ada pelajaran pada setiap pertemuan. Oleh karenanya, semalam aku berusaha memecahkan pelajaran apa yang kudapat dari bertemu manusia silver yang tiba-tiba mengajakku mengobrol dan teman lamaku, Shita.

Yang jelas, sekarang aku tahu kalau yang mengalami perputaran kemiskinan bukan hanya keluarga ini. Di luar sana, masih banyak orang yang berusaha keras keluar dari lingkaran itu, sama seperti aku dan ibu. Kebanyakan dari kami bingung harus memulai dari jalan sebelah mana. Bertahun-tahun kami mencoba, tetapi selama itu pula kami masih berputar-putar di lingkaran yang sama. Aku mengganti pertanyaanku ke Tuhan menjadi: “Adakah orang yang akan menjadi perpanjangan tangan-Mu untuk menolong kami? Atau hanya kami yang bisa menolong diri sendiri?”

Terlalu menuntut jawab pada kata siapa, nyatanya sampai sekarang tidak ada siapa pun yang datang memberi kami bantuan. Entah siapa yang salah, tetapi terkadang kehidupan kami seperti hanya sebagai penggenap jumlah penduduk. Ibu sudah bekerja, bapak sudah bekerja sampai muak dan memilih pergi, aku belajar sungguh-sungguh bersama harapan ibu yang menyertai, mereka berusaha, mereka bekerja, tetapi kenapa kami tidak kaya-kaya? Aku tidak buta, di tanah ini begitu banyak yang tidak masuk akal. Yang kaya semakin dikayakan, yang miskin dijadikan alat pengumbar janji-janji manis. Kami berusaha, Pak, Bu, tidak semua dari kami pemalas, tidak semua dari kami bodoh, malah terkadang kami sengaja dibodohkan.

Setelah satu malam panjang kemarin aku habiskan dengan berpikir, sepertinya aku sudah tahu jawabannya. Hidup memang soal perjuangan, sampai atau tidak, berhasil atau gagal, kita memang lahir untuk berjuang. Aku tahu kenapa ibu sangat ingin aku fokus sekolah, itu adalah salah satu cara ibu berjuang untuk kehidupan ini, melalui aku, bersama aku. Mengharapkan bantuan dari orang-orang di atas sana hanya membuatku merasa salah dan benci telah lahir di dunia ini. Tuhan selalu mendengar, Tuhan tak pernah ingkar, pertanyaanku kemarin sebenarnya tidak patut diajukan. Sudah jelas Tuhan tidak akan membebani hamba-Nya di luar apa yang ia bisa. Meski dengan susah payah, ibu tetap bisa menyekolahkanku. Meski dengan adanya keterbatasan, aku masih bisa mengecap bangku sekolah sampai SMA. Seharusnya aku sadar kalau itu bukti bahwa kami mampu, kami masih mampu.

Pertanyaanku selanjutnya: “Bagaimana caranya keluar dari lingkaran ini?” Jawabannya adalah dengan tetap berjuang dan berjuang. Jika sudah berjuang dan masih begitu saja sampai mati, setidaknya kematian itu sudah pernah beramah-tamah dengan perjuangan, setidaknya kematian itu bukan karena menunggu uluran tangan atau sekadar menengadah pada bantuan.

Untuk aku dan ibu, ibu sudah melakukan apa yang disebut berjuang. Jika perjuangan itu belum membawa kami keluar dari lingkaran ini, itu artinya giliranku yang berjuang. Setidaknya aku berjuang. Setidaknya untuk hidup. Setidaknya untuk menghidupi hidup.

Tuhan yang selalu mendengar, semoga Dia masih mau mendengar suara-suaraku yang mungkin akan bertambah berisik nanti.

Editor: Helmalia Putri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *